JLM#4 - #catatanmisi Rm. V. Bondhan Prima KumbaraPr

#catatanmisi
Rm. V. Bondhan Prima KumbaraPr


Tahun 2018, Keuskupan Ketapang merayakan 100 tahun pembaptisan pertama orang dayak di paroki Serengkah. Gereja Katolik di sini telah turut membangun peradaban masyarakat dayak. Karya pelayanan paroki, pendidikan dan kesehatan sebagaimana lazimnya Gereja Katolik di mana-mana berkembang pula di keuskupan Ketapang. Seiring pelayanan itu, kini ada ungkapan generalisasi yang sangat lazim didengar di sini, “orang dayak berarti orang katolik”. Hampir semua kampung-kampung dayak berisi orang-orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik. Meski dalam kenyataannya tidak semua katolik karena ada juga yang protestan atau agama asli. Sementara itu, jika menyebut kampung melayu, orang-orang di sini, langsung mengidentikkan dengan kampung orang menyagak atau orang muslim. Betapa mengagumkan rahmat iman katolik yang ditanam para misionaris awal di Ketapang. Panggilan dan perutusan para murid Kristus dengan jumlah sangat besar ini pun sama dengan panggilan Yesus kepada murid-murid pertama-Nya di tepi danau Galilea berabad-abad lalu: “Mari ikutlah aku dan kamu akan kujadikan penjala manusia!”Tuhan Yesus selalu ingin mengangkat martabat kemanusiaan. Penjala ikan menjadi penjala manusia. Mencari nafkah menjadi mengusahakan keselamatan banyak orang. Mengisi perut menjadi kesejahteraan bersama. Anak-anak manusia menjadi anak-anak Allah.


Kedatangan tim Jejak Langkah Misioner Keuskupan Agung Semarang, sejak tanggal 23 Desember 2017 sampai dengan 2 Januari 2018 di paroki kami menjadi kesegaran baru yang mengingatkan kembali akan pentingnya martabat hidup sebagai anak-anak Allah. Telah cukup lama, belenggu ketidakberdayaan menyelimuti kami di tempat ini. Setidaknya duapuluh tahun lamanya, kami tidak melihat aspal di jalan propinsi dari Tumbang Titi ke Tanjung yang jaraknya sekitar 35 kilometer. Jalan ini merupakan akses utama menuju kota Ketapang, pusat perekonomian masyarakat. Tak ada tanda-tanda peningkatan ekonomi masyarakat yang cukup signifikan akibat itu semua. Sejak datangnya perusahaan sawit, tambang dan industri reboisasi yang berkuasa di tanah ini, rasa tidak berdaya itu semakin jadi. Kisah truk, mobil dan motor amblas adalah kisah seru sehari-hari yang diceritakan orang sambil meratapi harga barang kebutuhan yang semakin mahal. Sementara itu, perjalanan cita-cita para calon insinyur, dokter, pejabat-pejabat publik harus kandas di tengah jalan karena “harus” menikah di usia Sekolah Dasar dan Menengah Pertama. Mereka kemudian menjadi buruh-buruh pemetik buah-buah sawit.


Saya sangat yakin tidak ada jalan lain untuk meningkatkan martabat hidup anak-anak Allah selain pendidikan. Masih teringat di benak saya cerita tentang Romo Van Lith saat mendidik anak-anak Jawa tempo dulu. Beliau berkata pada teman Belandanya,“Anak-anak inilah yang akan mengusir kita”. Begitulah pentingnya edukasi untuk menaikan martabat hidup anak-anak Allah yang merdeka. Namun demikian, pendidikan adalah pekerjaan rumah yang sangat berat di sini. Selain kurangnya tenaga pendidik, masyarakat terutama terlanjur dijangkiti suatu gaya hidup baru a la revolusi industri (sawit, tambang dan reboisasi). Semua serba berprinsip ekonomis bahkan hukum adat yang berfungsi edukatif dan memfilter kejahatan pun seolah selesai urusan dengan membayar denda. Para bandar judi dan narkoba hidup sangat bebas di tengah masyarakat.


Semua tahu itu jahat, tapi dibiarkan begitu saja. Saya bahkan pernah melihat dengan mata kepala sendiri orangtua dan anak-anak duduk bersama di meja judi. Sementara jika ditanya apakah mereka pengikut Kristus, mereka akan dengan mantap menjawab,“ya, amin!” Saya jadi tahu sekarang betapa revolusionernya Yesus menyebut pengikut-pengikut-Nya sebagai murid karena kemuridan tidak sekedar pengikut. Murid harus naik tingkat. Jadi darimana misi pendidikan harus dimulai? Kita tak boleh menutup mata betapa sulitnya orang yang bahkan melek pendidikan hidup di tengah situasi seperti. Alih-alih merasa sendiri, mereka yang berpendidikan pun akan pelan-pelan menjadi ekonomis dan kehilangan filter.


Di stasi Terusan, tempat livein JLM 4, situasi ketidakberdayaan semakin nyata. Terusan adalah salah satu kampung yang menolak keras datangnya perusahaan sawit. Mereka masih setia mengusahakan karet dan rotan yang tak besar menghasilkan uang. Sementara itu, kampung-kampung kiri-kanan Terusan telah menyerahkan lahan-lahan mereka menjadi aset industri sawit. Akibat yang paling dapat dirasakan orang Terusan karena penolakan perusahaan sawit itu adalah akses jalan yang sangat buruk. Ketika mengantar para misionaris awam JLM4 ini, saya mengalami dua kali mobil amblas dan sekali tiga roda mobil sekaligus bocor. Sementara itu, kampung-kampung lain boleh menikmati jalan yang sedikit lebih baik karena kampung mereka di tengah jalur pengangkutan sawit. Kini, orang Terusan mulai membuka lahan baru sawit pribadi. Inilah hukum rimba wajah baru a la revolusi industri.
Revolusi industri di sini mengingatkan kita akan godaan setan kepada Yesus di padang gurun. Buatlah roti dari batu untuk mengenyangkan perutmu. Gaya hidup ekonomis tetap saja mengaburkan martabat dan jatidiri anak-anak Allah.


Kadang dengan gaya bijak orang berkata, “Uang memang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya membutuhkan uang”. Suatu kali setelah ekaristi di salah satu stasi di sana, seorang ketua umat mengeluhkan para murid Kristus di sana yang tidak pernah melaksanakan kewajibannya untuk ibadat pada hari Minggu. Ketua umat itu berkata: “Umat di sini kalau diajak sembahyang hari Minggu, bilang: sembahyang ya ada penyakit, ndak sembahyang ya ada penyakit. Sembahyang ya tetap miskin, ndak sembahyang yang ndak kaya-kaya”. Di salah satu stasi yang lain, pernah juga seorang tokoh umat memberi pengarahan kepada umat sebelum saya menutup ekaristi dengan berkat. Beliau mengatakan, “Kalian harus tetap sembahyang meski romo tidak datang. Romo memang tidak bisa setiap minggu melayani misa di sini. Tetapi kalian harus tetap ibadah hari Minggu. Jangan kalian kejar bonus 200 atau 300 ribu dari perusahaan karena kerja di hari Minggu. Kalian bisa sehat bekerja itu karena Tuhan. Maka datanglah beribadah pada hari Minggu!” Betapa mengharukan ucapan para tokoh umat ini.Tapi, yang lebih menyedihkan adalah baru sejak tahun 90-an perusahaan-perusahaan ini berdiri dan mereka telah berhasil mengiming-imingi batu menjadi roti. Sementara itu, orang di sini pun tahu bayi lahir jika diberi uang sebanyak apapun tidak akan hidup. Bayi hidup dari kehangatan relasinya dengan sang ibu. Jaringan relasilah yang membuat manusia bertahan hidup, dan sama sekali bukan uang.



Kita memang tak bisa menghakimi bahwa kedatangan perusahaan industri-industri besar ini adalah penyebab utama berbagai kerusakan hidup. Kedatangan mereka memang tidak terbendung, sementara itu masyarakat belum siap mendidik generasi mudanya. Mengutip Mgr Pius, Uskup Ketapang, perjalanan umat ini mengingatkan pada perjalanan umat Israel di padang gurun. Mereka fanatis pada Yahwe, tapi cara hidup mereka terancam kehancuran. Satu generasi lamanya mereka di tengah gurun kehidupan dididik alam yang keras. Namun demikian, tidak cukuplah pendidikan padang gurun itu untuk mengangkat martabat umat Allah. Edukasi hukum Taurat Allah diperlukan untuk memfilter segala bentuk kejahatan sekaligus membentuk pribadi-pribadi beriman sekuat Yosua yang akhirnya memasuki tanah terjanji. Inilah yang juga menginspirasi saya untuk bergerak bersama segelintir umat Keuskupan Agung Semarang dan Keuskupan Ketapang untuk membuat gerakan edukatif. Syukur pada Allah yang segelintir ini adalah mereka yang sungguh menghayati semangat beriman yang menurut kategori Keuskupan Agung Semarang, cerdas, tangguh, misioner dan dialogis. Kami bersama-sama membentuk Gerakan Orang Tua Asuh Misioner yang tugas utamanya membantu anak-anak Kalimantan mengenyam pendidikan formal di Jawa dan sekaligus membina mereka menjadi aktivis-aktivis Gereja dan Masyarakat. Kami telah mengirim 13 anak Kalimantan pilihan angkatan pertama untuk karya ini dan sekaligus membangun jejaring yang baik awam Semarang dan Ketapang. Kira-kira telah duapuluh limatahun lamanya umat Ketapang hidup dalam padang gurun revolusi industri. Masih ada limabelas tahun, seturut cerita perjalanan umat Israel memasuki Tanah Terjanji dalam kitab suci. Semoga karya misioner mendidik anak-anak Kalimantan ini bukan karya yang terlambat.



Kehadiran para misionaris awam JLM4 merupakan sakramen (tanda dan sarana) yang akan membuka pintu jejaring karya misi dua Keuskupan ini yang lebih besar. Dalam kesempatan evaluasi bersama tim JLM4, para misionaris awam ini sendiri mengungkapkan betapa pentingnya jaringan relasi yang semakin erat antar umat awam di sini dan di sana agar bantuan rahmat Allah bekerja secara efektif untuk umat Ketapang yang sedang mengalami perjalanan padang gurun kehidupan ini. Sejak setengah tahun ini, saya juga bersyukur ada Niko, seorang OMK Keuskupan Agung Semarang yang inspiratif mengatakan: “Setelah lulus kuliah saya mau mengabdi sebelum benar-benar bekerja mencari uang”. Niko telah setengah tahun ini menjadi guru kontrak mengajar di SMP Pangudi Luhur Don Bosco Tanjung. Betapa besarnya rahmat Allah untuk karya misi jika banyak OMK di Keuskupan Agung Semarang mengucapkan kata-kata Niko. Jangan bayangkan ketua Gerakan Orang Tua Asuh Misioner yang mengirim 13 anak itu juga seorang pengusaha atau pejabat besar! Ketuanya adalah Lilis, Orang Muda Katolik yang sangat sibuk dalam pekerjaannya mengurus penerbit-percetakan dan sekaligus bersemangat untuk mengabdikan diri pada karya misi. Sebagai imam keuskupan Agung Semarang yang berkarya di tanah misi ini, saya sangat bersyukur mengenal orang-orang muda yang punya keberanian berkarya misi ini. Bersama Niko dan Lilis, kami mengunggah banyak dokumentasi karya misi di socialmedia dengan #borneomemanggil dan #catatanmisi. Hashtag-hashtag ini semoga juga menjadi undangan dan panggilan bagi para awam di Keuskupan Agung Semarang untuk dengan berbagai cara turut serta menjadi bantuan rahmat Allah bagi perjalanan umat Ketapang di padang gurun kehidupan. Terima Kasih JLM!

Posting Komentar

0 Komentar