UNTUNG MASIH ADA TEMAN-TEMAN
Oleh : Yulius Willy Prihantoro
Bermula ajakan oleh Romo Nugroho selaku Ketua KKM KAS di Panti Semedi Sangkal Putung klaten, setelah saya dan tim mas galih selesai mengisi acara bersama para romo se Keuskupan Agung Semarang, romo nug begitu saya dan tim mas galih memanggil beliau mengajak saya dan tim mas galih untuk menantang kita melakukan kegiatan pelayanan di luar pulau jawa. Biasanya saya dan tim mas galih mengisi pelatihan pembinaan PIA/BIA/SEKAMI dalam pulau jawa, tapi kali ini romo nug menantang kita kegiatan pelayanan di luar pulau jawa, tepat nya di Merauke Papua. Kami pun terkejut, bayangan awal saya yang muncul saat itu adalah jauh sekali, memakan biaya transportasi banyak. Pada saat itu saya dan tim mas galih hanya sekedar menerima info tersebut saja, di karenakan saya dan tim mas galih masih berpikir – pikir menerima ajakan oleh romo nug.
Beberapa bulan berlalu, saya dan tim mas galih di undang oleh romo nug untuk mengikuti acara halal bihalal di kantor beliau Museum Misi Muntilan. Di sana saya bertemu beberapa kaum muda OMK, kami pun berkenalan saat acara tersebut. Acara halal bihalal pun di mulai dan ternyata itu bukan halal bihalal melainkan acara kumpul kegiatan Jejak Langkah Misioner (JLM). Romo nug pun menjelaskan apa itu kegiatan JLM, walaupun saya tidak begitu memamahi kegiatan itu. Ternyata kegiatan JLM sudah pernah dilakukan sekali, waktu itu JLM dilaksanakan di Botong Kalimantan bertajuk JLM #1. Dan pada saat pertemuan itu juga membahas kegiatan JLM #2 yang diadakan seminggu masa Natal 2016 di Botong Kalimantan juga. Sehingga saya dan tim mas galih dapat menangkap bayangan kegiatan JLM tersebut.
Pada saat itu terbentuklah JLM #3 yang pada awalnya terdiri dari 13 orang OMK se Keuskupan Agung Semarang termasuk saya. 6 bulan lamanya saya dan tim JLM #3 mengalami pasang surut, timbul tenggelam, ada dan tiada hehe... berdinamika sharing timbul permasalahan yang tak terduga. Permasalahan intern dan extern pun muncul, sehingga menyeleksi kami tim JLM #3 dengan sendirinya menjadi 4 orang termasuk saya, sungguh ironis haha... ya yang mungkin untuk perekrutan anggota JLM tidak hanya seleksi alam atau hanya sekedar menunjuk seseorang, tapi benar-benar seleksi terhadap kesungguhan mengikuti kegiatan JLM bukan sekedar dapat bisa jalan ke luar pulau jawa tapi juga kesungguhan kita mewartakan kabar gembira injil dan ajaran Tuhan Yesus Kristus. Yaap kebetulan kami ber-4 satu paroki yaitu Paroki Kumetiran. Sharing dan berdinamika sesama tim untuk mengejar persiapan kegiatan JLM #3 yang tertinggal saat itu.
Dan saat itu yang saya tidak suka adalah saya di jadikan Koordinator dalam tim JLM #3, duuh... saya bisa apa dalam memimpin sebuah tim, jiwa kepimimpinan pun saya tak ada, out of focus pun saya sering alami, sedih bukan, apa lagi tentang wawasan liturgi kegerejaan, saya pun tak punya pedoman.Yang ada pasti kacau... Saya di tim mas galih selama mengikut kegiatan pendampingan PIA, saya hanya dokumentasi saja dan sedikit membantu bagian perkap saja. Yaa ... mau bagaimana lagi, yang penting jalani saja sesuai dengan tema yang kita sudah sepakati “Satu Tubuh, Tanggapi Panggilan-Nya”, masih ada teman – teman dan Romo yang masih bisa dapat bertanya dan membantu saya.
Jujur saja saya dalam mengikuti kegiatan JLM #3 ke Merauke itu tak ada motivasi apapun, ya apa boleh buat, dengan saya di pilih oleh teman – teman dan Romo menjadi koordinator di JLM #3 ini saya akan melakukan yang saya bisa. Banyak hal yang tidak saya tahu tentang pengetahuan liturgi dan Gereja, wawasan tentang itu pun saya tidak punya. Namun dengan keterbatasan itu, saya mencoba memberikan apa yang saya tahu dan bisa dilakukan disana, dengan basic saya yang hanya fotografi/dokumentasi dan saat ini sebagai koordinator di tim JLM #3, biarkan Roh Kudus membimbing saya dalam memutuskan sesuatu dan mampu memberikan yang terbaik dan tidak merepotkan teman – teman, Romo dan teman – teman Keuskupan Agung Merauke.
Sekitar kurang lebih 2 bulan sebelum keberangkatan kami tim JLM #3 mendapat informasi tentang lokasi yang kami kunjungi di merauke, tempatnya di Paroki Getentiri, Boven Digoel, Ujung, Kevikepan Mumanja, Keuskupan Merauke. Kami pun kemudian mempersiapkan apa yang akan di lakukan di merauke sana, mulai dari keperluan pribadi, keperluan tim acara, anggaran, transportasi dan lain- lain. Kami pun juga melakukan kegiatan Sekolah Misi, kami berdiskusi, pembekalan dan sharing bersama ke 2 orang, Suster Rosina dan Pak Edy. Beliau berdua mengetahui seluk beluk keadaan Merauke dan Paroki Getentiri, sehingga kami mendapat tambahan pandangan kegiatan JLM #3 di Paroki Getentiri.
Kurang lebih 1 bulan sebelum keberangkatan, saya pun mendapat kontak dari tim KKI Keuskupan Agung Merauke (KAME) untuk melakukan hubungan antara TIM JLM #3 dengan tim KKI KAME yaitu Suster Gertudis dan Kak Ofny. Saya pun berhubungan dengan beliau bertanya tentang situasi, kondisi dan acara yang akan kami tim JLM #3 dan TIM KAME laksanakan di Paroki Getentiri. Yang paling mengejutkan adalah ketika saya mendapat sebuah Rundown acara kegiatan selama 2 minggu di Merauke adanya kegiatan live-in di stasi – stasi Paroki Getentiri selama 1 minggu, kegiatan itu tidak saya sukai karena malas. Saya tidak suka kegiatan live-in karena kegiatan itu sangat merepotkan, saya harus berkenalan, membaur dan bersosialisasi lagi.
Semua persiapan – persiapan sudah lengkap meliputi keperluan pribadi, kegiatan acara, dan anggaran. Yang mengejutkan adalah pembelian Tiket pesawat menuju ke Merauke, sungguh mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk melakukan perjalanan pulang pergi dari Yogyakarta ke Merauke dan kembali ke Yogykarta untuk 5 orang. Ada sebagian teman berkata “dari pada membeli tiket pesawat menuju merauke yang mahal, mending bisa beli tiket ke luar negeri... lebih murah lagi, sisanya bisa untuk uang saku kita liburan ke luar negeri”, saat itu juga saya membalas argumen teman saya itu “mau nya sih begitu, malah mending buat modal usaha saya sendiri... hahaha... tapi apa boleh buat ini kegiatan untuk pelayanan di merauke sana aku kudu ikhlas mengeluarkan biaya transport sebanyak itu”, dalam hati saya menambahkan “pulang ke yogyakarta kudu balik modal” hahaha...
Di hari keberangkatan saya dan tim JLM #3 bersama Romo Nug menuju ke bandara untuk melakukan penerbangan ke merauke. Kami menempuh perjalanan menuju merauke kurang lebih 11 jam lamanya, kami berangkat pukul 21.00 WIB dari bandara Adi Sucipto Yogyakarta, kemudian kami transit dahulu di bandara Sultan Hasanuddin Makasar agak lama, tiba di makasar sekitar jam 25.30 WIT. Karena delay kami berangkat lagi dari Makasar sekitar jam 04.00 WITA dan tiba di bandara Mopah Merauke kurang lebih jam 09.00 WIT. Selama proses pendaratan pesawat kami pun di sambut patung kudus megah, terbesar yang pernah saya lihat, Patung Hati Kudus Yesus yang mempunyai ketinggian kurang lebih 12 meter di kompleks Bandara itu. Sesampainya di pintu keluar kami pun di jemput oleh tim KKI KAME dan langsung menuju ke rumah Bina, dimana kami istirahat sebentar selama di merauke.
Sesampainya di merauke kesan pertama yang saya rasakan hawanya sangat panas di sekitaran merauke padahal jam menunjukan jam 10.00 WIT, mungkin karena dataran rendah. Sebelum ke Rumah Bina, kami pun berkunjung sebentar ke Gereja Katerdal St. Fransiskus Xaverius untuk bertemu Bapak Uskup, tapi sayang bapak uskup sedang ada acara sehingga kami hanya bertemu dengan Romo Paroki saja. Setelah berkunjung kami pun lanjut menuju ke Rumah Bina, sepanjang jalan perjalanan saya melihat banyak gereja – gereja katholik, ini pertama kali saya mengunjungi kota yang mayoritas beragama katholik.
Di rumah bina kami pun mengobrol – ngobrol dengan TIM KKI KAME, saya pun sangat terkejut ternyata Suster Gertudis adalah seorang yang humoris dan kocak. Berbeda saat saya kontak SMS, WA atau telpon yang saya kira Suster Gertudis itu serius dan sibuk, mungkin karena di merauke sinyal provider sangat susah jadi agak susah saya hubungi atau Suster sering sekali melakukan kegiatan gereja jadi jarang memegang handphone. Tidak hanya suster, teman – teman KKI KAME lainnya juga ramah. Malam harinya kami pun berdinamika dan membahas kegiatan di Paroki Getentiri, saya sangat terkejut ketika suster mengatakan selama pekan raya paskah/Tri Hari Suci kita memimpin ibadat. Alamak... mimpi apa saya semalam kok malah ada acara memimpin ibadat selama Tri Hari Suci. Saya pun langsung membaca – baca tata cara ibadat/misa yang sudah di berikan oleh tim KKI KAME dan juga bertanya kepada Suster, Romo dan teman se tim JLM #3. Pengetahuan liturgi saja tidak tahu malah memimpin ibadat. Jadi apa nantinya di gereja stasi. Hadeh...
Kami pun melakukan perjalanan darat menggunakan mobil ke Paroki Getentiri menempuh selama kurang lebih 10 jam. Karena selama perjalanan tersebut banyak jalan lintas merauke yang rusak, karena sering di lewati truk logistik dan hanya ada 1 jalan tersebut saja, sehingga menempuh waktu yang lama. Sebelum tiba di Paroki Getentiri, kami tim JLM #3 dan tim KKI KAME tiba di Asiki dulu sebelum menuju ke Paroki Getentiri karena saya beserta tim harus melakukan perjalan air melewati sungai Digoel untuk menuju Paroki Getentiri. Tidak lama perjalanan air menggunakan kapal menuju Paroki Getentiri yang hanya menempuh kurang lebih setengah jam. Sesampainya di Paroki Getentiri kami di jemput oleh umat Paroki Getentiri, walaupun malam hari dan tak ada upacara penyambutan, umat paroki sangat antusias sekali menyambut kami. Sesampainya di pastoran kami pun berkenalan dengan Romo Yusuf Yanto selaku Romo Paroki Getentiri dan Mbak Kristin yang sudah melakukan pelayanan sudah lama karena mbak kristin asli dari Jakarta.
Di saat kami berdinamika dan mengobrol, mbak kristin mulai sesi pembagian Stasi, di setiap stasi kita tim JLM #3 di temani 1 orang dari tim KKI KAME. Pembagian pun dengan model “SUIT” (adu jari jempol – telunjuk – kelingking). Saya dan mas galih yang dapat kesempatan pertama untuk pembagian stasi, kita adu suit yang menang live-in di stasi Anggai dan yang kalah live-in di stasi Aiwat. Setelah suit dua kali saya pun menang adu suit dengan mas galih. Dan betapa suka cita lah saya saat itu karena yang menang di pasangkan dengan Suster Gertudis ke Stasi Anggai dan di Stasi Aiwat berpasangan dengan Bu Paula. Tuhan Yesus sudah menjawab ketakutan ku. Apa jadinya kalau saya tidak di pasangkan dengan suster. Tetapi saya juga harus belajar karena saya harus membantu suster dalam mimpin ibadat.
Stasi Anggai berada di utara Paroki Getentiri, rute yang di lalui melewati sungai Digoel. Lama perjalanan menempuh waktu sekitar 1 jam menggunakan johnson/long boat. Saya dan Suster di temani beberapa umat Stasi Anggai pada saat perjalanan menuju ke Stasi Anggai. Sesampainya di Stasi Anggai kami pun disambut dengan upacara penyambutan yang ternyata sudah dipersiapkan oleh umat Stasi Anggai. Saya pun lansung mengingat ketika Yesus masuk ke kota yerusalem dan di eluk-elukan (Mat. 21:1-11; Mrk. 11:1-10; Luk. 19:28-38; Yoh. 12:12-15), karena saat esok harinya saya dan suster akan memimpin ibadat Minggu Palma. Di sore hari nya saya menemani suster mengajarkan tanda salib, doa-doa dasar seperti doa Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya, dan Doa Tobat.
Gerak dan lagu Sekami, dan di lanjutkan melakukan persiapan ibadat Minggu Palma seperti latihan kor, latihan Lektor dan Mazmur. Suster pun memberi kuis kepada anak-anak stasi Anggai, siapa saja yang dapat menghafalkan doa-doa dasar dan dapat membuat tanda salib dengan benar akan ada hadiah dari Suster.
Keesokan harinya adalah Minggu Palma, saya dan suster sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan Ibadat Minggu Palma pagi hari. Prosesi perarakan Ibadat Minggu Palma di mulai di lapangan depan dimana ada Patung Hati Kudus Yesus kemudian menuju ke gereja. Sebelum mulai ibadat kami pun di hias dengan pernak pernik adat seperti kalung-kalung dan cawat. Saat prosesi ibadat minggu palma, saya merasa gugup karena ini pertama kali saya memimpin ibadat misa, walau pun hanya sebagai pembantu suster, keadaan ini sangat mengganggu ku. Pada saat prosesi ibadat misa Minggu Palma saya bertugas membacakan doa pembuka dan lain sebagainya, hingga ibadat Minggu Palma pun selesai. Selama saya dan suster dari hari sabtu, saya oleh semua umat Stasi Anggai di panggil Frater.
Lah kejadian konyol apa lagi ini, masa saya di panggil frater, Suster pun juga ikut tertawa. Dan sore hari pun saya menemani suster mengajarkan anak-anak Stasi Anggai membuat tanda salib, doa-doa dasar dan memberi kuis yang berhadiah kalung salib dan kalung alphabet yang telah suster janjikan bagi siapa anak-anak stasi anggai yang bisa melakukan tanda salib dan doa-doa dasar dengan benar. Kemudian di malam hari nya kami mengadakan bebakaran daging babi bersama umat stasi Anggai sekaligus juga saling mengenalkan dan mengakrabkan.
Senin hingga rabu, selama 3 hari itu saya dengan suster melakukan banyak kegiatan di Stasi Anggai mulai dari mengikuti kegiatan umat stasi anggai, berjalan-jalan berkeliling Stasi Anggaiberputar-putar area perusahaan kelapa sawit bersama OMK dan Umat Stasi anggai, menemani suster bimbingan iman SEKAMI stasi anggai melatih kor lektor mazmur untuk kamis putih, jumat agung dan malam paskah. Kami pun juga berdinamika, sharing dengan OMK Stasi Anggai. Sesekali saya dan suster bermain voli di sore hari bersama OMK Stasi Anggai untuk saling mengakrabkan. Ada banyak suka duka yang saya dapat selama sharing dan berdinamika OMK Stasi Anggai.
Kampung Stasi Anggai terdapat 8 marga, meliputi Hosagi, Afu, Sinfaggi, Mabo, Amnaggi, Hamaggi, Yame, Meanggi. Memiliki kurang lebih sekitar 30 kepala keluarga, 3 lingkungan, dan 3 RT. Hanya lingkungan 3 yang tidak berada di Kampung Stasi Anggai, melainkan di kawasan perusahaan kelapa sawit, biasa umat stasi menyebut Barak. Di lingkungan 3 rata-rata umat disana adalah pekerja di perusahaan kelapa sawit dan juga umat pendatang flores dan NTT adapun yang dari jawa juga.Pada tahun 2014 listrik sudah ada di kampung Stasi Anggai. Umat anggai menggunakan mesin Genset untuk menghidupi listrik, Genset berasal dari sumbangan perusahaan kelapa sawit yang membeli sebagian lahan kampung stasi Anggai, adanya perusahaan di
kampung Stasi anggai sangat berpengaruh sekali terhadapa kelangsungan hidup umat stasi anggai. Listrik baru di nyalakan antara jam 6 sampai jam 7 sore. Kemudian listrik mati kembali jam 5 pagi. Ketika tak ada acara kunjungan ke Stasi Anggai listrik hanya hidup sampai jam 12 malam saja. Tahun 1996 untuk pendidikan (sekolah dasar) di kampung Stasi Anggai tidak berjalan di karenakan sumber daya manusianya (tenaga pengajar atau guru) kurang atau tidak ada, kalau adapun guru tersebut tidak betah di karenakan untuk kebutuhan pribadi gurupun tidak ada dan juga listrik. Jadi kalau ada warga kampung Stasi Anggai yang anaknya ingin menyekolahkan anaknya mereka harus menyekolahkan anaknya keluar kampung yaitu ke Tanah Merah atau ke Ashiki.
Di malam hari senin, saya dan suster mendapat undangan ibadat syukuran ulang tahun SRD Reynold Andrew Jackson Rumpaisum yang ke-37 dan dua anak kembar Esterlina Sinfaggi dan Efelista Sadipun yang tahun pertama. Saya dan suster yang memimpin ibadat syukuran ulang tahun tersebut. Dan hal konyol yang lucu adalah saya pun mendapat stipendium, haha... baru kali ini saya mendapat stipendium, padahal saya hanya membantu suster dan bukan frater atao prodiakon asli hahaha... tetapi mereka umat stasi tetap saja
memanggil saya frater, mau saya katakan bukan frater tetapi kata suster memang sudah terbiasa memanggil begitu ketika ada kunjungan, menurut saya, saya merasa telah membohongi umat stasi Anggai karena panggilan frater, akan tetapi saya akan berusaha memberi panutan terbaik kepada umat Stasi Anggai walaupun bukan sebagai frater.
Hari Rabu kampung Stasi Anggai mendapat kunjungan spesial dari Bapak Uskup Mgr. Nicolaus Adi Seputra, M.S.C beserta beberapa tamunya yang ingin berkunjung ke daerah perusahaan kelapa sawit. Beliau pun menyampaikan kepada umat stasi Anggai agar mandiri dan jangan langsung puas karena pemberian perusahaan kelapa sawit tersebut yang telah membeli lahan tanah sebagian umat stasi anggai, “ketika tanah tersebut di beli perusahaan kalian mau tinggal dimana? Mata pencaharianmu sudah tidak ada, kalian mau kerja apa? Ketika uang hasil penjualan lahan sudah habis, kalian mau apa?” sepenggal kata-kata yang terucap oleh bapak uskup. Yang intinya adalah janganlah mudah tergoda atau tergiur dengan iming-iming uang perusahaan agar lahan mereka di jual.
Karena tanah itu adalah sumber mata pencaharian umat stasi anggai. Kemudian yang saya sangat di sayangkan adalah para ibu-ibu dan OMK wanita di stasi anggai rata-rata adalah perokok sangat aktif, hampir setiap hari saya melihat ibu-ibu dan wanita merokok. Kebiasaan Itu yang harus di hilangkan, saya sebagai mantan perokok sangat miris sekali benar-benar sangat di sayangkan. Suster pun pernah berkata, dari pada beli rokok lebih baik uang nya untuk biaya pendidikan anak-anak kalian.
Pagi hari nya saya dan suster mempersiapkan ibadat Kamis Putih di sore hari... dari mulai mencari bunga dan tumbuh-tumbuhan untuk dekorasi gereja di pinggiran-pinggiran hutan dan perusahaan. Akan tetapi oleh mama umat stasi Anggai saya dan suster tidak di perbolehkan untuk mencari sampai kedalam hutan, di karenakan nanti di gigit ular, jadi kami pun hanya di pinggiran hutan saja. Kemudian saya dan suster melakukan dekor ulang di dalam gereja. Dan ini baru pertama kali saya mendadak feminim, karena saya harus merangkai bunga hahaha... menghias altar, mimbar dan lain sebagainya. Kemudian saya menemani suster melatih kor, lektor dan mazmur untuk ibadat Kamis Putih.
Pada saat ibadat Kamis Putih saya membantu saat pembasuhan kaki para rasul dengan membawa baskom dain kain. Hingga ibadat selesai kami pun selanjutnya melakukan kegiatan tuguran dengan bergantian dari SEKAMI, OMK, Lingkungan 1 hingga Lingkungan 3 sampai esok harinya.
Jumat pagi saya dan suster pun mulai bersiap-siap untuk ibadat jalan salib. Tapi sayangnya bukan Tablo/jalan salib hidup, melainkan jalan salib biasa.
Di karenakan untuk persiapan jalan Salib hidup umat stasi Anggai tidak ada persiapan sama sekali jadi kami bersama umat melakukan Jalan Salib biasa. Pemberhentian pertama prosesi Jalan Salib di mulai dari depan monumen patung Hati Kudus Yesus dan berakhir di depan Gereja. Kami pun bergantian untuk membaca di setiap pemberhentian-pemberhentian prosesi jalan salib. Setelah prosesi ibadat Jalan Salib selesai, suster mengingatkan kepada umat stasi Anggai untuk melakukan Ibadat Jumat Agung di mulai tepat jam 03.00 sore, karena Tuhan Yesus wafat pada jam 03.00 sore.
Jadi suster pun mengingatkan akan hal tersebut sebagai penghormatan wafatNya Tuhan Yesus Kristus. Setelah itu saya pun lanjut menemani suster untuk melatih kor, lektor, mazmur dan pasio. Banyak hal lucu yang terjadi saat itu, di mulai dari menyanyi kor, cara membaca mazmur saat pasio. Ejaan-ejaan yang terlalu lama di bacakan, kata demi kata, kalimat demi kalimat, lafal yang aneh, dan logat yang jarang saya dengar di
jawa. Tapi ada hal yang menarik pada saat latihan kor, rata – rata lagu yang dinyanyikan menggunakan lagu daerah, itu yang menjadi nilai plus yang di dapat. Tepat jam 03.00 sore kamipun mulai ibadat jumat agung tanpa ada hiasan dekorasi dan dengan cuaca yang sangat panas. Entah kenapa hari itu cuaca sangat panas sore itu, saat prosesi ibadat pun saya mandi keringat karena dalam gereja sangat panas sekalidan tanda-tanda sakit pun datang.
Sabtu subuh jam menunjukan pukul 03.00 pagi, saya, suster dan mama-mama yang tidur bareng dengan kami pun terbangun. Kami semua mendapat serangan kejutan yang mendadak, pada saat itu juga cuaca sedang hujan deras. Kami pun terbangun dan melakukan serangan balik, kami melakukan serangan dengan alat seadanya, tapi apa daya serangan musuh semakin banyak. Kami pun mengambil siasat dengan mematikan lampu kamar dan akhirnya musuh pun mulai berkurang, musuh pun pergi ke tempat yang ada cahaya terang. Yak... begitulah sifat serangga laron, hahaha... kami pun lanjut tidur. Pagi harinya saya dan suster mendekor gereja untuk mempersiapkan ibadat malam paskah.
Dan perayaan ibadat malam paskah pun di mulai dari penyalaan lilin paskah hingga perayaan malam paskah selesai dengan hikmat. Kami pun temu sapa dengan umat stasi Anggai, mereka merasa kehilangan karena ini adalah malam terakhir, karena besok saya dan suster sehabis ibadat Minggu Paskah pagi harinya kami pun harus kembali ke Paroki Getentiri, karena kami di stasi Anggai hanya seminggu saja selama pekan suci.
Banyak suka duka yang kita alami dan rasakan bersama. Tapi apa boleh buat saya dan suster hanya sebatas ini memberi pelayanan kepada umat stasi Anggai. Maka malam ini saya manfaatkan sebaik-baiknya. Kami dan Sekami bersama OMK mengadakan bakar-bakaran ayam bersama dan nonton film di laptop saya sampai waktu menunjukan tengah hari, saya dan suster pun langsung istirahat tidur.
Hari minggu pun tiba, hari terakhir saya dan suster berada di stasi Anggai. Pagi-pagi saya dan suster sudah mulai bersiap-siap untuk ibadat Minggu Paskah bersama umat Stasi Anggai. Ibadat Minggu Paskah pun di mulai dengan hikmat hingga pada akhir ibadat pun saya berpamitan ke pada umat stasi Anggai yang hadir di gereja. Mulai dari anak-anak SEKAMI yang menemani saya setiap hari, ada Samuel, Efrem, Yohanes, Petrus, Yosep dan lain-lain. Teman-teman OMK yang selalu mengajak saya keliling kampung Stasi Anggai dan mengenali saya banyak hal di stasi Anggai, ada kak Stefe, Kak Robert, Kak Mili, Kak Ricky dan lain-lain. Kemudian mama-mama yang setiap pagi membuat kan saya kopi dan mencucikan baju saya, padahal saya pun bukan Frater yang umat stasi Anggai bayangkan dan semua umat stasi Anggai yang sudah menganggap saya sebagai saudara, sungguh persaudaraan yang kuat yang saya rasakan selama di Stasi Anggai. Akan ada banyak pengetahuan, pengalaman, pelajaran, kenangan, pelayanan, persaudaraan yang saya bawa dari Stasi Anggai menuju ke Yogyakarta. Tuhan memberkati kalian semua umat Stasi Anggai.
0 Komentar