JLM#2 - Sing Penting Yakin, Gusti Sing Mimpin Oleh : Petrus Indra Oktano

Sing Penting Yakin, Gusti Sing Mimpin
Oleh : Petrus Indra Oktano
Oooo kemana arah perahu, tiada angin membantu
serasa abad berlalu, serasa niat memburu...

Saya tidak memiliki gambaran yang begitu luas dan mendalam mengenai Kalimantan, kebanyakan malah lalimantan, tapi ya sudahlah. Ketidaktahuan saya itu berkembang ketika muncul ketakutan karena ada cerita yang menyatakan, “Kamu bisa berenang atau tidak bisa berenang, kalau sudah tercebur kesungai ya tetap akan tenggelam!”. Sempat saya berpikir untuk mengambilpelampung yang berada di bawah kursi pesawat terbang untuk jaga-jaga kalau nanti perahu johnson yang ditumpangi terbalik.Rasa hati ini semakin tidak karuan ketika ditambah lagi kebingungan apa yang menjadi modal saya di sana. Apa yang bisa saya bagikan untuk mereka?Di saat seperti inilah, Nathanael bertanya kepada diri saya, “Adakah sesuatu yang baik datang dari dalam dirimu?”.

Saya menyadari bahwa saya bukan orang yang baik, tapi mantan frater, paling tidak saya pernah diajari untuk belajar menjadi orang baik dan melakukan yang baik bagi semua orang. Perjumpaan dengan tim Jejak Langkah Misioner justru menjadi kekuatan baru bagi saya untuk bertekad yakin berangkat ke Kalimantan dan belajar menggali semangat misioner. Kemudian, sampan pun melaju dengan asa yang membara dan leburan hati setiap awak kapal menjadi hembusan angin yang menentukan arah sampan misioner ini. Segala ketakuan dan kekhawatiran seakan sirna oleh kehadiran rekan-rekan misioner yang saling meneguhkan lewat candaan, tawaan, guyonan, dan keseriusannya. Setelah selang sengkarut semakin runyam di dalam diri, akhirnya hari pemberangkatan tiba.Dan justru dengan itu cerita pun dimulai...

Siapkanlah sampanmu, bentangkanlah layarmu.
Kaki ini gemetar hebat ketika harus menititepian sebuah perahu kecil yang mereka sebut johnson, di sisi lain mereka yang akamsi (anak kampung sini) dengan santai berjalan di tepian perahu tanpa beban dan tanpa rasa takut. Entahlah, mungkin memang benar bahwa rasa takut dan ngeri mereka sudah lama disimpan di bawah bantal.Saya sendiri ingin berteriak dalam hati ketika perahu sedikit bergoyang dan saya mulai diam seribu bahasa ketika perahu kecil itu seakan-akan kehilangan keseimbangan.Bahkan, bila Yesus berada di perahu ini dan berkata, “Tenanglah, jangan takut!”. “Jangan takut mbahmu!!!”, pikir benak ini.Justru, saya pun akan berkata seperti seorang rasul, “Guru, bagaimanakah Engkau masih bisa tidur ketika di perahu ini kami hampir jatuh dan mati???”. Suasana yang tak menentu ini membuatku berontak terhadap diriku sendiri, terhadap pondasi keberanian yang kumiliki. Suasana seperti itu terjadi tiap kali perjalanan sungai menggunakan johnson.Sepertinya rasa takut itu tidak kunjung habis bak air mancur di kolam, meski pun keluar namun nyatanya berada di situ terus.

Saya tidak bisa bertingkah sedemikian rupa, saya lebih banyak diam di atas perahu sembari sesekali menghisap tembakau terlilit kertas yang sengaja saya bakar sebelumnya. Paling tidak, dengan begitu perasaan ini menjadi lebih tenang, meski pun sedikit saja. Lambat laun, saya bisa lebih tenang dan menikmati perjalanan perahu ini.


Di sisi lain, perjalanan turne menuju ke daerah Emphasi, Kek Baok, dan Jangantternyata ditempuh menggunakan sepeda motor. Ketika itu, hujan turun dengan beraninya sehingga meluluhlantakkan tanah yang menantang. Tanah tertembus puluhan juta bulir air yang menjadikannya liat, licin, dan ‘becek’ (cuma setengah lutut bah!). Perjalanan trabas hutan ini lebih menantang daripada ikut grass track atau trabasan menggunakan motor trail, modal kami cuma Yamaha Vega R dengan rem belakang blong dan kampas cakram depan yang sudah aus. Namun, syukur pada Allah, saya dan Monic selamat dan tidak jatuh meski pun sepanjang jalan Monic tak berhenti berteriak-teriak dan menarik kaos saya sampai mulur ketika motor kami terpeleset berulang-ulang kali.

Siapkanlah sampanmu, menghadap Tuhan
Dalam perjalanan turne, baik dengan johnson atau motor, saya merasakan suatu goncangan yang lebih hebat dalam batin saya daripada goyangan johnson dan motor. Saya menjumpai kehampaan yang mendalam dalam diri ini karena saya memasuki sebuah fase yang fundamental dalam hidup. Saya kehilangan identitas “siapakah aku ini” dengan kata lain saya mengalamimissing identity. Bukan soal siapa nama, asal, tingkat pendidikan, atau status facebook saya. Lebih dari itu semua, pertanyaan yang sama dikatakan Yesus kepada Petrus, “Bukan seperti yang orang lain katakan, namun menurutmu, siapakah Aku ini?”. Yesus mengajak saya untuk tidak hanya berhenti pada sisi artifisial belaka, namun lebih duc in altum(bertolak lebih dalam) untuk mengenai siapakah aku ini dan untuk apa aku hidup.

Fase missing identity tersebut muncul dalam selembar refleksi yang saya tuangkan sepulang turne. “Sudah satu tahun saya keluar dari pendidikan calon imam dan membangun hidup di luar seminari. Selama ini, saya merasa bahagia dengan usaha tape ketan bermerk ‘Bu Maya’ dan menjadi bagian dari ‘Tim Trabas Hujan – 135cc’ di Muntilan King Club(MKC). Saya merasa bahagia ketika bisa membangun relasi dan perjumpaan dengan siapa pun tanpa terhalang oleh tembok seminari. Namun entah mengapa, ketika merasakan liatnya tanah dan derasnya arus sungai saat turne itu, kaki-kaki ini seolah mempertanyakan langkah berikutnya. Apakah saya tidak ingin kembali ke seminari karena senyatanya memang keberadaan imam itu sangat dibutuhkan?Mak deg, mimpi apa aku ini sehingga timbul niatan seakan-akan mau kembali ke seminari?Setelah satu tahun di luar, baru kali ini pertanyaan itu saya tanyakan kepada diri saya. Turne itu menyebabkan saya mempertanyakan ke-awaman yang saya jumawakan selama ini, inikah missing identity? Perikop kitab suci seakan menantang saya, bukankah kalau tuaian itu banyak maka pekerjanya pun harus banyak? Meski pun banyak, para pekerja itu juga harus menjadi seorang pekerja ladang anggur yang baik, bukan pekerja bayaran yang tidak memancarkan kebaikan dan ketulusan hati. Tuhan, terimakasih atas kesempatan retret di Kalimantan ini, terimakasih pula atas persimpangan hidup yang engkau berikan lagi kepadaku. Terimakasih Tuhan.”

Pengalaman kehilangan identitas itu tidak membuat saya mati langkah lalu menyerah, justru mengajak saya untuk berani menatap kehidupan. Pertanyaan Nathanael pun kembali memenuhi hati dan pikiran ini. Sekarang bukan hanya soal apakah ada yang baik dari dalam diri, tetapi apakah ada yang baik yang bisa saya lakukan ke depannya?Tindakan itu diputuskan karena adanya pilihan. Hidup juga harus memilih. Sebenarnya, hidup saya tidak jauh beda dengan perahu yang kami gunakan selama perjalanan sungai, entah itu turun ke hilir atau kembali ke hulu, perjalanan memiliki tantangannya masing-masing.Yang dibutuhkan adalah ketangguhan iman dan harapan akan Yesus Tuhan Sang Juragan Johnson Kehidupan.Saya belajar tangguh dari orang Botong, menghidupi iman itu seperti mudik dari hilir ke hulu, melawan arus. Tidak mudah, ada berbagai rintangan arus dangkal atau hujan deras seperti ketika kehilangan harapan, batang-batang kayu seperti nafsu-nafsu yang menggoda, mau pun alur yang jauh bak liku-liku hidup yang harus di jalani. Pada saat yang bersamaan, saya perlu mempercayakan hidup saya pada Sang Juragan.

Justru saat turne motor itu, Monic yang pada waktu itu membonceng pernah berkata, “Sudahlah, yang penting kita senang dan pasrah saja kepada Tuhan”. Aku pun menyadari, ketika harus ke Jangant pilihannya jatuh hanya dua, kalau ke kiri jatuh ke sungai, kalau ke kanan nyungsep di tebing. Begitulah hidup senyatanya, memasrahkan segala usaha dan tindakan kita kepada kehendak Tuhan. Sing penting yakin, Gusti sing mimpin!

Memang benar, tantangan untuk merenungkan pilihan hidup secara lebih mendalam datang kepada saya. Namun, permenungan itu tidak dapat ditinggal diam dan terjawab dengan sendirinya, justru setiap pilihan tindakan dalam hidup itu yang akan menjawab pertanyaan atas pilihan tersebut. Saat ini, saya sudah memilih untuk menekuni hidup sebagai awam. Meski pun sempat ada pertanyaan untuk menimbang ulang pilihan itu, saya bersyukur Tuhan menuntun saya selalu. Ketika kita bahagia dengan pilihan hidup, di situlah Tuhan memimpin kita.

Memang kehadiran seorang imam itu sangat dibutuhkan dalam pengembangan iman umat beriman. Saya menyadari bahwa pewartaan itu juga membutuhkan timbal balik. Kalau imamnya sudah berkobar-kobar dengan luar biasa, namun umat tetap tegar tengkuk, ya sama saja! Maka, kita sebagai umat pun perlu membalas sapaan Tuhan lewat para gembala itu dengan syukur dan iman yang semakin berkembang. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bahwa umat pun juga memiliki peran untuk saling mengembangkan iman, tidak hanya tergantung pada para imam melulu. Inilah yang saya dapatkan, untuk menjadi alat pewarta kabar sukacita-Nya bisa melalui berbagai jalan hidup yang sama-sama baik dan berarti.

Saya bersyukur dengan kegiatan Jejak Langkah Misioner #2, saya sungguh belajar untuk tidak mudah mengeluh, selalu bersemangat, bersyukur dengan segala kondisi, dan menjadi awam misioner. Tuhan, saya bersyukur bahwa saat ini Engkau mendidikku untuk menjadi seorang awam yang baik. Ketika berada dalam pertanyaan “apakah aku akan kembali ke seminari?”, entah kenapa semangat hidup imamat Yesus Kristus semakin berkobar dalam sanubari justru dengan cara saya menjadi awam yang misioner dalam mewarta. Semangat untuk go out and set the world on fire itu terus menggelora dan saya ingin nyala api itu terjaga.Sing penting yakin, Gusti sing mimpin!!!(Tano)

***
Saya ini Petrus, si nelayan berperahu dan batu karang. Suatu kali Yesus datang ketika saya duduk diam di atas johnson, Dia berkata, “Tano, kali ini kamu diutus untuk menjadi awam yang baik, meski pun awam semangat misioner untuk berbagi tidak kalah dengan mereka yang memutuskan untuk tetap di jalan imamat.” Saya yang diam dan termenung kemudian menjawab, “Tuhan, ke mana pun aku Engkau utus, aku akan pergi”.

Posting Komentar

0 Komentar