Stasi Yang, Paroki Getentiri, Kevikepan Mumanja, Keuskupan Agung Merauke. Oleh : Regina Caely Londoran

Stasi Yang, Paroki Getentiri, Kevikepan Mumanja, Keuskupan Agung Merauke.
Oleh : Regina Caely Londoran

Stasi Yang adalah salah satu stasi yang berada di Paroki Paroki Getentiri, Kevikepan Mumanja, Keuskupan Agung Merauke. Di stasi Yang, hampir semua rumah warga masih menggunakan rumah adat, yaitu terbuat dari batang sagu, dan membentuk rumah panggung. Genting mereka masih terbuat dari daun pohon sagu, dan lokasinya berada di pinggir hutan dan dekat dengan sungai Yang dan sungai Kia. Karena stasi ini lebih dekat dengan sungai Yang, maka stasi ini dinamakan sebagai Stasi Yang. Namun, sebenarnya nama kampung ini adalah kampung Bobogoy. Bobogoy adalah nama leluhur mereka, sehingga penduduk di kampung ini sebenarnya masih ada ikatan keluarga antara satu dengan yang lain. Perjalan menuju ke stasi Yang membutuhkan waktu 2,5 jam dari Paroki Getentiri. 2 jam perjalanan darat, dan 30 menit perjalanan air (menggunakan jonson).

Stasi Yang merupakan salah satu bagian dari kampung Meto, yang mereka sebut dengan kampung induk. Menurut data dari pemerintah, kampung Meto terdiri dari 4 RT. RT.01 s/d RT.03 menjadi satu tempat yaitu di kampung Meto, sedangkan RT.04 adalah kampung Bobogoy/stasi Yang itu sendiri. Karena jarak lokasi yang terlalu jauh anatara kampung Meto sebagai kampung induk, dengan kampung Bobogoy (stasi Yang), maka masyarakat dikampung Bobogoy jarang pergi ke kampung induk.

Sedangkan semua fasilitas pemerintah, termasuk Sekolah Dasar juga ada di kampung induk tersebut. Akibatnya, banyak anak-anak yang ada di kampung Bobogoy tidak bersekolah, sehingga pendidikan disana masih belum terjangkau, dan banyak masyarakat yang belum bisa membaca sampai dengan saat ini. Karena hal itulah, mereka saat ini sedang mengajukan status mereka untuk diresmikan oleh pemerintah menjadi kampung yang mandiri, karena sampai dengan saat ini, stasi Yang masih berstatus Lokasi. Namun sampai dengan saat ini, baru ada 1 rumah warga yaitu Rumah Mama Yosefa yang sudah mendapat bantuan dari pemerintah setempat, sehingga, rumahnya sudah berbentuk rumah yang modern. 

Penduduk di stasi Yang rata-rata adalah orang dewasa, dan anak-anak sampai remaja. Dan mereka semua adalah suku Awyu. Jumlah penduduk di stasi ini sebenarnya banyak (dalam data nama penduduk)yaitu sekitar +/- 200 jiwa, namun karena banyak yang meninggalkan kampung tersebut untuk bekerja di perusahaan sawit dan keluar kota lainnya, sehingga sampai dengan saat ini, hanya ada kurang lebih sebanyak 50 orang saja yang tinggal dan menetap di kampung stasi ini. Hal ini yang menurut mereka menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk belum bisa mengubah status lokasi menjadi Kampung. Dan karena masyarakat setempat banyak yang bermatapencaharian sebagai pemburu di hutan, maka jika bukan pada saat hari raya, stasi Yang sangat sepi, karena sebagian besar masyarakatnya sedang berburu dihutan. Ketika mereka sudah dihutan, mereka bisa 1 minggu bahkan sampai 2 minggu di dalam hutan, karena mereka memiliki rumah singgah yang sering mereka sebut sebagai Bevak disana. Bevak yang mereke miliki adalah rumah pohon, yang digunakan untuk beristirahat saat mereka sedang berburu. Hal ini juga salah satu alasan pemerintah belum memberikan status kampung Kampung kepada mereka, karena setiap kali orang pemerintah datang untuk survei, kampung selalu kosong karena penghuninya sedang berburu ke hutan.

Meski tempat tinggal mereka belum mendapatkan status Kampung, namun mereka sudah mendapatkan status Stasi dari Gereja Paroki Getentiri. Hal itu membuat mereka menjadi sedikit lega, karena paling tidak, mereka sudah diakui oleh Gereja. Karena sudah diakui menjadi Stasi, maka paroki juga menentukan beberapa orang untuk menjadi Dewan Stasi yaitu Bapa Adrianus, Bapa Ekomondus, dan Mama Martina.Tugas mereka ialah untuk memimpin ibadat, mengatur petugas-petugas dan jadwal ibadat, melatih kor, dan sebagai perantara informasi dari Gereja Paroki ke umat yang ada di stasi, dan bertanggungjawab terhadap perkembangan iman umat yang ada di stasi Yang tersebut. Para dewan stasi ini diberkati oleh romo paroki didepan umat stasi. Sehingga, selama ada dewan stasi, setiap minggu mereka selalu melakukan ibadat bersama dewan stasi tersebut. Meskipun ada beberapa umat yang sedang berburu di hutan dan hanya sedikit yang hadir untuk ibadat, pemimpin ibadat tetap melaksanakan kegiatan ibadat tersebut.

Namun, jika tidak ada dewan stasi/pemimpin ibadat, umat disitu juga tidak akan mengikuti ibadat, karena bagi mereka, ibadat hanya boleh dilakukan oleh dewan stasi atau petugas yang sudah diutus dari Gereja Paroki.       

Penduduk setempat memiliki bahasa mereka sendiri. Menurut mereka, bahasa dari kampung yang satu dengan kampung yang lain itu berbeda, meskipun mereka merupakan suku yang sama. Selain berburu, matapencaharian mereka juga memancing ikan dan udang, karena mereka juga dekat dengan sungai Kia dan Digoel. Mereka selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga. Dan karena mereka masih satu keluarga besar di stasi Yang, maka jika ada yang membutuhkan pertolongan atau mempunyai hasil buruan yang lebih, mereka tidak segan-segan untuk berbagi. Meskipun tingkat pendidikan merekamasih rendah, namun rasa kemanusiaan, peduli terhadap sesama, dan tenggangrasa yang mereka miliki terhadap sesama itu cukup tinggi.

Makanan pokok penduduk stasi Yang adalah Sagu. Mereka biasa makan hanya sagu kosong saja (sagu tanpa lauk). Ketika mendapat hasil buruan atau pancingan, baru mereka ada lauk. Namun jika tidak ada, mereka hanya makan sagu bakar kosong saja. Pohon sagu ada dua jenis, yaitu pohon sagu duri dan pohon sagu licin. Mereka biasa makan keduanya, tetapi jika harus memilih antara sagu duri atau sagu licin, mereka akan pilih sagu licin, karena mereka lebih mudah menebangnya.


Untuk persediaan dan kebutuhan air, mereka menggunakan air sumur. Disana air sumur adalah mata air yang berada didekat sungai, sehingga airnya juga kurang jernih, namun masih lebih jernih dibandingkan air sungai Kia. Bahkan sebelum ada sumur, mereka masih minum air sungai kia yang mereka pakai untuk mencuci dan mandi disana. Namun karena sudah dihimbau oleh Romo Paroki supaya mulai membiasakan mandi di sumur, dan mengkonsumsi air sumur untuk kesehatan, maka mereka mulai menggunakan air sumur tersebut.           

Kebanyakan penduduk disana, khususnya kaum wanita, belum mengenal yang namanya KB (Keluarga Berencana), sehingga jumlah anak mereka sangat banyak, bahkan ada yang lebih dari 10 anak. Namun mereka sangat bahagia dengan memiliki banyak anak tersebut, karena jadi banyak yang bisa membantu pekerjaan dirumah. Mereka adalah orang-orang yang baik, dan sangat memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi terhadap orang baru, terutama jika orang tersebut datang dari utusan Gereja. Mereka sangat bangga dan bahagia, karena mereka tahu bahwa mereka akan mendapatkan ilmu serta persaudaraan baru yang dapat mereka jalin.

Beberapa bahasa adat di Kampung Bobogoy / Stasi Yang :
Omanggi   = tidak tahu
Waha  = mama
Habu  = Bapa
Ani   = kakak perempuan
Nayo  = kakak laki-laki
Ganobi  = laki-laki itu
Gana = perempuan itu
Egerok  = sudah ya
Avan  = rumah adat
Nove = saudara
Dihunariyok = minta makan
Nukivo = silahkan masuk
Ovenami = minta air
Bere  = tangan
Kito = kaki
Sutok = telinga
Habang   = kepala
Egero = tidak
Kimgok  = mata
Sito  = hidung
Hato  = mulut
Magi  = gigi
Vake  = lidah
Kunini  = tidur
Nu  = saya
Gu = kau/kamu
Kunu maye = mau tidur
Nu kunu maye  = saya mau tidur
Habanono  = rambut
Wasie   = batuk
Tama’a   = mau pulang
Nu kureba   = saya mau tinggal
Amgizi   = nona-nona
Amko   = anak
Amko hobisi  = anak laki-laki
Amko vinigi  = anak perempuan


Posting Komentar

0 Komentar