Bermisi sebagai Tindakan Rasional-Komunikatif Orang Muda Katolik
Rm. Yoseph Nugroho Tri Sumartono Pr
Awal Januari 1978. Tiba-tiba aku dipanggil Bp. Kardinal Darmoyuwono ke Semarang. Bapak Kardinal menunjukkan surat dari Vikjen Keuskupan Ketapang dan diberikan kepadaku agar dibaca. Setelah kubaca aku terdiam, terharu. Isinya dengan singkat menyampaikan gambaran situasi Keuskupan Ketapang dan dengan sangat mohon kepada Bp. Kardinal untuk mengirim imamnya membantu keuskupan Ketapang.
Yang menyentuh hatiku adalah karena dalam surat itu disertakan kutipan dari Kisah Para Rasul 16:9-10. Dia mengatakan, “Kamilah orang Makedonia, yang nampak dalam penglihatan Paulus di Troas itu dan kami mohon dengan sangat: Menyebranglah kemari dan tolonglah kami.” Setelah membaca aku tertegun sejenak. Terbayang: Kalimantan di seberang Laut. Mereka mendambakan datangnya Rasul untuk menolong mewartakan Injil, menghadirkan Kerajaan Allah. Aku kaget mendengar suara Bapak Kardinal, “Kadospundi Rama, sanggup dipun utus mbantu Keuskupan Ketapang, Kalimantan?” “Inggih, sendika”, jawabku . Ya seperti Nabi Yesaya waktu menjawab Tuhan yang bertanya, “Siapakah yang akan kuutus dan siapakah yang mau pergi untuk aku?” maka sahutku, “Inilah aku, utuslah aku” (Yes 6:8).
Waktu itu tahun 1978 Keuskupan Agung Semarang sebetulnya belum punya banyak imam diosesan. Kalau dipikir ya masih membutuhkan untuk melayani dan mengembangkan keuskupannya sendiri. Namun Bapak Kardinal mau memberi bantuan, meski masih kekurangan sendiri. Kelak aku diberitahu bahwa ternyata rekan-rekan UNIO menghadap bapak Kardinal dan nggondheli (waktu itu aku antara lain menjadi vikep Yogya dan Ketua UNIO), tetapi Bapak Kardinal menjawab, “Kita harus berani membantu dari kekurangan kita kepada yang sangat membutuhkan, dan kalau membantu ya jangan yang sudah tidak bisa kita pakai, tetapi yang sebaik-baiknya”.
Misionaris Domestik
Misionaris Domestik, dalam Serpih-serpih Kenangan, Sayonara Jalan Tikus dan Riak Riam, Kisah Perjalananku sebagai Misionaris Domestik di Keuskupan Ketapang, Mgr. Blasius Pujaraharja, Yayasan Pustaka Nusatama, 2015. Hlm. 21 – 23.
Misionari domestik
“Misionaris Domestik” adalah tulisan pertama dari 104 tulisan reflektif Mgr. Blasius Pujaraharja atas karya beliau di Keuskupan Ketapang. Tulisan itu menjadi bingkai berlapis bagi refleksi perjalanan kawan-kawan Jejak Langkah Misioner angkatan ke 4 tahun 2017 yang lalu. Bingkai pertama adalah kentalnya pengalaman iman dalam pribadi Mgr Blasius yang meneguhkan keputusannya untuk berangkat bermisi. Kedua, tugas misi adalah salah satu keping penting yang membentuk wajah sebuah keuskupan yang lahir dari solidaritas universal Gereja tanpa kehilangan kesadaran lokal.
JLM 4 mulai berkumpul dengan 13 orang pada bulan Juli 2017. Perbedaan sudah amat nampak dari awal. 13 orang dari 13 asal domisili paroki yang bebeda, beda usia yang signifikan, beda aktivitas, beda jalur kegiatan, beda minat dan latar belakang pendidikan. Makin hari makin tampak dan menonjol perbedaan-perbedaan itu. Secara positif, itu memberi pengharapan dan gambaran akan orang muda sebagai wajah muda Gereja yang giat, kreatif dan bervariasi. Namun dalam proses ini konflik dan perselisihan rutin terjadi. Sampai akhirnya rombongan ini tersisa 7 orang saja. Tentu mereka yang bertahan ini bukan representasi dari yang lebih baik atau yang lebih diselamatkan daripada yang akhirnya tidak berangkat, karena ini semua berkaitan dengan proses pembentukan komitmen dan kedewasaan masing-masing. Mereka yang tidak berangkat pun tetap menjalin kontak sebagai teman dan anggota Gereja yang sama.
JLM#4 masih mengambil tempat di Keuskupan Ketapang. Namun bukan lagi di Pra Paroki St Maria Kualan Sekayok,Paroki St Martinus Balai Berkuak melainkan di Stasi St. Paulus Terusan, Paroki St Maria Assumpta Tanjung. Komunikasi dijalin bersama Rm V. Bondan Prima Kumbara Pr, imam Keuskupan Agung Semarang yang diutus sebagai misionaris domestik di keuskupan ini. Dinamika yang juga berbeda adalah bahwa anggota JLM#4 tinggal di stasi-stasi yang berbeda untuk membangun tugas pelayanan mereka disana.
Dengan berganti tempat ini, diharapkan OMK dari Pra Paroki St Maria Kualan Sekayok akan ikut berpartisipasi untuk kaderisasi sebagai kelangsungan pengembangan OMK setempat. Meski demikian, harapan ini belum terwujud karena pada waktunya, ternyata rombongan yang dijanjikan akan datang dari sana tidak muncul di Tanjung. Akhirnya rombongan JLM#4 berangkat ke Stasi Terusan tanpa OMK Botong. Dalam proses selanjutnya, JLM#4 merumuskan tema “Tanahku Surgaku.”
“Mas, kok aku wedi ya …”
Tanahku Surgaku. Tema ini awalnya menimbulkan ragu. Kumpulan anak muda, kok buru-buru omong surga. Apa lacur?Bagaimana mungkin orang-orang muda yang masih di “gadhang-gadhang” untuk memegang kendali masa depan terburu-buru berpikir soal surga? Sudahkah mereka menyumbang cukup untuk dunia? Apalagi kalau surga mereka ternyata dilahirkan dari kekhawatiran-kekhawatiran hidup yang bertumpuk menjadi beban-beban keresahan.
Dan itu benar. Setidaknya mereka sendiri mengatakan bahwa proses awal JLM begitu berat lantaran perbedaan yang begitu mencolok antara satu dengan yang lain, menenggelamkan upaya-upaya awal untuk membangun dinamika dalam keterbukaan proses bersama. Masing-masing pribadi sesungguhnya adalah pribadi-pribadi yang kuat dengan pengalaman-pengalaman hidup mereka masing-masing, tetapi mungkin memang belum saatnya menemukan dan mengelolanya dengan kedewasaan dan iman. Dan ini akhirnya terungkap juga pada hari-hari akhir proses sebelum berangkat, yang ditandai dengan proses correctio fraterna–koreksi persaudaraan yang membuka lebih jauh pemahaman akan kehadiran pribadi yang lain dalam proses ini.
Saat itulah sebenarnya surga yang mereka bayangkan itu mulai terwujud, lebih daripada sekedar konsep-konsep yang juga cukup bagus dirumuskan. Lalu surga itu bukan lagi harapan kosong saja, tetapi sungguh buah refleksi dan pergulatan mereka sebagai orang muda. Memang kita tidak akan melihat kisah-kisah pribadi mereka satu demi satu, tetapi dari kata-kata mereka kita akan merasakan getar-getar upaya untuk membentuk identitas mereka sebagai orang muda. Endang dalam “Mencoba untuk Meletakkan Hati” bergulat tidak hanya dengan dirinya sendiri, tetapi juga dengan kekhawatiran orang tuanya melepas anak ke tempat yang jauh untuk pertama kalinya. Agnes dalam tulisannya, “Kuikuti Langkah-Mu” menulis adanya rasa tidak percaya diri dan ragu-ragu. Titus, bahkan merasa ditegur Tuhan karena isih sambat wae Maka ia menulis “Sepenuh Hati”. Bahkan, para pembaca boleh berhenti sejenak sambil membayangkan apa yang sedang dialami, dilihat, dan dirasakan, dalam tulisan “Daun yang Berguguran Akan Terbang Bersama Angin” lalu mendengar Yuyus berkata, “Mas, aku kok wedi ya?” Yang lain pun barangkali mengalami rasa yang sama. Tak kurang pun Tano dan Lanang sebagai fasilitatornya dan Rm. Suby sebagai moderatornya.
Dalam pergulatan panggilan mereka, para murid Yesus juga menemukan ketakutan-ketakutan yang sama. Bahkan degil hatinya. Tapi yang dicari Yesus memang bukan orang-orang sempurna yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Justru dalam pencarian yang tak kunjung usai tersebut, mereka diajak menjelajahi tempat-tempat yang tidak pernah mereka bayangkan untuk apa yang mereka bersama perjuangkan, Kerajaan Allah. Pun rasul-rasul misioner ini. Bukan orang-orang mapan bebas nilai dan selesai dengan segala hal pada diri mereka, tetapi mereka yang memang ingin mengarahkan pencarian jati dirinya pada menjalankan kehendak Tuhan pada diri mereka.
Proses JLM#4 ini memberikan inspirasi bahwa orang-orang muda ini membutuhkan intensitas perjumpaan, diskusi, pendampingan, untuk melihat tonggak-tonggak penanda arah perjalanan mereka mencapai kepenuhan hidup dalam Kristus. Tentu ini hanya salah satu saja pilihan dari banyak pilihan yang lain. Pesan kuat dari JLM#4 ini terletak dalam proses terbentuknya diskursus dari perbedaan-perbedaan pribadi yang terangkum dalam satu universalitas Gereja yang sama ini.
Bermisi sebagai tindakan rasional komunikatif orang muda
Dari kisah Mgr. Blasius Pujaraharja ketika diutus berangkat ke Keuskupan Ketapang, tampak salah satu visi eklesiologi Bapak Kardinal Darmojuwono. Gereja KAS adalah Gereja yang misioner. Salah satu wujud nyata misionernya adalah rela hati berbagi dari kekurangannya untuk ikut membantu membangun keuskupan-keuskupan lain di Nusantara. Dan sejak itu, KAS terus berbagi tidak hanya dengan Keuskupan Ketapang, tetapi juga dengan keuskupan-keuskupan lain. Kisah-kisah yang lain menunjukkan pergulatan Mgr. Blasius dengan aneka hal yang unik dan menarik. Keterbatasan-keterbatasan adalah kenyataan yang tidak cukup untuk dikeluhkan dan dikutuki, tetapi disyukuri dan diatasi sebagai tantangan karya dan pelayanan.
Tanahku Surgaku yang dirumuskan oleh JLM#4 terjadi dari proses bongkar pasang sedemikian rupa. Mulai dari pembelajaran demi pembelajaran, upaya membiasakan diri untuk menulis refleksi, edukasi bersama Rama Vikjen, mas Bimo (pegiat pengembangan sosial kemasarakatan dan lingkungan hidup), studi mandiri mengenai isu-isu lokal yang jamak dialami umat Terusan, kontak-kontak dengan Rm Bondan, sampai proses mereka bertemu dengan Mgr. Pius Riana Prapdi dan umat setempat. Memang proses enam bulan bisa dikatakan terlalu singkat untuk menemukan titik sambung antara satu dengan yang laindengan mimpi-mimpi yang berbeda tentang surga yang mereka harapkan.
Oleh karenanya, proses paling panjang dan melelahkan dari itu semua adalah proses menemukan bahasa bersama yang membuat mereka semua tidak hanya duduk secara fisik dalam kalangan yang sama, tetapi juga mendudukkan harapan, perasaan, dan perutusan sebagai komunitas kecil JLM#4. Seringkali, proses ini terasa menyakitkan karena konstruksi komunitas ini harus dimulai dengan mendekonstruksi konsep-konsep masing-masing pribadi agar menjadi apa yang disebut sebagai ke-bersama-an itu sendiri. Dari sanalah tampak bahwa ke-Katolik-an, aktivitas Gerejawi, pengenalan iman mereka selama ini sering hanya berhenti pada ritualisme dan aktivisme semata. Disitulah komitmen dan konsistensi setiap pribadi menjadi modal untuk bertahan dalam menata ulang dan mempertanggungjawabkan konsep-konsep diri. Ada contoh dimana salah satu peserta selalu mengatakan siap untuk berangkat ke Kalimantan, tetapi tidak mau ikut dalam proses dari waktu ke waktu. Yang bersangkutan memang akhirnya tidak lanjut dalam proses. Ada lagi yang akhirnya disarankan untuk tidak ikut karena waktu JLM akan menyita kesibukan kuliah dan ujian. Kuliah dan ujian harus menjadi prioritas daripada JLM yang bisa dicari di kesempatan lain. Inilah saat dimana mereka dikondisikan dalam ruang-ruang pertanggungjawaban terhadap ‘niat baik’ dan ‘kesanggupan iman’ masing-masing.
Mgr Darmojuwono–dalam kesaksian Mgr Blasius Pujaraharja–mengatakan bahwa mereka yang dikirim bermisi domestik bukanlah orang-orang terbuang dan bermasalah atau sisa-sisa, melainkan yang terbaik yang bisa disumbangkan KAS. Dalam diri orang muda (JLM#4) ini, ternyata lekat tertanam andai-andai belenggu yang mengerdilkan mereka seperti: OMK dengan jatidirinya sebagai tukang parkir dan dekorasi acara, OMK sebagai pelengkap penderita, atau OMK dengan kacamata dikotomis mengenai Gereja (Pastoran) sebagai tempat suci dan luar itu sebagai tempat dosa, OMK sebagai manut-nurut saja tidak ikut bicara kena getahnya, dan lain sebagainya. Sebegitu kuatnya bayang-bayang itu sampai menimbulkan kesulitan untuk menjalankan sebuah dinamika, “Anda masing-masing adalah pribadi yang luar biasa, maka sekarang silahkan angkat bicara dengan terbuka mengenai mimpimu tentang masa depanmu dan masa depan Gereja kita”.
Dengan membaca “Tanahku Surgaku” kita bisa berandai-andai jika orang muda didudukkan sebentar sebagai teolog-teolog kecil yang berdiskursus mengenai iman dan Gereja. Memang masih amat sederhana bentuknya, tetapi samar-samar kita akan membaca perkenalan mereka dengan habitus: berpikir-berbicara tentang pengalaman masing-masing, menemukan Kristus yang hadir di dalamnya, lalu merumuskannya–setidaknya–sebagai bagi pengalaman iman agar tidak berhenti pada diri mereka sendiri, tetapi mengalir sebagai kesaksian hidup yang segar dan nyata. Habitus yang ingin dibangun adalah habitus mengalami Kristus yang hadir, menguatkan dan menggerakkan mereka untuk melangkahkan kaki kemanapun Roh akan menuntun untuk pergi.
Thus, surga itu memang bukan surga yang ditunggu dalam kacamata sejarah keselamatan iman. Surga itu adalah perjalanan iman yang mereka tandai kembali ketika mereka mencoba membuka kotak-kotak rutinitas hidup mereka dan berpikir ulang, menemukan kembali, dan mendefinisikan kembali pengalaman-pengalaman perutusan dalam hidup mereka. Dan Kristus hadir di sana. Bisa jadi dalam #borneomemanggil, seperti yang ditemukan Ivan lewat “Dua Pasangan Makan Bersama”, bisa juga seperti Pras yang menemukan pengalaman itu ketika diberi kesempatan menjadi sopir untuk mengambil batu bangunan jalan desa–“Menjadi Siap Dibentuk”. Kita berharap bahwa penemuan-penemuan itu akan berlanjut sebagai kesanggupan-kesanggupan iman, sebagaimana mimpi Via dalam “Kak Via Jangan Tinggalkan Aku” untuk menjadi Yesaya-yesaya masa kini.
Kembali ke dunia nyata …
Akhirnya, selamat untuk teman-teman JLM#4 dan kekayaan pengalaman imannya. Selamat bergabung dalam persaudaraan Jejak Langkah Misioner bersama kawan-kawan JLM#1, #2, dan #3.
Dua minggu lewat di Borneo tentu sesuatu yang luar biasa. Tetapi juga belum ada apa-apanya dibanding perjalanan yang akan kita tapaki selanjutnya. Pilihan demi pilihan, peran demi peran, perjumpaan demi perjumpaan, diskursus demi diskursus, misi demi misi menemukan Kristus dalam setiap sudut hidup dunia ini. Masih banyak pengalaman yang kini terbuka di depan mata kita dan menunggu kita untuk ikut terlibat di dalamnya. Tentu sesudah mengalami indahnya bumi Borneo, kawan-kawan tidak akan tinggal diam lagi jika Kristus menyapa dan memanggil kita untuk kembali melangkahkan kaki ke mana pun Ia menghendakinya.
Mari kisahkan kabar sukacita terutama kepada orang-orang muda dimanapun kita jumpai agar semakin banyak orang ikut merasakan surga, sejak mereka masih di dunia.
Mari bawa panji misi kita mewartakan Kerajaan Allah yang sudah datang.
Mari bermisi setiap hari !!
Nyarumkop, 1 Februari 2018
0 Komentar