JLM #4 - Menengok Bayi Burung Enggang di Tepian Sungai Jelai (Rm. Romualdus Subyantara Putra Perdana Pr)

Menengok Bayi Burung Enggang di Tepian Sungai Jelai
Rm. Romualdus Subyantara Putra Perdana Pr


Kelahiran baru selalu membawa kegembiraan. Kegembiraan bagi orang tua bayi karena dipercaya untuk “dititipimomongan”. Kegembiraan dari para kerabat karena tambah saudara. Dalam tradisi Jawa, rasa kegembiraan itu terwujud dalam tradisi jagong bayi. Tradisi yang sederhana, namun penuh makna dan sukacita. Dalam tradisi itu, orang tua bayi biasa menyiapkan berbagai macam suguhan (hidangan) untuk kerabat yangdatang berkunjung. Kerabat lain akan datang berkunjung, mendoakan, dan membawa hadiah untuk bayi atau bingkisan yang biasanya berisi gula, teh, beras atau kebutuhan lainnya. Kadang kala di malam hari, mereka masih tinggal menemani keluarga yang sedang berbahagia untuklek-lek-an (bergadang) menjaga bayi mereka.
Aku dan sembilan teman orang muda mendapatkan kesempatan untuk jagong Bayi (baca:Natal-an) ke Borneo. Tak mau kalah dengan tiga majus dari Timur, kami mempersiapkan hadiah-hadiah kecil untuk kami berikan kepada Sang Bayi dan keluarga-Nya. Selama enam bulan kami mempersiapkan kado-kado itu. Kami bungkus serapi yang kami bisa supaya layak diberikan sebagai tanda sukacita. Mungkin pada akhirnya, kado-kado itu tidak sangat istimewa. Tapi tak apalah. Konon, di tanah seberang, adalah hal yang tabu ketika kita menolak pemberian. Meskipun tetap saja ada tata cara menolak, pusak-pusak. Jadi aku optimis, apa yang kami bawa akan ketrima (diterima dan dimanfaatkan) bagi Sang Bayi dan keluarga-Nya.
Borneo: paru-paru dunia, katanya....
Ini menjadi pengalaman pertamaku berkenalan dengan tanah Borneo. Berbeda dengan apa yang aku bayangkan sebelumnya, agaknya Borneo tidak lagi menjadi rimba semesta. Wajah Borneo sudah banyak mengalami perubahan. Sudah tidak banyak lagi hutan belantara, yang ada adalah perkebunan kelapa sawityang raya. Sudah tidak banyak lagi sampan berenang menyusuri nadi-nadi sungai, tergantikan oleh kuda-kuda besi yang berlari di atas lintasan tanah berbatu tambang bauksit dan terkadang harus merangkak terseok-seok di tengah jalan jahat (rusak parah) dihiasi meting(tatanan papan kayu titian) dan lumpur di tepian hutan kampung. Sudah tidak ada lagi aroma udara sejuk berair, tergantikan hawa panas kering berdebu. Sekarang, Borneo berbeda, tidak seperti dirinya lagi.
Mungkin,satu-satunya yang berubah dari Borneo adalah akses fasilitas hidup yang konsisten sulit dan minimnya sarana pendidikan. Jangankan sarana komunikasi, bahkan fasilitas listrik pun sebagian belum dapat mengakses. Tidak heran, sinyal komunikasi di beberapa kampung masih GSM (geser sedikit mati).

Pernah suatu hari, aku bertanya pada penduduk setempat yang sedang mengirim pesan singkat menggunakan telepon genggamnya, “Di sini ada sinyal kah?” Kemudian dia balik bertanya, “Hapenya merek apa?” Pertanyaan yang aneh. Biasanya, pertanyaan yang  dilontarkan berkaitan dengan keberadaan sinyal adalah, “Kartunya apa?” Karena masing-masing provider memiliki layanan jaringan yang berbeda-beda. Namun sepertinya, pertanyaan itu sudah tidak begitu penting bagi mereka, karena mungkin penduduk hanya menggunakan satu provider yang sama. Kemudian ia menambahkan informasi, “Kalau HP kecil (telephon genggam lama) mungkin dapat sinyal. Kalau HP besar (smartphone) mending untuk ambil photo atau untuk pajangan saja.” Ha ha ha…. Aku sendiri senang-senang saja dengan kondisi tanpa signal seperti itu. Terbebas dari gangguan dan kebisingan. Hening, bisa istirahat cukup, tidur cukup.Hmm…, hidup nyaman bah. 
Itulah wajah Borneo saat ini. Di situlah aku dan teman-teman mudaku akan jagong bayi Kristus. Mungkin, sekilas gambaran kehidupan di tanah Borneo yang aku kisahkan belum banyak berbicara, mungkin juga sudah tampak begitu sulit dan menantang. Tapi tenang saja. Yakinlah bahwa itu belum seberapa dibandingkan dengan kenyataannya. Akan lebih jelas lagi kalau kamu mau datang sendiri dan berkenalan langsung dengan saudara kita,#borneomemanggil.
Matinya sungai, matinya nadi Borneo

Di beberapa kampung yang aku kunjungi, aku melihat kapal dan sampan terogok rusak di tepian sungai bahkan di dalam parit–setelah dicari tahu, ternyata parit itu dulunya adalah aliran sungai yang cukup dalam yang sekarang mati. Sedih rasanya melihat bangkai kapal baru sebagian terendam di dalam air. Artinya, kapal itu belum lama rusak. Perlahan tapi pasti, aliran-aliran sungai yang menjadi urat nadi tanah ini mati. Situasi itu memaksa penduduk asli hengkang dari kebudayaannya. Kini, sungai hanya tempat sebagian kecil penduduk menjalankan aktivitas mandi dan mencuci. Amat jarang terlihat pemandangan orang mencari ikan atau bersampan di atasnya. Anak-anak Enggang “dipaksa”menjalani cara hidup baru. Dari penguasa hutan dan sungai, mereka harus nguntik brondol (mengumpulkan biji kelapa sawit) di kebun.

Sungai dulu adalah kekayaan mereka, nadi yang memberi mereka makan, nadi yang dapat mengantar mereka menembus belantara, kini sebagian tersumbat potongan kayu perkasa. Mereka kehilangan lubuk untuk menyelam (mencari ikan), mereka kehilangan alur untuk bersampan. Lauk ikan harus  mereka ganti dengan daging ayam jualan keliling, kenyamanan kelotok harus mereka ganti dengan sirkus kuda besi di atas papan meting di jalur berlumpur. Semakin hilangnya banyak aliran sungai membuat mereka semakin tak berkutik. Anak burung Enggang kehilangan bulu sayapnya.
Untunglah, masih terlihat jelas kecintaan anak-anak sungai kepada tanahnya. Tidak banyak penduduk yang pindah meninggalkan tanah kelahirannya. Banyak orang muda terlihat tetap tinggal di kampungnya. Memang, sebagian dipaksa kondisi (minimnya pendidikan) dan mau tidak mau harus bekerja seadanya. Sebagian lagi sedang dan telah selesai menimba ilmu di luar kampung bahkan di tanah seberang, dan mereka kembali. Mereka tidak memilih menetap di kota yang tampak lebih nyaman segala sesuatunya. Ini pertanda baik. Karena kalau semua orang ingin hidup nyaman, lantas siapa yang akan tinggal dan membangun kampung ini. Harus punya keyakinan seperti apa yang dinyanyikan band rock legendaris Indonesia, “Lebih baik di sini, rumah kita sendiri” (God Bless).
Roh Kudus menghendaki kekatolikan terus ada di tanah Borneo
Cukuplah aku bercerita tentang kesanku tentang tanah burung Enggang. Sekarang aku ingin berkisah tentang pengalamanku menengok bayi burung Enggang.

Ada pepatah mengatakan “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.Maka menurutku, akan lebih bijaksana jika terlebih dahulu aku mencari informasi tentang tanah di mana aku akan berkunjung dan melayani, tentang situasi umat, adat isitiadat, jangan sampai aku tidak pulang karena terkena hukum adat, hahaha ….

Romo paroki menceritakan sekilas pengenalannya tentang situasi sosial dan pastoral di paroki Tanjung secara umum. Ada perubahan sosial yang cukup signifikan karena kehadiran perusahaan kelapa sawit: pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, masuknya budaya-budaya luar di tengah masyarakat asli, semua itu merubah tatanan sosial. Namun banyak budaya lokal yang masih bertahan; keramahan menjamu tamu, kebutuhan hidup bersama hutan dan sungai. Tak dapat disangkal, beberapa di antaranya berbenturan dengan semangat Kristianitas. Aku sendiri tidak begitu dapat menilai, seberapa besar benturan itu terjadi.

Konon, berhadapan dengan berbagai kesulitan yang harus dihadapi, dalam sebuah diskusi pastoral muncul ungkapan, “Rasa-rasanya, semangat kekatolikan kok tidak bisa selaras dengan budaya Dayak”.Model keramahan masyarakat dan sumber daya alam yang ada begitu melimpah,agaknya membuat budaya matiraga dan semangat pembaruan/perubahan (belajar) tidak disentuh dalam kehidupan masyarakat. Tak heran, gagasan untuk menjadi “Gereja umat Allah” atau “Gereja yang mandiri” tidak mudah untuk ditangkap dan diterapkan.

Pertanyaannya, sebegitu sulitkah menyelaraskan nilai-nilai kekatolikan dengan budaya lokal di tanah Borneo, sehingga sempat terlontar ungkapan itu? Aku membayangkan, mungkin situasi ini sama dengan kondisi misi di tanah Jawa 115 tahun yang lalu, zaman Rm. Van Lith menjalankan misi di tanah Jawa. Kebingungan karena kemajuan misi tampak begitu minim. Namun ketika Tuhan menghendaki iman Katolik Tumbuh di tanah Jawa, Ia akan memiliki cara yang lebih canggih melebihi kepiawaian misionaris hebat sekaliber Van lith itu.
Bapak uskup menanggapi gagasan itu dengan bijaksana, “Kalau mereka (masyarakat Borneo) tidak layak untuk menerima iman Katolik, mengapa Roh Kudus masih menghendaki mereka tetap Katolik?” Ada alasan mengapa Tuhan tetap mempercayakan iman Katolik kepada masyarakat Borneo, dan untuk itu Tuhan memiliki cara-Nya sendiri. Maka, meskipun ada banyak tantangan yang harus dihapi untuk terus mengembangkannya, perwataan iman di tanah ini perlu untuk terus dilaksanakan, demi terlaksananya karya Roh Kudus.
Gratia essendi viacius christi
Seberapapun sulit gambaran kehidupan di tanah Borneo, aku sendiri merasa perjalananku jagong bayike Kalimantan ini nyaman, aman terkendali. Aku dan teman-temanku diberi kesempatan untuk merayakan Natal di Paroki St. Maria Asumpta Tanjung, Kesukupan Ketapang, Kalimantan Barat. Secara khusus, kami diminta untuk melayani umat kawasan hilir sungai Jelai yang berpusat di stasi St. Paulus Terusan. Dari gereja paroki, masih perlu empat jam perjalanan darat–jalan tanah berbatu berlumpur dan ber-meting–untuk sampai ke stasi Terusan.
Atas kebaikan hati romo paroki, aku dan teman-teman diantar menggunakan mobil. Tak tanggung-tanggung, kami diantar menggunakan Pajero Sport 4WD. Baik hati sekali romo paroki ini, kami diperlakukan dengan sangat istimewa. Bahkan di Jawa pun aku tidak pernah dijemput menggunakan mobil mewah ini. Mobil inventaris keuskupan ini dipinjamkan ke paroki Tanjung untuk kepentingan tanggap darurat bencana banjir pada akhir bulan Agustus 2017 yang lalu. Namun, setelah kendaraan diisi dengan sepuluh carier (tas gunung), delapan orang penumpang dan barang-barang bawaan yang lain, kendaraan mewah itu terasa seperti angkot saja. Meskipun begitu, perjalanan tetap terasa nyaman. Maklumlah, mobil mewah.


Dalam perjalanan, kendaraan kami terperangkap di kubangan lumpur, baru aku pahami alasan mengapa kami diantar dengan mobil mewah itu. Hanya mobil dengan empat penggerak roda saja yang dapat dengan selamat melawati jalur yang harus kami lalui. Itupun masih harus dengan perlakuan khusus: didongkrak, dituas, didorong, digoyang, dsb. Dan setelah melalui semua itu, mobil mewah yang kami tumpangi tampak tidak jauh berbeda dengan sebuah traktor yang baru saja dipakai untuk membajak sawah. Maaf, terlalu banyak menceritakan soal kendaaran. Tidak bermaksut memasukkan iklan lising dalam bagian ini. Namun itulah pengalamanku, diperlakukan secara istimewa oleh romo yang seharunya aku bantu dalam pelayanan.
Sesampainya di stasi Terusan, kedatangan kami disambut hangat oleh para tokoh umat. Aku dan teman-teman (sebelum mereka berangkat live in) ditempatkan di  sebuah pastoran yang luas, bersih, dan penuh makanan–walau hanya berbentuk beras dan mie instan. Tapi, bukankah mie instan sudah menjadi makanan mewah di sini? Ada tiga kamar tidur yang siap kami dipakai, bahkan untuk kamar romo dilengkapi dengan kasur pegas dan kelambu romantis anti nyamuk. Belum lagi kalau berkunjung ke rumah umat, selalu ada kopi dan makan yang ditawarkan. Karena masa pesta (Natal), makanan yang disiapkan pun menu istimewa dengan olahan daging babi. Anak-anak datang ke pastoran untuk ndolani (menyapa), mengajak jalan-jalan atau mandi. Itulah pengalamanku, diperlakukan secara istimewa oleh umat yang seharusnya aku layani.
Tidak hanya oleh umat, tim pun memperlakukanku dengan istimewa. Sembilan orang muda menjadi teman seperjalananku di dalam pelayanan misi ini. Tujuh orang di antaranya disebar ke empat stasi untuk live inselama seminggu. Dua yang lain menemaniku tourne (kunjungan keliling). Satu orang bertugas membawa perlengkapan harian dan mempersiapkan peralatan ekaristi, yang lain bertugas membawa alat dokumentasi sekaligus menjadi rider utama. Aku, aku hanya diminta membawa tas peralatanekaristi. Tinggal membonceng selama perjalanan, duduk manis saat persiapan dan pemberesan alat ekaristi, semua sudah ada yang mengatur. Itulah pengalamanku, diperlakukan secara istimewa oleh tim ku.
Malu rasanya diperlakukan terlalu istimewa seperti itu. Tapi,semua aku syukuri sebagai berkat yang berasal dari imamatku, berkat karena kehadiranku mewakili Kristus.
Rahmat yang mendesak untuk melayani

Pada refleksi awal aku bergabung dengan tim ini, aku menuliskan, “Mungkin aku tidak sekreatif kalian (anggota tim yang lain). Mungkin aku sudah tidak sekuat dan seenergik kalian (karena usiaku yang lebih tua). Yang aku janjikan, aku akan berusaha untuk tidak merepotkan kalian”.Tapi, terimakasih atas seluruh perlakuan istimewa yang diberikan kepadaku.
Emanuel Levinas, seorang filsuf Perancis, mengungkapkan pandangannya tentang relasi antar pribadi. Ia memiliki gagasan bahwa perjumpaan pribadi dengan orang lain, mengantar orang pada rasa tanggungjawab, tanggungjawab untuk melakukan pekerjaan yang baik. “Respendo ergo sum”, Aku bertanggungjawab maka aku ada. Perjumpaanku dengan romo paroki, umat kawasan hilir sungai Jelai dan juga tim, membawaku pada situasi itu. Akupun ingin melakukan pekerjaan yang baik bagi mereka. Pekerjaan yang menghadirkan suka cita bagi mereka. Atau setidaknya, aku berusah untuk tidak menambah beban mereka.
Dengan gembira hati, aku melaksanakan tugas pelayanan yang dipercayakan kepadaku sebaik yang aku bisa. Aku melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi bagianku. Aku memimpin perayaan Ekaristi, dengan tetap tersenyum agar juga menghadirkan suka cita bagi umat yang aku layani. Tidak mudah juga ternyata, tetap tersenyum dalam situsi gerah melanda di bawah balutan pakaian liturgi yang berlapis-lapis. Mau tidak mau, karena saat itu, hanya aku yang dapat memimpin perayaan Ekaristi. Dan untuk itulah aku ditahbiskan.
Di dalam kesempatan khotbah atau dalam perjumpaan bersama dengan umat, aku berusaha untuk memberikan katekese-katekese yang berguna. Memberikan pemahaman-pemahaman yang aku akui kadang dengan sikap keras. Namun hanya untuk satu tujuan, agar pemahaman itu dimengerti. Sesekali aku melakukan hobiku, bersih-bersih pastoran, supaya siapapun yang berkunjung dan singgah dapat merasa nyaman, tim dapat beristirahat dengan nyaman juga. Tidak banyak pekerjaan aku kerjakan, tapi aku yakin pekerjaan-pekerjaan itu dapat menghadirkan suka cita bagi orang lain.
Rasanya pekerjaan-pekerjaan yang aku buat itu belum cukup untuk menjadi ungkapan syukur atas rahmat yang aku terima dalam pelayanan misi ini. Tapi aku sungguh berterimakasih dan bersyukur atas pengalaman berbagi rahmat ini.

Lebih baik mengusahakan yang tidak pasti daripada menunggu yang pasti
Berbeda dengan tujuh anggota tim JLM yang lain, aku beserta dua anggota tim yang lain hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu stasi ke stasi yang lain. Bangun di pagi hari, melakukan perjalanan ke stasi pertama, merayakan Ekaristi HR. Natal di situ, berpindah ke stasi kedua, merayakan Ekaristi HR. Natal lagi di sana, kemudian tinggal menginap di stasi kedua itu. Itulah rutinitas kami selama lima hari merayakan Natal. Empat hari terakhir, baru kami dapat kesempatan tinggal di pastoran Terusan.

Beberapa kali aku berkesempatan untuk berdiskusi oleh tokoh-tokoh Katolik stasi Terusan. Kami berdiskusi tentang mimpi dan harapan umat tentang kehidupan menggereja di kawasan hilir sungai Jelai. Tentang perubahan sosial dan kehidupan menggereja yang terjadi. Tentang kerinduan mereka akan kehidupan menggereja seperti dimana lalu ketika ada imam dan ketekis yang tinggal dan mendampingi meskipun tidak lama. Karena dengan begitu, mereka punya kesempatan untuk melakukan konsultasi iman dan menerima katekese. Mereka menyadari bahwa perkembangan iman mereka masih kurang. Penghayatan iman mereka belum cukup mendalam. Umat kawasan hilir sungai Jelai adalah umat yang setia pada iman Katolik. Namun, mereka butuh sapaan-sapaan para tenaga pastoral Gereja agar mereka tumbuh dan berkembang, cerdas dan mendalam. Keterbatasan pendidikan, keterampilan dan pengetahuan (termasuk iman) yang ada saat ini membawa para tokoh umat Terusan pada pandangan bahwa mereka membutuhkan tenaga-tenaga pastoral “dari luar” yang mumpuni untuk membimbing mereka.

Mereka tetap berusaha memupuk harapan. Optimis akan ada perubahan ke arah yang lebih jika diperkenankan untuk menjadi (setidak-tidaknya) pra-paroki. “Hadirnya Gereja memiliki andil yang sangat besar (bagi kehidupan masyarakat). Maka, kerinduan umat Terusan dan sekawasan (Sungai Rasak, Pulai Laman, Abik, Pakit Selaba, Penangaran, Pelampangan, Sentuai, Merabung, Tanjung Beringin), menginginkan agar Terusan dapat menjadi paroki. Dalam menggapai angan-angan ini , saya dan umat Terusan sudah merasa capek dan lelah, hampir putus asa. Kami sadar bahwa ketika menjadi paroki tantangan akan semakin luas. (Tapi), Kami siap itu.”, ujar salah satu tokoh umat. Masyarakat berpendapat bahwa kehadiran Paroki (dan tenaga pastoral yang tinggal menetap) dikombinasikan dengan pemekaran kecamatan akan menjadi magnet bagi fasilitas kesehatan dan pendidikan yang menjadi dasar terjadinya perubahan.
Diskusi kami sering kali berhenti pada pertanyaan “Lalu apa yang harus dilakukan?” Aku sendiri tidak tahu jalan keluarnya. Tidak genap selusin hari aku melayani di kawasan hilir sungai Jelai ini. Jangankan untuk mengambil keputusan, pengetahuanku tentang pastoral di tempat ini pun amat minim. Di samping itu, aku sendiri memiliki pendapat yang berseberangan dengan mereka. Berkali-kali, para tokoh umat meminta kepada romo paroki ada tenaga-tenaga pastoral dari luar yang didatangkan untuk melayani mereka, membantu mereka agar dapat menghidupi iman Katolik lebih mendalam. Mereka mengeluh, permintaan itu selalu ditangguhkan dengan alasan tidak ada tenaga (SDM) untuk itu. Dalam diskusi itu, salah satu tokoh umat berujar, “Jika itu (ketiadaan tenaga pastoral) terus menjadi alasan, ya … umat Katolik di kawasan hilir ini tidak akan pernah mengalami kemajuan. Bukankah pastoral pengembangan umat adalah tanggungjawab Keuskupan? Mengapa Keuskupan tidak mengusahakan sumber daya yang memadahi untuk itu?”
Untuk itu aku mencoba menawarkan pandangan lain. “Jika umat kawasan hilir ini sadar bahwa butuh tenaga pastoral yang mumpuni demi perkembangan iman, sedangkan Gereja mengatakan tidak ada tenaga yang memadahi, kenapa tidak kemudian umat kawasan hilir ini berusaha untuk mencetak tenaga pastoral sendiri?” Tentu saja pendapatku itu mendapatkan tentangan dengan berbagai macam alasan, tenaga pastoral lokal minim pengetahuan, umat bosan dengan tenaga pastoral yang itu-itu saja, dan alasan-alasan standart lain.
Mungkin aku salah, membawa konsep “Gereja yang mandiri” dari tempat Gereja lokal tempatku berasal. Padahal kami pernah diwanti-wanti, “Untuk melayani di sini (Keuskupan Ketapang), tinggalkan semua gagasan dari (Keuskupan Agung) Semarang.” Tidak bisa disamakan. Namun hanya itu gagasan yang bisa aku pikirkan. Aku memahami, mereka menginginkan dan membutuhkan perubahan. Jalan paling mudah dan pasti untuk mencapai perubahan itu adalah dengan menghadirkan orang-orang yang sudah siap berkarya, yang dengan pengetahuan dan gagasan-gagasannya dapat membagikan kekayaan ilmu kepada mereka. Karenajika mengandalkan umat lokal, dengan kondisi yang ada saat ini, harapan untuk menjadi Gereja yang beriman mendalam seakan-akan jauh dari gapaian.

Untung, salah satu anggota tim JLM #4 ini menjalani studi lanjut di IPAK (Ilmu Pendidikan Agama Katolik) Sanata Dharma. Aku minta dia menceritakan tentang kondisi minimnya minat orang muda untuk menjadi katekis di tempat ia belajar. Dan cukup menyakinkan.Kembali aku mengajak para tokoh ini sadar, kalau memang benar-benar umat membutuhkan hadirnya tenaga-tenaga pastoral (imam, bruder, suster, katekis), maka umat juga perlu mulai berpikir, bagaimana mereka bisa mencetak tenaga-tenaga pastoral lokal yang mumpuni. Tentu, proses itu akan memakan waktu yang lama. Bahkan belum dapat dipastikan seberapa baik kualitasnya. Namun, bukankah lebih baik mulai mengusakan yang mungkin tidak pasti dari pada hanya menunggu sesuatuyang mungkin lebih pasti?
Didorong, digajal kayu, didongkrak, dituas, diplintir, didorong lagi
Sepuluh hari aku melayani di kawasan hilir sungai Jelai. Bukan waktu yang cukup lama untuk merasakan pengalaman pastoral utuh di tempat itu. Pernah aku berpikir, mana lebih sulit, perjalanan untuk sampai ke tempat itu, atau melaksanakan reksa pastoral di tempat itu? Dengan kendaraan yang sama (traktor pajero) kami dijemput untuk kembali ke paroki, dengan kondisi muatan yang tidak jauh berbeda. Beberapa barang kami tinggal sebagai kenang-kenangan, sehingga sedikit mengurangi beban. Namun selama dua minggu kami tinggal di kawasan hilir ini, bisa dipastikan berat badan kami masing-masing naik satu sampai dua kilogram. Jadi kira-kira beban kendaraan kami sama saja.
Kalau ketika berangkat mobil kami terjebak di area lumpur Tanjung Beringin, waktu pulang, mobil kami terjebak di padang lumpur Sengkaparan,Kemuning. Lebih parah dari perjalanan berangkat, kali ini, mobil kami benar-benar tidak dapat bergerak. Semakin dipaksa, alur jalan semakin rusak dan mobil semakin terperangkap. Berbagai macam cara diusahakan agar mobil dapat terbebas dari kubangan lumpur dan perjalanan dapat dilanjutkan. Jurus pertama, papan-papan kayu diganjalkan di bawah ban, kemudian mobil didorong, tidak berhasil. Jurus kedua, mobil digoyang-goyang, kemudi dipelintir, dengan harapanagar ban dapat menyentuh permukaan tanah keras di bawah kubangan lumpur juga tidak membawa hasil. Segala usaha dibuat, bahkan cara yang kami sendiri tidak tahu ada gunanya atau tidak.

Dengan susah payah dongkrak dipasang untuk mengangkat body mobil. Setelah body mobil terangkat, kami baru sadar bahwa ban mobil juga ikut terangkat sehingga tidak menyentuh permukaan tanah. Haduh … kami kebingungan. Di tengah usaha itu, muncullah ide cemerlang untuk menuas ban lebih tinggi sehingga batu-batu dapat dilemparkan di bawah ban untuk tambahan pijakan. Suatu ide yang brilian yang memakan banyak waktu serta tenaga. Ide gila yang paling masuk akal bisa dipikirkan. Hasilnya, setelah proses selesai, mobil kembali digoyang, didorong, kemudi dipelintir, tanjap gas dan mobil terbebas dari lumpur. Saat itu tepat pukul 18.00,saat matahari mulai terlelap, puji Tuhan!
Agaknya dalam memberikan tantangan pastoral, anak burung Enggang tidak mau kalah hebat dengan meting Kemuning. Ketimpangan luas antara jumlah tenaga pastoral dan juga luasnya wilayah, mau tidak mau membuat, bahkan pelayanan sakramental rutin pun jarang dialami oleh umat. Apalagi kegiatan katekse, pelajaran-pelajaran persiapan untuk menerima sakramen, konsultasi-konsultasi iman, hampir tidak pernah ada. Tidak heran, minat umat dalam mengikuti perayaan Sakramen pun rendah. Tingkat keefektifan kegiatan-kegiatan sebagai sarana pengembangan iman umat juga tidak pernah diketahui. Meski demikian, kegiatan-kegiatan itu perlu untuk terus diusahakan.
Mungkin tampak luar biasa sulit, tapi tidak pernah mustahil. Hanya perlu lebih banyak cara untuk diusahakan, didorong, diganjal kayu, didongkrak, dituas, diplintir, didorong lagi. Bahkan cara-cara yang kelihatannya tidak menjanjikan hasil yang pastiperlu diusahakan, agar anak burung Enggang dapat melayang tinggi di kemudian hari.
Epilog
Tidak banyak yang aku dan teman-teman mudaku dapat lakukan dalam kesempatan jagong bayi ini. Seperti kerabat yang lain, saat ini kami baru bisa singgah dan berjaga sejenak, membawakan sedikit oleh-oleh dan tak lupa mendoakan bayi burung Enggang di tanah Borneo. Pada kesempatan yang lain kami berharap dapat berjumpa lagi dengan burung Enggang yang kami kenal, yang mulai menumbuhkan bulu-bulunya kembali. Terbang melayang bersama bayi burung Enggang yang semakin perkasa, yang di waktu lalu kami kunjungi saat kelahirannya. (MoBee)

satu bagian dari keluarga JLM #4

Oh … ya,
S’lamat tinggal setangkai bunga, smoga kita bertemu lagi.
S’lamat tinggal setangkai bunga, smoga kita bertemu lagi.
Sungai Jelai segar airnya, mengundang kami pergi mandi.
Sampai jumpa kawan semua, semoga Tuhan memberkati.


Rm. Romualdus Subyantara Putra Perdana Pr merupakan imam Keuskupan Agung Semarang yang ditahbiskan pada tahun 2013 lalu. Saat ini, ia ditugaskan di Gereja St. Maria Regina Purbowardayan, Surakarta. Di JLM#4, ia menjadi bagian dari keluarga yang bertugas untuk memimpin Ekaristi di setiap perayaan.

Posting Komentar

0 Komentar