JLM#4 - Menjadi siap dibentuk (Cyprianus Prasetya)

Menjadi siap dibentuk
Cyprianus Prasetya


Pelampangan, Paroki Tanjung, Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat adalah tempat dimana aku live in dan mencoba berbagi. Keadaan warga dengan pekerjaan di perusahaan sawit dan hidup bergantung pada alam serta tanpa aliran listrik dari PLN membuat suasana yang berbeda dengan tempat tinggalku di Jawa. Masing-masing orang mempunyai kebiasaan yang berbeda, mulai dari anak-anak, orang muda hingga orangtua. Mayoritas para bapak bekerja di kebun sawit yang sangat luas milik perusahaan. Disadari atau tidak, perluasan lahan sawit yang merusak hutan membuat udara segar berkurang bagi makhluk hidup. Lain lagi dengan ibu-ibu atau emak,mereka lebih sering mencari bahan makanan di hutanyang akan menjadi menu-menu andalan seperti ikan sungai,sayur rebung dan mentimun. Menu tersebut menjadi salah satu sajian yang khas di desa ini. Jika beruntung, warga akan mendapatkan kijang untuk dimakan.
Berbeda lagi dengan orang mudanya. Di Pelampangan muda-mudi kadang terjatuh pada masalah ‘percintaan’ yang artifisial.Wajar saja setelah lulus sekolah, mereka lebih memilih menikah daripada melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah bukit di luar kampung menjadi sarana pertemuan bagi para muda-mudi untuk berpacaran.Di sisi lain pemandangan tersebut, anak-anak memilih bermain permainan tradisional di depan rumah. Hal ini menjadi sebuah imaji yang mengingatkankupada suasana di kampung halamanku dulu.

All is well

Pagi hariaku berjalan menuju sungai yang tak begitu dalam dengan arus yang tenang. Di sungai tersebut menjadi tempat mandi semua orang, tanpa memandang pria atau wanita. Canda tawa di pagi haridi tambah dinginnya air dan rimbunnya pohon di bantaran sungai membuatku merasa nyaman dan aman di tengah-tengah mereka. Rasa persaudaraan sudah kurasakan sejak kedatangan pertama kali di stasi Pelampangan. Mereka menerimaku dengan baik sebagai keluarga baru. Selepas itu kamipun memulai kesibukan kami masing-masing, menjalankan apa yang sudah menjadi tugas bagi kami. Ini adalahmoment pas bagiku karena anak-anak libur sekolah, kegiatan PIA menjadi andalanku di pagi hari sehabis mandi.
Aku melihat wajah bersemangat terpancar dari anak-anak ketika kami berkumpul dihalaman gereja untuk memulai kegiatan kami. Tidak lama kami pun bergegas membuka pintu gereja.Tiba-tiba,hatiku miris dan prihatin ketika aku mulai masuk ke dalam gereja dan melihat beberapa hal serba terbatas. Keterbatasan tersebut tampak pada berbagai peralatan ekaristiyang sangat kurangdan bangunan gereja ala kadarnya. Namun, keprihatinanku mulaipudar ketika akubersama Endang bisa mengajak anak-anak bernyanyi. Semangat, canda tawa dan antusias mereka membuatku tak memikirkan lagi keterbatasan ini. Dalam keterbatasan ini semuanya berjalan dengan baik dan membuatku semangat kembali, all is well.
Aku mulai terbawa suasana kehidupan disana, kebiasaan mereka dan persaudaraan mereka membuat hatiku gembira. Keramahan, sapa, senyum membuatku semakin betah tinggal di sana. Dengan segala keterbatasan yang ada, aku merasa bahwa semua baik adanya. Ya, all is well!
Pengalaman terjatuh dan tersungkur


Di suatu siang yang terik kala itu, stasi kami akan kedatangan rama untuk merayakanekaristi.Natal. Kami pun bersama-sama menyiapkan hidangan untuk merayakan natal dengan makan bersama. Setiap orang mempunyai tugas masing-masing, kulihat bapak-bapak dan pemuda memotong babi. Aku pun tertarik dan memutuskanbergabung dengan mereka. Emakdidapur mempersiapkan makan siang untuk kami, canda tawa dan logat bicara yang khas membuat suasana ramai dan membahagiakan. Sungguh suasana Natal yang belum pernah kurasakan di kampung halamanku.
Awalnya, tangan kanan memegang parang dan tangan kiri memegang daging babi membuatku tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka. Yang penting aku ikut terlibat mempersiapkan pesta natal saja. Di sela-sela keramaian dan kegembiraan mempersiapkan perayaan Natal, ada seorang bapakyang mendekatlalu mengajakku untuk ikut bersama-sama memperbaiki jalan. Di sela-sela percakapan mereka,aku mendengar bahwa mereka membutuhkan sopir. Tanpa basa-basi, aku membalas percakapan mereka dengan menawarkan diriku untuk membawa mobil.
Kami pun menempuh perjalanan jauh untuk mengambil batu. Mobil Pick-up pun kukendarai bersama lima orang warga. Di perjalananku mengambil batu, mobil yang kukendarai justru terperosok ke dalam kubangan. Kemudian, kami turun melihat kondisi mobil, wajar saja aku belum berpengalaman dalam medan berlumpur dan berkubang.Panas terik yang menyengat membuatku patah semangat. Kami pun mencoba mendorong dan dengansegala cara kami mencoba untuk mengeluarkan mobil dari kubangan.Cukup lama kami mencoba membebaskan mobil dari kubangan lumpur. Dan, akhirnyamobil pun bisa keluar dari kubangan. Lega rasanya.

Pengalaman membawa mobil dan terperosok di kubangan lumpur menyadarkanku bahwa hidup memang selalu membutuhkan orang lain. Setelah beristirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan dengan baju penuh lumpur dan tenaga sudah terkuras habis. Di sebidang tanah gersang dan berdebu kulihat tanaman bunga yang seakan-akan memperlihatkan cantiknya. Bunga itu seperti memberi semangat baru kepadaku. Bunga itu mengajariku arti hidup bahwa aku harus tetap meperlihatkan semangatku dalam kondisi apa pun.Seperti bunga di tanah gersang, aku harus tetap berusaha dan senantiasa bersukacita dalam setiap keadaan hidup.
Semangatku pun kembali menyala dan kami langsung memilah-milah dan mengambil batu untuk diangkut kedalam bak mobil. Tenggorokanku terasa kering karena cuaca yang panas, ingin rasanya kupuaskan dahagaku dengan air yang banyak. Akan tetapi, saat itu kami harus berbagi air minum, sebab kami hanya membawa sedikit air minum. Aku pun harus menahan nafsuku untuk menghabiskan air minum itu. Selepas membasahi tenggorokan kami dengansedikit air, kami pun lanjut mengangkut batu dan membawanya ke jalan yang akan di perbaiki. Ketika selesai menambal, saya melihat perubahan-perubahan kecil yang bermanfaat di mana jalan yang rusak bahkan hampir tidak bisa dilalui, kini menjadi bisa dilalui dengan adanya pengorbanan dan kerjasama warga kampung.

Pengalaman terjatuh dan tersungkur membuatku sadar bahwa manusia harus berubah meskipun prosesnya tidak mengenakkan. Dengan pengalaman tersebut aku melihat bahwa aku pun terkadang merasa terlalu nyaman dengan diriku, sehingga aku tidak ingin berubah ke arah yang lebih baik. Aku lebih senangmencari kesenangan duniawi yang membuatku bahagia. Namun, disisi lain aku terpengaruh dengan hal-hal yang tidak baik. Aku pun sadar bahwa aku harus berubah untuk kehidupan yang lebih baik, meski perubahan itu mengganggu kenyamananku.
Dengan berubah aku bisa bertumbuh, berguna bagi sesama dan menemukan arti dalam hidup yang kujalani. Ketika aku tidak mau berubah, aku malah membatasi diriku untuk melakukan banyak hal dan membiarkan aku tetap hidup di masa lalu. Live in di Pelampangan menyadarkanku bahwa manusia harus berubah.Perubahan sangatlah penting dan membutuhkan proses yang tidak mudah bagaikan sesaknya ulat didalam kepompong yang berjuang untukkeluar danmenjadi kupu-kupu. Berubah butuh perjuangan.

Aku harus siap dibentuk

Tak terasa waktu berjalan begitu singkat sekitar satu minggu lebih aku berdinamika dengan mereka dan meninggalkan banyak kenangan. Perjumpaanku dengan keluaga baruku haruslah berakhir.Aku harus meninggalkan mereka karenaharus kembali ke Jawa untuk melanjutkan kuliahku. Tak ada yang abadi di bumi ini, suasana haru menyelimutiku ketika aku melihat air mata mereka berjatuhan. Lambaian tangan anak-anak yang pernah bernyanyi bersamaku menghantar kepergianku. Gerimis menyertai kepulanganku, suasana perpisahan seakan terasa ketika aku sampai di bandara.
Dari perjalan bersama Jejak Langkah Misioner #4 ini, aku mendapat pengalaman sangat berharga. Pengalaman disetiap pengorbanan yang harus diberikan. Utamanya adalah memberi bukan saja menerima. Aku pun juga harus memberi apa yang aku punya. Aku harus banyak bertanya tentang apa yang bisa aku beri, bukan apa yang aku dapatkan.Aku harus mewujudkan sesuatu bukan hanya meenikmati. Aku harus menjadi kepala dan bukan ekor lagi. Aku harus memulai suatu perubahan, tidak lagi hanya menanti untuk diajak bergotong royong menambal jalan. Namun, aku harus mengajak orang untuk mencapai perubahan.
Pengalaman ini akan kubawa dalam kehidupanku. Dimanapun aku berada, aku ingin menjadi berkat dan terang agar mampu menjadi pembawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi lingkungan dan sesamaku.Aku belajar dari jalan yang diratakan agar dapat dilalui dan bermanfaat.Aku harus meratakan lubang di hidupku yang berupa kekuranganku melalui masukan yang diberikan oleh orang-orang di sekitarkau.Keterbukaan menerima masukan baik menjadi syarat untuk dapat berbenah.Terimakasih Tuhan, syukur atas semua saudaraku yang Engkau berikan untuk suatu perubahan.Kehadiran orang lain sangat penting dalam setiap langkah untuk membantu berbenah dan memupuk iman.Adalah stiap panggilan orang Katolik untuk menjadi garam dan terangdi keadaan dunia yang semakin menawarkan kenyamanan dan kemewahannya .
Aku harus sadar akan ketidakberdayaanku menjadi manusia. Semua rahmat ini karna-Mu, Tuhan.Engkau tak pernah tinggal diam melihat kondisiku. Lewat alam yang menghasilkan pangan, Tuhan memberi kecukupan. Lewat sesamaku,Tuhan menguatkan, menyapa, dan menghiburku. Engkau mengulurkan tangan untuk memberikan kekuatan bagiku.Engkau menyapaku Tuhan dan menghangatkan jiwaku ketika beku.Walau kadang aku harus malu ketika melihat sisi burukku.Kerapuhan jiwa adalah cerminan dosaku. Siapa aku sampai Engkau tak malu, mengakuiku sebagai kesayangan-Mu?

Aku tak boleh melulu merasa malu, lemah, dan merasa putus asa. Tidak ada yang tak mungkin jika aku percaya,Tuhan mencintaiku dan dia memberikan kekuatan kepadaku.“Segala perkara dapat kutanggung dalam dia yang memberikan kekuatan kepadaku” (fillipi 4:13). Hidup baru telah menunggu ketika aku memijakkan kakiku kembali di tanah kelahiranku, kampung halamanku. Kumulai lagi kehidupanku dengan semangat menggebu,hari kemarin kujadikan pijakanku untuk berbenah diri setiap hari.
Berubah itu prosesnya tidaklah mudah, membutuhkan kesabaran dan pengorbanan, seperti halnya menambal jalan yang harus melewati berbagai kondisi untuk mencapai pengharapan. Yang kuyakini: Tuhan tak penah janji bahwa jalan selalu rata, tapi Tuhan berjanji akan selalu menyertai. Amin, berkah Dalem.
“janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2)



Cyprianus Prasetya yang akrab di Pras oleh teman-temannya merupakan salah seorang muda Katolik asal Gereja Emmanuel Ngawen, Paroki St. Antonius Muntilan. Saat ini, jejaka ceking yang supel ini sedang menempuh masa studi di AKPELNI Semarang dan menanti masa-masa pelayarannya. Moto hidupnya adalah “Menjadi Berguna”.

Posting Komentar

0 Komentar