No One Left Behind; Tidak ada yang ditinggalkan
Oleh: A. Hasta Buntas Juan Hari
Tidak ada yang ditinggalkan bukan berarti saya harus membawa semua peristiwa, beban hidup atau segala hal yang saya alami semasa hidup, namun lebih menceritakan pengalaman saya mengikuti kegiatan Jejak Langkah Misioner (JLM) baik yang pertama maupun yang kedua. Kegiatan JLM membawa saya memulai kehidupan di tahun 2016 di pra-Paroki Kualan Sekayok, Botong, Paroki Balai Berkuak, Keuskupan Ketapang dan mengakhiri tahun tersebut di tempat yang sama. Pada awalnya saya berpikir jika mengikuti Kegiatan JLM #2 berarti mengulang proses kegiatan JLM #1. Maklum, paroki yang digunakan kegiatan masih sama dan ditambah beberapa proses persiapan yang dirasa kurang sesuai. Akan tetapi, salah satu follow up kegiatan JLM#1 adalah bertugas mendampingi teman teman peserta JLM #2, maka Mas Nawie dan saya menyanggupi hal tersebut. Ketaatan dan konsekuensi dalam menjalani proses hidup adalah bertanggung jawab akan sejarah hidupnya.
Pada hari pemberangkatan, saya beranjak dari Semarang pukul 15.00 menuju Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta, namun baru sampai Muntilan hampir pukul 18.00. Akhirnya, saya menghubungi Rama Nugroho yang juga akan hadir saat acara malam keberangkatan (takutnya tidak mendapat angkot apabila sudah berada di terminal selepas pukul 18.00). Akhirnya, saya, Rama Nugroho dan beberapa teman JLM #1 berangkat bersama menuju seminari, dalam perjalanan kami sempat mengunjungi “Rumah Tim” di Wisma Salam (dahulu beberapa kali saya pernah kegiatan disini dan tinggal menginap di rumah ini). Saat itu, kembali saya menabung rindu pada pengalaman berproses dan berdinamika di tempat ini walaupun ada perasaan yang berbeda ketika melihat Rumah Tim yang sekarang.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Seminari Tinggi Kentungan. Setelah sampai di seminari kami briefing sebentar membahas apa yang akan kami lakukan. Dalam briefing tersebut, saya kebetulan mendapat tugas membuat Profil Pra Paroki St. Maria Kualan Sekayok. Malam harinya, saya masih memikirkan pengalaman singgah sebentar ke Rumah Tim dan tugas membuat profil, pengalaman kembali ke suatu tempat yang pernah dikunjungi dan melakukan kegiatan yang hampir sama. Saya berefleksi bahwa arti kembali itu tidak harus mengulang semua peristiwa yang ada. Namun, dengan kembali, Tuhan memberi kesempatan untuk memahami lebih, menggali hal yang belum diketahui sehingga membawa saya untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam hingga tidak ada yang ditinggalkan. Pemahaman inilah yang membawa saya menjalani kegiatan JLM#2 ini.
Bersahabat dengan Allah
Salah satu kegiatan dari JLM#2 adalah membantu asistensi Perayaan Natal di Paroki St. Martinus Balai Berkuak. Kami melakukan turne Natal ke stasi-stasi dan beberapa kring di Pra-Paroki Kualan Sekayok dan membantu Rama Yudho menerimakan beberapa sakramen. “Allah yang berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara pada nenek moyang kita dengan perantaraan para nabi, kini Allah telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (bdk Ibr 1:1-2, bacaan kedua Perayaan Natal Siang). Ayat tersebut seperti menjadi reffrain bagi kami. Pengalaman tersebut membawa saya untuk merenungkan karya-Nya. “Karya misi kasih Allah yang dilakukan sejak penciptaan alam semesta, dilanjutkan perantaraan para nabi dan kemudian Allah hadir melalui PutraNya dilanjutkan para Rasul sebagai soko guru Gereja dan pada masa ini, Allah menggembalakan umat melalui Bapa Suci, Paus Fransiskus dalam kerjasama para Uskup; betapa kasih Allah besar pada umatNya, tidak ada sesuatu dan secuil waktu di dunia yang tidak dihiraukan Allah, kasihNya yang tanpa pamrih terus menerus diberikan kepada semua ciptaanNya”(pengantar ensiklik Laudato Si). “Dengan menunjuk tokoh “Bapa segala orang beriman”, yakni: Abraham, ia hendak memperlihatkan apa yang disebut dengan beriman sejati itu kepada kedua belas suku di perantauan (Yak. 1: 1), yang sedang mengalami berbagai pencobaan (Yak. 1: 2). Beriman sejati adalah “menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja” (Yak. 1: 22). Dengan demikian, “berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak. 5: 7)”.
Umat di Pra-Paroki Kualan Sekayok (terutama di dusun Botong) mengajarkan kepada kami bagaimana menanggapi karya kasih Allah. Kerinduan dan dengan antusiasme mereka (orang-orang pedalaman Kalimantan) untuk hadir dalam Ekaristi memberikan pelajaran tersendiri. Perjuangan mereka yang harus menyeberang sungai, berjalan kaki menembus bukit untuk hadir dan menunggu lama untuk merayakan Ekaristi Natal, membawa kesadaran bagaimana membangun relasi dengan Allah. Mereka bukan saja sebagai umat tapi mewujudkan Allah sebagai sahabat. Dengan segala keterbatasan yang ada (lokasi yang sulit di tempuh dengan kendaraan, tanpa sinyal alat komunikasi dan minim listrik, keterbatasan pendidikan dan tenaga pendidik), mereka sangat antusias datang dan ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi. Relasi yang istimewa di antara mereka itulah yang menjadi semangat dan kesadaran untuk bertumbuh dalam iman secara lebih baik.
Meninggikan martabat manusia
Di sisi lain, kegiatan Turne juga membantu saya mengumpulkan data dalam penyusunan profil Pra-Paroki Kualan Sekayok. Selain itu, saya bisa melihat langsung kondisi yang ada di stasi-stasi dan mendapat kesempatan untuk berkomunikasi personal dengan beberapa tokoh umat disana mengenai bagaimana perjuangan mereka dan para pendahulu membangun persekutuan umat Allah di stasi dan kring yang mereka tempati. Semangat, keprihatinan, dan kerinduan mereka untuk selalu belajar dan menggali dalam segala keterbatasan yang ada menjadi sarana dan perjuangan mereka dalam membangun Gereja yang inkulturatif dengan budaya setempat. Gereja yang mampu diterima dan menerima saudara-saudara yang memeluk agama lain serta menerima martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang istimewa. Bahkan, ada kesaksian bagaimana saudara muslim yang sangat diterima dan diakui meski ada perbedaan dengan selalu dilibatkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Melestarikan Keutuhan Ciptaan
Selain kegiatan turne yang kental beraroma liturgis, JLM#2 juga mengadakan acara susur sungai ke sumber sungai Kualan, Silling Raja Bungsu. Siling Raja Bungsu merupakan air terjun dengan tujuh tingkat dan di lembahnya telah ditanam Salib Agung. Keberadaan Salib Agung ini sebagai tanda bahwa Siling Raja Bungsu telah ditetapkan sebagai tempat wisata rohani. Perjalanan menuju ke sana kira-kira memakan waktu lima jam jalan kaki dari Botong. Kegiatan tersebut diikuti kurang lebih 100 peserta yang sebagian besar orang muda. Peserta diajak untuk menyadari bahwa mereka memiliki alam yang luar biasa asri dan masih ‘perawan’ (seperti film-film ala the lost world yang mengambarkan kondisi alam yg belum terjamah manusia). Di saat yang bersamaan, kami menyadari bahwa alam memberikan perlindungan dan segala kebutuhan bagi masyarakat sepanjang Sungai Kualan.
Alam mencintai manusia tanpa perlu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Alam mengungkapkannya dengan caranya sendiri yaitu memberi. Kegiatan susur sungai juga mengajak peserta untuk menjaga keutuhan alam dengan animasi-animasi permainan. Permainan pertama adalah menanam pohon dan yang kedua adalah estafet air yang diakhiri dengan meminum air dari sungai Kualan. Alam yang sudah mencintai kita tidak berbicara pada kita untuk merawat mereka namun menyadarkan kita untuk peduli akan keberlangsungan alam serta peduli akan keberlangsungan manusia. Alam mengajar kita supaya mampu meninggalkan yang baik pada anak cucu kita.
Memang, kegiatan susur sungai tersebut menjadi hal yang menarik dan luar biasa. Namun, agak disayangkan kami kurang mengantisipasi kepulangan dari Siling. Kami lebih fokus pada proses keberangkatan, kegiatan selama perjalanan dan di Silling, sehingga banyak peserta saat pulang jauh meninggalkan panitia. Kami mencoba menyusul dan menemani beberapa anak yang berjalan di depan. Dalam perjalanan itu, kami mendengarkan guyonan percakapan ala anak-anak seusia SMP yang justru membawa kesadaran kami agar mampu nguwong ke uwong. Peduli pada orang lain tidak hanya melulu kepada yang lebih tua, lebih tinggi derajat atau mendengarkan orang “lebih kecil” kalau sedang membutuhkan. Tetapi kita pun perlu untuk memperhatikan siapa pun mereka yang berada di dekat kita tanpa batasan apa pun, baik waktu, sosial, tempat maupun status. Sapaan menjadi cara untuk menerjemahkan arti tidak ada yang ditinggalkan.
Pengalaman mengikuti JLM#2 membantu saya menyikapi budaya masyarakat setempat yang merupakan masyarakat yang sederhana yang selalu merasa cukup apabila kebutuhan keseharian terpenuhi. Di sisi lain, untuk mengisi waktu luang, banyak dari orang dewasa di sana menggunakannya untuk ‘minum; alias nyisong. Saya belajar bagaimana menolak dengan tidak menyakiti untuk diajak minum dan menjaga diri supaya tidak mabuk. Setelah mampu menjaga diri, kami mencari cara bagaimana menjaga teman. Cara yang kami tempuh adalah menjadi ‘bandar atau bakulan’ dengan memberi teman-teman JLM setengah porsi cawan. Pada saat itu juga, kami berkomunikasi dengan beberapa orang yang juga bandar bahwa teman JLM sudah banyak minum. Menjaga teman itu penting karena kami tahu keterbatasan kami. Kesatuan kelompok yang menjadi prioritas sehingga tidak ada yang ditinggalkan dalam satu tim.
Terimakasih pada seluruh umat Pra-Paroki Kualan Sekayok yang berada di dusun Botong. Nama Kualan diambil dari nama sungai yang mengaliri dusun serta menjadi urat nadi seluruh daerah maupun stasi-stasi yang ada. Sekayok yang berarti satu batang utuh. Nama Botong sendiri berarti bambu muda. Pohon bambu merupakan tanaman yang sebelum usia lima tahun pertumbuhannya lambat. Namun selama itu, pohon bambu memperkuat akar. Memperkuat akar bisa diibaratkan dengan membangun pondasi tanaman yang akan tumbuh, sehingga kelak menjadi tanaman yang rimbun, kuat dan menjulang menantang langit.
Berbicara tentang pohon bambu juga mengingatkan saya akan cerita rakyat China, yakni cerita cinta Sam Pek – Eng Tay, sebuah cerita cinta sampai mati. Suatu kali, Eng Tay berjalan di depan bong pay (makam) Sam Pek, ia pun mengungkapkan rasa rindunya pada Sam Pek. Namun, Eng Tay terjun ke dalam makam yang tiba-tiba terbuka. Setelah Terjatuh ke dalam bong pay, Eng Tay teringat akan surat Sam Pek yang berisi, “Kita berdua memang tidak bisa menikah dalam kehidupan, tetapi kita pasti bisa menikah dalam kematian”, seketika makam itu tertutup kembali. Kemudian, para pengiring Eng Tay membongkar makam namun tidak menemukan jasad Sam Pek dan Eng Tay. Namun, yang muncul sepasang kupu kupu indah yang terbang dan memadu kasih di udara sementara di dasar makam hanya terdapat dua buah batu. Melihat peristiwa tersebut, orang tua Eng Tay merasa geram bercampur sedih yang teramat dalam. Kemudian, mereka melempar batu tadi yang satu di sebelah timur dan di sebelah barat. Batu yang di timur seketika tumbuh menjadi pohon jati dan sebelah barat menjadi pohon bambu.
Semoga Gereja dan seluruh umat serta yang pernah singgah (terutama peserta JLM) di Pra Paroki Kualan Sekayok di Dusun Botong menjadi satu batang, satu kesatuan utuh di Sungai Kualan yang memiliki akar pondasi yang kuat yang didasari cinta sampai mati seperti kisah Sam Pek - Eng Tay. Setelah kupu-kupu terbang, saya hanya bisa bersenandung lirih buat semua orang selama pelaksanaan JLM#2 :
Oko cokok ka kenak,
dalamp dalamp hakali.
Cokok ko da da lamp lamp,
Dalamp dalamp hakali.
Sembari memohon dan mempercayakan diri pada penyelenggaraan Illahi seturut teladan bunda Maria di tepian sungai kualan, hamba Allah dan bunda Gereja. Allah yang memulai karya baik diantara kita akan menyelesaikannya. (Hasto)
0 Komentar