PASKAH DI KAMPUNG METO
Oleh : Nona Astyn Rahangmetan Ngarbingan
Namun ditengah perjalanan segerombolan bapa-bapa muncul secara tiba-tiba dari sela-sela rerumputan yang ada disamping kiri dan kanan jalan, mereka membawa tombak-tombak dengan hiasan wajah yang sedikit menakutkan. Tombak-tombak tersebut diarahkan kepada saya seolah-olah mau menombak saya. Saat itu saya kaget dan ingin berlari namun kemudian tifa (alat musik) dibunyikan dan semua umat menari penuh suka cita. Akhirnya saya menyadari bahwa bapa-bapa ini sengaja bersembunyi dan inilah tata cara penyambutan suku Auyu. Hal yang sama dilakukan pada saat saya akan kembali ke pusat paroki. saya diantar dengan tarian dan lagu perpisahan. Saat suara longboad sudah didengar dari kejauhan pertanda jemputan telah datang, umat lalu menghiasi saya dengan atribut budaya suku setempat (cawat, kalung panjang yang terbuat
dari manik-manik, dan burung cendrawasih ). Benda-benda ini bukan hanya sebagai kenang-kenangan untuk di bawa pulang tapi karena saya dianggap sebagai bagian dari saudara mereka. Selama atribut ini dipakaikan, lagu-lagu dan tarian daerah juga dinyanyikan dan dimainkan. Tidak ada adegan lain yang dibuat, selain tarian yang mengiri perjalanan saya menuju pelabuhan. Umat melepas kepergian saya dengan meneriakan lagu dalam bahasa suku setempat yang berarti “ anak kita mau pergi jauh”. Di Stasi Meto ini pula pertama kalinya saya di perlihatkan dan disajikan makanan ulat sagu. Meskipun sering mendengar namanya namun belum pernah melihat dan merasakannya. Ulat sagu di campur dengan sagu lalu dikukus dan disajikan. Ingin sekali untuk menikmatinya, namun sangat disayangkan mulut saya tidak dapat menerimanya (tidak bisa makan). Bagi saya semua yang saya alami ini sangat luar biasa. Dan bagi umat kehadiran saya menjawab kerinduan mereka akan kehadiran seorang pendamping iman terutama anak-anak.
Perasaan yang saya alami saat itu adalah rasa bahagia, bangga dan terharu. Bahagia dan senang karena saya bisa melihat dan berada di kampung Meto, kehadiran saya disambut dengan sangat istimewa. Umat menerima dan melayani saya dengan baik. Bahagia juga karena umat sangat ramah dan tidak ada sesuatu yang membuat saya merasa tidak nyaman. Bangga sekaligus juga salut karena umat berusaha memberikan yang terbaik. Umat berusaha agar saya tidak mengalami kesulitan saat membutuhkan sesuatu. Bahkan sebelum kehadiran saya, jauh-jauh hari umat sudah mempersiapkan tempat tinggal, MCK, tarian penyambutan dan lain sebagainya. Terharu juga karena ternyata lewat tarian penyambutan ini umat tidak hanya mengungkapkan kegembiraan mereka akan datangnya seorang yang membantu melayani mereka selama Tri Hati Suci dan Paskah tapi juga umat sangat membutuhkan kehadiran seseorang yang membantu melayani anak-anak SEKAMI lewat pendampingan-pendampingan mengingat tidak adanya guru agama atau seseorang yang punya ketrampilan lebih dalam hal pengembangan iman.
Keterlibatan saya selama berada di stasi Meto adalah memimpin ibadah, mulai dari Kamis Putih hingga Minggu Paskah. Sebelum ibadah di mulai pada sore dan malam hari, waktu pagi dan siang kami gunakan untuk latihan bersama para petugas yakni lector dan koor. Membersihkan gedung gereja dan menatanya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain itu saya memberi pembinaan pada anak-anak SEKAMI, mengenalkan berbagaimacam tepuk dan salam serta lagu dan gerak. Kehadiran saya bukan sebagai seorang hebat yang mengajari semua pengetahuan liturgi kepada dewan dan umat namun saya dan umat saling melengkapi tentang Tata Perayaan Sabda yang baru.
Nilai-nilai yang di dapat ialah saling melayani. Saya merasa dilayani mulai saat saya berada di Stasi Meto sampai saya kembali kepusat paroki. selama saya di Stasi Meto, saya disajikan makanan, air mandi saya ditimbakan dan apapun yang saya butuhkan agar perayaa sabda berjalan dengan lancar, dewan/umat menyiapkannya. Dan saya melayani umat lewat Pearayaan Sabda yang saya pimpin dan pembinaan yang saya berikan pada anak-anak SEKAMI. Memberikan peneguhan kepada seorang ibu yang imannya digoncang karena masalah keluarga. Umat sudah menerapkan TPS yang baru, namun ada beberapa hal yang mereka belum mengerti dan namun mau untuk dikoreksi jika ada yang salah. Misalnya dalam ibadat sabda lagu Kudus seharusnya tidak ada tetap mereka masih menggunakannya, maka saya menyampaikan untuk kedepan lagu kudus diganti dengan salah satu lagu pujian. Sayapun belajar dari mereka yakni pada saat komuni batin. Yang tadinya hari Kamis Putih saya tidak mengajak umat untuk komuni batin namun karena diingatkan oleh dewan maka hari berikutnya saya menggunakan komuni batin. Disinilah kami saling berbagi pengalaman.
Makna yang tersirat dari pelayanan Paskah ini adalah umat ingin berkembang dalam iman. Mereka rindu adanya seseorang yang dapat mengajari mereka tentang banyak hal yang berkaitan dengan perkembangan rohani mereka. Meskipun ada dewan stasi yang selalu mengarahkan umat dan mengajari mereka tentang tata Perayaan Litugi, dan guru-guru tutor yang punya hati untuk mengajari anak-anak, namun itu semua bagi mereka tidaklah cukup. Karena merasa diri punya banyak keterbatasan. Umat haus akan kunjungan-kunjungan dari kaum pembesar Gereja yang datang untuk memberikan suasana baru dengan penyegaran-penyegaran agar iman umat tetap kuat.
0 Komentar