JLM#4 - Selamat Pagi Tanah (Petrus Indra Oktano)

Selamat Pagi TanahPetrus Indra Oktano




Maka datanglah Yohanes ke seluruh daerah Yordan dan menyerukan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu, seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya: Ada suara yang berseru-seru di padang gurun:Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata,jalan yang berliku-liku akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan.”
(Lukas 3, 3 -6)

Pertobatan dan pembaptisan adalah fokus utama Yohanes. Begitu lantang ia mewartakan dua prinsip utama menjelang kedatangan Tuhan ke dalam hati umat Israel. Pembaptisan yang dilakukan di sungai Yordan itu membawa kesegaran bagi setiap jiwa dan hati yang terbaptis. Air yang mengalir dari atas ke bawah menandakan kehidupan dari Allah sebagaimana Yordan mengalir dari hulu ke hilir. Air itu lalu meresap relung-relung hati terdalam insani. Dan air pembaptisan itu meluruhkan mereka dari segala dosa yang melekat sehingga menjadi layak di hadapan Allah. Air dari Yordan itulah yang akan meratakan tanah yang bergelombang.

Namaku Tanah. Bapak dan ibuku menamai Tanah Merah atas usulan demung adat. Setiap kali mereka memanggil namaku di pagi hari, aku datang lalu mendapatkan kasih sayang yang tertuang dari kecup bibir mereka. Aku pun paling senang ketika aku disapa, “Selamat pagi, Tanah!” Aku merasakan aroma air hujan yang khas membasahi tubuhku. Rasanya adem, tenteram, damai dan penuh kegembiraan. Aku lahir di Terusan, hilir dari Sungai Jelai yang airnya sangat sejuk, binua Borneo. Di Jelai hilir ini pula, aku menghanyutkan hidupku mulai dari mandi, mencuci hingga mencari lauk ikan untuk makan. Di ladang-ladang dekat kampung, aku bersaksi bahwa orang masih menggantungkan hidup dari karet, rotan dan sawit. Di tepian ini pula lah, dulu seorang Belanda dengan baju panjang hitam datang lalu menancapkan kayu palang sebagai tanda iman katanya.
Stasi St Paulus Terusan merupakan persekutuan umat beriman Katolik bagian dari paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat. DesaTerusan merupakan bagian dari Kecamatan Manis Mata dengan jumlah 139 KK. Letak stasi ini berada di hilir sungai Jelai yang terdiri dari dua desa, desa di tepian sungai Jelai dan desa di tepian sungai Terusan. Luas keseluruhan stasi terusan kurang lebih 6000 hektar, luas ini adalah angka yang belum pasti mengingat kesulitan mencari angka yang presisi. Jarak dari pusat kecamatan Manis Mata adalah 48 km dan  dari Riam 37 Km. Semua wilayah stasi hilir berada di daerah kecamatan Manis Mata.Stasi Terusan adalah pusat dari sepuluh stasi hilir lainnya. Stasi tersebut adalah Tanjung Beringin, Sengkuang Merabung, Penangaran, Pelampangan, Abik, Pakit Selaba, Sentuai, Pulai Laman, Pangkalan Baru, dan Sungai Rasak. Stasi-stasi ini terletak di sepanjang aliran sungai Jelai dan anak-anak sungai Jelai.

Masyarakat (umat) stasi Terusan terdiri dari suku Dayak Jelai. Mereka juga hidup berdampingan dengan orang-orang Melayu atau kerap disebut sebagai orang menyagak. Menyagak berasal dari trademark orang Melayu yang biasa berdagang atau berniaga. Agama-agama yang hidup di daerah hilir ini adalah Islam, Katolik dan Protestan. Mereka tinggal di daerah Sengkuai Merabung dan Tanjung Beringin lokasi live in Via, Titus dan Yuyus.Umat Protestan hadir dari denominasi GMP atau GerejaMisi Injil Indonesia Talitkom. Kadang, umat Katolik merasa minder dengan kehadiran denominasi ini. Mayoritas orang hilir bekerja di kebun, baik itu kebun rotan dan karet mau pun kebun sawit milik perusahaan. Beberapa memang bekerja di ladang, namun tidak menjadi pilihan utama.

Mereka yang masih sangat setia dengan rotan adalah orang-orang yang tinggal di daerah Purunt. Beberapa dari mereka juga membuatnya sebagai bahan kerajinan menjadi sandal atau topi. Namun, untuk memperluas pasar mereka perlu untuk membangun jejaring dan mau untuk berkembang lebih jauh. Tujuannya adalah peningkatan ekonomi dan kualitas produksi. Tanpa jaringan, kadang usaha menjadi statis dan lama berkembang. Di sisi lain, banyak orang pula yang memiliki rumah sarang walet, ada yang memiliki dua, tiga atau empat tingkat. Sarang walet memang memberikan keuntungan yang tinggi sekali panen. Selain itu, mereka juga ada yang memiliki warung kebutuhan sehari-hari mau pun bengkel yang sangat penting bagi kehidupan orang Terusan.

Umat juga memanen karet yang telah di sadap semalam sebelumnya.Walau pun demikian, perkembangan karet memang tidak terlalu baik,harga karet nyatanya memang kurang bersahabat akhir-akhir ini.. Bebarapa faktornya adalah soal kualitas tanaman karet itu sendiri. Preferensi akan bibit unggul tanaman karet seharusnya menjadi lirikan utama masyarakat, karena itulah yang dicari oleh perusahaan. Selain itu, kejujuran dalam menimbang karet pun juga menjadi modal utama. Jangan sampai kasus karet yang direndam air cuka untuk menambah berat terjadi di Terusan.

Adat Istiadat dan Seni Budaya

Selamat pagi, Tanah. Terlahir sebagai Dayak Jelai membuatku bangga atas segala apa yang menjadi tradisi di tempat ini. Mulai dari menyantik rotan, menoreh karet, menyelam di sungai dan mandi di Jelai. Selain itu, masyarakat di sini sebenarnya sangat lugu dan polos. Berada di hilir yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota membuat orang-orang harus mampu bertahan hidup secara keras. Warisan nenek moyang pun menjadi kewajiban untuk dijaga dan diteruskan. Apa yang baik itu menjadi buah untuk dibagikan, agar semua orang pun dapat menikmati hal yang sama pula.

Masyarakat asli sepanjang sungai Jelai, dari hulu sampai hilir adalah suku Dayak, sub-suku Dayak Jelai dengan bahasanya yang khas pula. Adat istiadat yang berlaku pun adalah adat istiadat dari sub suku tersebut. Dalam urusan birokrasi lokal, kepala desa memang diangkat oleh pemerintah. Namun, dalam kesukuan masih terdapat demung adat yang berfungsi sebagai haluan adat Dayak. Dalam beberapa upacara atau gawai adat, masyarakat Jelai pun akrab dengan minuman tradisional yang berasal dari beras pulut atau tuak. Arak kurang menjadi primadona di tempat ini. Kadang kala, minuman tersebut tidak hanya hadir sebatas dalam acara adat saja, namun juga hadir dalam kehidupan harian mereka. Utamanya, tuak menjadi minuman untuk menyambut tamu di rumah seseorang sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, tuak dalam tanduk kerbau juga digunakan saat upcara kematian.

Tuak tampaknya memang menjadi nadi orang Dayak di mana pun mereka berada. Namun, di Jelai sendiri, tuak sesungguhnya adalah minuman sakral. Sakralitas ini muncul dari cara membuatnya, misalnya dibuat dengan berpuasa terlebih dahulu. Kalau ada salah seorang anggota keluarga yang sedang mengandung di rumah itu, maka ia tidak akan membuat tuak. Tuak adalah minuman yang dikeramatkan, sebelum meminumnya, seseorang harus menuangkan sedikit ke tanah sebagai persembahan kepada leluhur yang telah dikandung tanah.Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Tuak menjadi tidak sakral ketika niatan utama saat meminumnya adalah untuk mabuk, bukan sebagai ungkapan syukur dan kebahagiaan yang dibagikan kepada semakin banyak orang.
Alam menyediakan segala sesuatu, termasuk soal makanan. Bagaimana pun juga, makanan yang disajikan kepada seorang tamu pun harus dihargai. Ketika seseorang itu sudah kenyang atau tidak haus lagi, padahal sudah disediakan sajian oleh si empunya rumah, orang itu harus mengatakan pusa’-pusa’ sambil menyentuh piring, gelas atau makanan itu.Pusa’-pusa’ menjadi cara untuk menghargai niatan baik tuan rumah. Istilahnya, sesorang sudah mencicipi makanan itu hanya dengan menyentuhnya lalu menempelkan tangannya ke bibir atau dada.

Bergendang. Salah satu kesenian tradisional di Hilir, salah satunya di Pulai Laman tempat di mana Ivan dan Agnes live in, adalah ‘bergendang’. Begendang menjadi bagian pesta dalam suatu acara, misalnya syukur atas masa panen dan di pimpin oleh demung adat. Ini juga digunakanmenyambut tamu yang berasal dari jauh, misalnya imam turne. Gendang ditabuh diiringi alat musik logam yang dipukul mirip kenong di Jawa. Sembari itu, orang-orang menari bersama. Ada berbagai macam gerakan dalam menari, namun yang paling khas adalah menari seperti burung Ruai terbang.
Tuak dan pesta bersama adalah hal yang akrab di Jelai hilir. Namun, ketika ada peristiwa kematian, kedua hal itu pantang dilakukan oleh keluarga, utamanya. Misalnya di kampung Sentuai, seluruh kampung ikut berkabung. Sedangkan, keluarga yang ditinggalkan akan berpuasa dan berpantang. Pesta pun ditiadakan. Suasana berkabung berlangsung sampai tujuh hari.Seluruh masyarakat Dayak mengikuti peraturan adat. Jika ada yang tidak mematuhinya, orang itu akan menerima sanksi sosial seperti dikucilkan dari lingkungan. Adat menjadi hal yang pokok bagi masyarakat Dayak. Oleh karena itu, Gereja pun menginkulturasikan diri dalam adat dengan tetap berpegangan pada pedoman-pedoman iman dan tradisi luhur.

Tuak dan adat kadang kala juga menjadi bahan refleksi Gereja Terusan. Umat yang semakin hari harusnya semakin nyata dan utuh dalam menapaki jejak langkah Sang Kristus diajak untuk semakin sadar dalam menghidupi imannya. Iman akan mendorong umat menuju kepada kebaikan, maka mereka diajak untuk mampu membedakan mana yang baik mana yang buruk, bahkan harus sampai pada titik yang baik dan yang lebih baik. Di sinilah titik penting inkulturasi, ajaran iman Gereja dihadapkan pada situasi yang kadang kala justru menjauhkan mereka dari kesalehan hidup. Jangan sampai, bergendang sebagai adat menjadi kesempatan untuk pesta pora, mabuk dan lalai hidup suci. Setiap orang pun di ajak untuk mau berefleksi atas “dugem tradisional” itu.

Merajut mimpi di bangku sekolah
Selamat pagi, Tanah. Kalimat itu sering kali diucapkan oleh guru-guruku di sekolah dasar. Ya, dulu waktu usiaku baru 11 tahun, aku masih kelas 4 SD. Sekolahku berada di  Sengkuai Merabung.Aku tinggal di rumah pamanku, sehingga aku pulang ke Terusan hanya sabtu-minggu, berjalan kaki bersama pak Ujang yang pengelihatannya hampir buta. Kelak, aku ingin menjadi kepala desa di Terusan. Oleh karena itu, aku harus rajin belajar dan rajin menabung untuk membiayai sekolahku yang kian mahal. Aku ingin sekolah di Jawa. Akan kubuktikan bahwa kami tidak kalah pintar dengan orang-orang asli sana.

Pendidikan adalah gerbang untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. Daerah hilir terdapat beberapa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Dalam hal ini, masyarakat di Hilir masih memiliki pendidikan yang sangat sederhana. Hanya beberapa orang saja yang meraih pendidikan setingkat diploma dan sarjana. Sejauh ini, mereka yang berhasil menempuh pendidikan tinggi mau kembali bekerja di daerahnya. Misalnya, ada yang menjadi bidan, namun ia bekerja di klinik perusahaan terlebih dulu. Hal ini dilakukan sebagai batu loncatan dalam pekerjaannya di masa mendatang.

Sekolah-sekolah di daerah hilir menampung banyak siswa sebenarnya, akan tetapi kesadaran akan pendidikan nyatanya memang belum cukup tinggi. Beberapa anak mengatakan putus sekolah, baik ketika SD, SMP atau SMK. Alasan yang paling mayor adalah soal biaya. Misalnya, ketika sekolah SMK di luar kampung, maka butuh alat transportasi karena jarak yang jauh. Maka, muncullah biaya untuk sekadar membeli minyak. Hal ini menjadi beban bagi keluarga yang tidak cukup berpunya, sehingga pemasukan dan pengeluaran pun tidak seimbang. Akhirnya, pendidikan anak harus kalah dengan kondisi situasi seperti itu. Selain masalah biaya, persoalan akses menuju tempat pendidikan pun masih sangat memprihatinkan. Jalanan susah untuk dilalui.

Selain itu, kadang alasan pendidikan yang seret dalam berkembang dikarenakan oleh kualitas tenaga pendidik. Tenaga pendidik yang militan, rajin, giat dan berdedikasi tinggi sangat dibutuhkan. Bukan semata-mata untuk mencari prestasi, namun apa yang diajarkan itu juga bermutu dan berkualitas. Para pengajar yang bermalas-malasan dan seenaknya sendiri hanya akan memperlancar penurunan kualitas pendidikan di bumi Borneo. Pendidikan setempat, ya pendidik dan terdidik, pun seharusnya mampu bersaing dengan pendidikan di luar kampung.

Panggilan untuk keluar dari kampung dan menempuh pendidikan di luar daerahnya memang belum begitu besar. Banyak anak yang masih merasa ‘nyaman’ dengan kondisi situasi di kampung. Hal ini kalau tidak diantisipasi dapat menjadi boomerang bagi kehidupan mereka karena tidak proses belajar yang berkelanjutan. Semua mandeg dan tidak ada pembaruan. Namun, kini kehendak untuk tetap melanjutkan sekolah dan pergi ke luar daerah menjadi semakin digandrungi demi kelak mampu membangun kampung menjadi lebih baik lagi seperti yang terjadi di Pelampangan, tempat Pras dan Endang live in.

Mendamba rimba di tepi sungai suara

Selamat pagi, Tanah. Dulu, perahu-perahu klotok hilir mudik di sepanjang sungai Jelai. Mereka mengantarkan orang, barang belanjaan atau seluruh kebutuhan masyarakat di hilir. Perahu itu pun masuk ke anak-anak sungai untuk mencapai kampung yang di dalam. Sungguh, pemandangan yang menenteramkan hati, apalagi ketika anak-anak kecil sudah tahu berenang dan mandi di tempat yang dalam. Oiya, orang di sini kadang juga harus hati-hati kalau mandi, takutnya ada ikan buntal yang siap menggigit mana kala musim kering. Buaya, juga dulu sering muncul saat air surut. Ya, itu dulu.
Desa Terusan merupakan daerah di Sungai Jelai Hilir namun masuk dalam teritorial Kecamatan Manismata. Berada di daerah timur selatan kabupaten Ketapang, Terusan menjadi wilayah yang berbatasan dengan Kalimantan Tengah. Misalnya saja, stasi Pelampangan lebih dekat ke Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah daripada ke Ketapang. Situasi alam daerah selatan secara umum sudah dimasuki oleh perusahaan besar, baik untuk tambang bauksit atau perkebunan sawit. Alam yang Borneo banget tidak banyak dijumpai di daerah ini. Ciri khas daerah hilir adalah sungai yang tidak lagi jernih sebagaimana di daerah hulu yang berdekatan dengan sumber mata air. Air di Jelai hilir ini keruh. Penduduk memang mengubah yang dulunya hutan menjadi ladang mereka. Namun, perusahaan raksasa pun mengubah hutan yang mahaluas menjadi perkebunan sawit. Sentuai, sebuah stasi di tengah perkebunan sawit dengan lima gunung dan lima lembah. Sentuai mati-matian mempertahankan hutan desa sebagai pemberi rasa sejuk di antara pepohonan sawit yang mengelilingi mereka.

Untuk masuk ke daerah Terusan, orang harus melalui perkebunan sawit, karena memang stasi ini dikelilingi perusahaan-perusahaan sawit, mulai dari Sinar Mas, Cargill dan OSP. Jalanan di daerah perkebunan memang menjadi baik dan “lebih layak” untuk dilalui. Namun, hal tersebut tidak terlalu berlaku untuk jalan penghubung antar kampung. Misalnya saja, jalan di Sengkaparan, Kemuning,sebuah antara Tanjung Beringin dan Terusan, sangat jahat di mana terdapat meting yang cukup panjang untuk dilalui. Kalau tidak melalui meting, kendaraan akan amblas di lumpur. Kondisi ini pulalah yang kadang menyebabkan kendaraan roda empat jarang masuk ke Terusan. Bahkan, tak sedikit dari para pengemudi travel di sana selalu menggeleng kepala ketika diminta untuk diantar ke Terusan. Jalannya terlalu jahat.

Situasi alam di Terusan ini terjadi karena perusahaan sawit. Perusahaan memperjualkan janji manis kepada masyarakat yang mau menjual tanahnya kepada perusahaan. Mereka akan bekerja di perusahaan dengan gaji yang besar dan jalanan pun akan dibangun. Namun, ternyata hal ini disadari oleh semakin banyak umat sebagai bualan belaka. Apalagi, perusahaan membeli tanah mereka dengan harga yang sangat murah, RpP. 250.000,00-Rp. 1.000.000,00 per hektar. Hal ini tentu semakin merugikan ketika perusahaan memakan 500 hektar tanah sebagai lahan, padahal pada perjanjian hanya 400 hektar saja. Fenomena inilah yang akhirnya menyadarkan masyarakat di stasi hilir untuk menolak perusahaan sawit yang sewenang-wenang. Sekian ratus hektar lahan sawit pun diboikot oleh masyarakat, sehingga perusahaan tidak bisa memanen buah sawit.

Selain itu, masyarakat yang kecewa ini pun akhirnya sadar bahwa mereka harus mewarisi tanah dan alam kepada anak cucu. Namun, bagaimana dengan nasib tanah yang telah terjual semua? Mereka pun juga hanya mampu menggantungkan hidup mereka kepada perusahaan sawit sebagai penguntik brondol, pengawas atau security dan driver. Oleh karena itu, ini bukan hal menjaga alam semata, namun juga soal keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong mereka untuk mendesak pemerintah untuk membuat batas antara lahan masyarakat dengan lahan HGU perusahaan sawit.

Kehadiran sawit tidak hanya memberi pengaruh yang di darat. Sungai Jelai dan anak-anaknya pun mendapatkan imbas dari hal ini. Seorang anak di Terusan bercerita, “Kalau hujan deras itu am, air sungai yang tadinya dingin menjadi hangat karena saluran limbah dari perusahaan itu dibuka dan dialirkan kesungai”. Maka, beberapa orang juga mengeluh karena gatal selepas mandi di sungai. Lebih mengkhawatirkan untuk jangka panjang ke depan, limbah bercampur sungai yang menjadi tumpuan dapat menimbulkan penyakit yang membahayakan bagi kesehatan. Sungai pun keruh karena pembuangan limbah pupuk yang mencemari sungai. Selain itu, politik sawit sangat kentara. Transportasi sungai menjadi tidak laku dibanding darat. “Yang mempunyai” akses jalan adalah perusahaan sawit, maka kalau mau lewat jalan ini ‘juallah tanahmu dan kerjalah di perusahaan ini’. Dulu, dalam membuka lahan perusahaan menebangi kayu-kayu besar dan dijatuhkan ke anak-anak sungai seperti sungai Sinyarip, Sentuai, sungai Selaba dan sungai Kapul, Pelampangan. Otomatis, jalur sungai mati, sehingga memaksa masyarakat untuk memakan upah dari perusahaan sawit.

Beberapa tahun ini, Terusan sendiri akhirnya memutuskan untuk benar-benar menolak perusahaan sawit tersebut. Mereka membuat perusahaan sendiri dengan nama Terusan Alam Sejahtera. Apa yang membedakan adalah soal manajemennya. Pertama, komoditas tanaman tidak hanya sawit namun juga menanam pohon buah yang dapat di panen. Kedua, 50% keuntungan diberikan bagi pembangunan desa. Ketiga, 10 % keuntungan perusahaan dipergunakan untuk pembangunan Gereja. Keempat, bagi masyarakat yang merasa mampu untuk membeli tanahnya kembali, maka perusahaan wajib memberikan itu kembali kepada masyarakat. Perusahaan ini akhirnya memang berasal dari, untuk dan oleh masyarakat Terusan sendiri. Setidaknya, dari perusahaan ini masyarakat berjuang untuk menjadi tuan atas tanahnya sendiri.

Selain itu, stasi Hilir pun semakin menumbuhkan semangat untuk kembali melestarikan kebiasaan meyantik rotan dan menoreh karet. Dua tanaman ini menjadi hal yang paling bersahabat dengan alam dan tidak merusak ekosistem. Meski pun harga karet lokal mengalami kemerosotan, ketekunan dan kesetiaan menjadi modal untuk menjaga tradisi baik ini. Masyarakat Dayak akan mati kalau mereka tidak mampu menyelamatkan alam hutan dan sungai mereka. Karena alam dan sungai adalah jatidiri urak’ng Dayak ditanah parene’an.

Jejak yang pudar
Selamat pagi, Tanah. Saban pagi, untuk ke sekolah aku melewati jalan tanah. Ketika semalam hujan, tanah agak becek dan liat, sehingga ruas-ruas kakiku tak mampu berpijak dengan kuat. Harus hati-hati. Tapi, kalau saat kering, aku pun berjingkat gembira di atas jalanan bersama anak-anak lain yang mau sekolah. Kebiasaan kami ketika berangkat adalah untuk saling menghampiri rumh demi rumah teman sekolah. Kadang kala, aku dan teman-teman mengejar sepeda motor merek Honda Revo milik kepala sekolah.
Bicara soal jalan darat, jalan yang baik untuk dilewati hanya ada di daerah perkebunan sawit. Sedangkan, jalan penghubung antar desa pun kadang tidak bersahabat baik. Jalan masih berupa tanah, meting dan lumpur. Setiap jalan itu kalau hujan becek dan licin sedangkan kalau kemarau akan berdebu. Akan tetapi, di setiap kampung, rata-rata jalan sudah halus dan disemen.

Selain itu, sinyal telepon belum dapat diandalkan. Hanya beberapa daerah saja, terutama di daerah sekitar perusahaan sawit, yang mendapatkan sinyal. Hal yang unik adalah adanya sinyal di depan gereja Terusan, tepat di bawah pohon beringin dan di papan nama gereja. GSM, Geser Sedikit Mati!. Selain itu, jangan harap ada sinyal yang full.
Tuan atas tanahnya sendiri

Selamat pagi, Tanah. Setiap akhir pekan, kulewati jalanan di kampungku tercinta. Memutarinya dari lapangan, gereja lama, dermaga, pertigaan, menyeberang dan singgah di rumah Isa, dekat rumah Pak Ayus. Bersama teman-teman lain, kurasakan kebahagiaan dan tidak terpikirkan akan segala kesulitan lain. Aku bangga akan kampung Terusan dengan segala kekayaannya, apa lagi ketika harus melewati kebun karet dan rotan untuk mandi di pantai bersama yang lain. Aku selalu mendambakan sungai ini tetap mengalirkan kebahagiaan bagi setiap orang yang menghanyutkan hidupnya di Jelai ini....
Berdasarkan situasi geografis dan minimnya saranaprasarana seperti transportasi, ekonomi dan pendidikan yang serba terbatas, persoalan sosial pun menjadi hal yang tak terelakkan. Bukan hanya soal kesejahteraan, namun juga hal-hal yang menyangkut seluruh tatanan kehidupan mendapatkan dampak yang signifikan. Beberapa masalah yang muncul antara lain adalah soal kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat luas dan keterbatasan mereka dalam mengakses pelayanan publik terkait hubungan dnegan masyarakat luas. Hal ini tentu saja juga paling kentara adalah soal fasilitas akses pelayanan kesehatan yang amat minim. Sehingga, bukan tidak mungkin jika beberapa penyakit kampung pun bermunculan, mulai dari kesehatan kulit hingga soal gizi.

Persoalan yang hingga kini belum juga mendapatkan titik terang secerah sinar mentari adalah pernikahan dini. Pernikahan dini amat marak terjadi di berbagai daerah, tidak hanya di hilir semata. Di hilir sendiri, hal tersebut menjadi hal yang seakan-akan lumrah. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah soal ekonomi, putus sekolah atau karena putus harapan dan situasi adat yang malah mendukung hal tersebut. Seakan-akan, menikah adalah solusi atas segala permasalahan itu. Padahal, senyatanya hal ini berkebalikan 180 derajat. Para pasangan dini itu sebenarnya mengalami kesulitan dalam berumahtangga karena belum siap secara materi dan psikologisnya. Bahkan, tidak sedikit yang telah menikah dini pun masih menggantungkan hidupnya pada orangtua mereka.Harapan-harapan cerah para pemuda akhirnya redup dan mati karena persoalan ini.

Di saat yang sama, kehadiran anak dalam keluarga pun menjadi sebuah kebahagiaan. Anak menjadi tambatan hati para orangtua. Mereka pun harus berusaha mendidik mereka dengan sepenuh hati demi cita-cita mereka yang jauh lebih tinggi. Di dalam keluarga ini lah, iman anak dan orangtua harus bertumbuh beriringan, karena di sanalah Yesus mendirikan Gereja kecilnya.

Selain itu, persoalan sosial juga timbul dari problema dilematis perusahaan sawit. Tanah-tanah yang telah terjual itu merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk berpikir panjang. Akhirnya, banyak pula keluarga-keluarga yang telah kehilangan tanah warisan untuk keturunan selanjutnya. Tanah dijual, ladang tidak lagi digarap, kebun karet makin sempit. Memang, perkebunan dan perindustrian mendatangkan manfaat, mulai dari akses jalan, lapangan pekerjaan tersedia untuk sementara waktu, pusat perekonomian merambah ke pedalaman dan pendidikan juga makin berkembang. Namun, tidak semua orang sungguh dapat mengaksesnya. Lahan perladangan menyempit membuat penduduk asli tidak lagi menjadi tuan atas tanahnya sendiri.

Entah, aku sekarang hampir berusia lebih dari seperempat abad, aku masih terus menduga terka apa yang dikehendaki Tuhan yang terpaku di palang kayu itu untuk Terusan. Aku dan teman-temanku sudah banyak bekerja setelah berhasil menyelesaikan sekolah. Mungkin ini, Tuhan menginginkan setiap anak menggapai pendidikan tinggi untuk datang kembali ke Terusan, membangun kampung ini lebih baik lagi. Tuhan ini meratakan lagi kesejahteraan. Tuhan ingin alam di Terusan ini pula hijau kembali oleh pohon-pohon di ladang milik masyarakat sendiri. Ya, segala keprihatinan itu harus semakin diretas agar setiap orang terpanggil untuk mencintai dan melindungi Karya Tuhan dalam kehidupan ini. Sayup kudengar di kala fajar memburatkan warna oranye di langit biru timur, Tuhan menyapaku, “Selamat pagi, Tanah”.

Posting Komentar

0 Komentar