Perjalanan Saya, Panggilan Saya !!!
Oleh : E. Feny Handayani
Langkahkan Kaki B’ri Sedikit Arti
Dari pertanyaan “legal atau ilegalkah kegiatan Jejak Langkah Misioner ini?”,mengawali langkah saya untuk mengambil keputusan; ikut atau tidak kegiatan Jejak Langkah Misioner #3. Jujur..., saya trauma dengan kegiatan gereja yang outputnya tidak jelas, terkesan menghamburkan banyak uang, terkesan proyek, apalagi menggunakan kedok pelayanan untuk mencari keuntungan pribadi. Ditengah-tengah kesibukan kerja, saya mencoba mengikuti setiap prosesnya; dan ingin membuktikan sendiri apa itu kegiatan Jejak Langkah Misioner#3. Ternyata ditengah-tengah proses, banyak teman-teman yang mengundurkan diri dengan beragam alasannya untuk tidak ikut serta dalam kegiatan JLM#3 ini, yang awalnya diikuti tiga belas orang kaum muda, kini tinggal empat orang saja yang tersisa. Rasanya berat untuk melangkahkan kaki, semangat pun jadi kendor.“Pikir saya, sudahlah dibatalkan atau diundur saja kegiatan ini?”. Dengan berbagai pertimbangan dan pertanyaan tantingan dari Rm.Nugroho selaku Dirdios KKI Keuskupan Agung Semarang, diputuskan tetap berangkat bermisi ke Merauke, walau pun hanya berempat saja yang akhirnya ikut serta dalam kegiatan JLM#3 ini.
Komitmen yang dibangun, tentu mengandung konsekwensi yang harus ditanggung. Salah satunya adalah WAKTU!!!, (“apakah saya bisa membagi waktu...?!, apakah saya mampu menyelesaikan tugas dan tanggungjawab saya ditempat kerja, tepat pada waktunya?!!, apakah saya benar-benar diijinkan oleh lembaga untuk ikut kegiatan JLM#3 ini??!!Apakah saya mampu mengikuti setiap proses yang ada di JLM#3 ini...??!!, Apakah saya mampu bla-bla-bla...dan seterusnya...??!!”),Mmmm....hidupku kok jadi penuh pertanyaan begini ya. . .??!!”.
Saya sadar...ini adalah tantangan, yang harus segera saya jawab agar dapat hidupdengan tenang !!!Memang di satu sisi, ijin dan dukungan yang diberikan lembaga kepada saya, mengandung beban tersendiri bagi saya. Mau tidak mau, harus mentarget diri untuk menyelesaikan tugas dan tanggungjawab, sebagai ucapan terimakasih kepada lembaga yang telah memberikan ijin untuk mengikuti kegiatan JLM#3 ini.Disisi lain,apa yang akan terjadi di Merauke tidak akan pernah jelas, sungguh menguras energi, waktu, dan pemikiran saya, ditambah masalah penggalangan dana yang diusahakan tidak sesuai perolehannya dengan apa yang sudah direncanakan. Semakin dipikir, semakin pusing sendiri !!! sesekali, saya berkata: “Wes. . . yok, gek ndang mangkat, gek ndang tekan Merauke, wes. . .rasah mikir meneh, opo sek enthuk iki di gowo”. Perkataan emosi yang sempat terlontar justru menumbuhkan kepercayaan diri untuk mengusir rasa takut yang ada pada diri saya. Tuhan berikan kepada saya; tangan, kaki, otak yang sempurna inilah bekal saya, dan saya yakin Tuhan akan melengkapi kekurangan saya. Sejak itu, saya mampu mengusir rasa takut yang ada didalam diri saya dan menyatakan diri siap melangkahkan kaki memberi sedikit arti dalam setiap langkah kaki saya, dimanapun nantinya kaki ini akan melangkah. Dengan keyakinan itu, saya pun berhasil menyelesaikan pekerjaan saya tepat pada waktunya, sesuai target yang ditentukan, begitu juga dengan persiapan keberangkatan ke Merauke. Bermodalkan tekat, dan dukungan dari tempat saya bekerja, teman-teman komunitas, para sahabat, dan keluarga, menyertai langkah saya, untuk menjawab tantangan ini dengan mantap !!!
Ini Diriku, Pakailah Aku !!!
Pada akhirnya, waktu yang dinanti-nantikan pun tiba. Dengan semangat: “SATU TUBUH TANGGAPI PANGGILAN-NYA”, kami mengawali perjalanan dari Gereja Kumetiran ke Bandara Adi Sucipto, transit di Bandara Hasanuddin Makassar, dan tujuan akhir Bandara Mopah Merauke. Cuaca ekstrem, yang cepat berganti mengiringi perjalanan dari Bandar Udara Hasanuddin Makassar ke Bandar Udara Mopah Merauke. Dengan jarak tempuh kurang lebih empat jam, dan tingginya pesawat melaju diatas awan-awan membuat tidak nyaman telinga kanan saya, bagai ditusuk-tusuk jarum rasanya. Keindahan Alam ciptaan-Mu membuat saya kagum, Engkau benar-benar Allah yang detil, teliti, sempurna, tak ada yang tertinggal satu pun dari apa yang Engkau ciptakan. Ke kaguman saya tak berhenti disitu saja, tiba di Bandar Udara Mopah Merauke, saya pun melihat patung Hati Kudus Tuhan Yesus berukuran sangat besar menyambut kedatangan setiap penumpang yang turundari pesawat termasuk saya, karena letaknya dekat dengan bandar udara tersebut.
Sambutan hangat Suster Udis dan teman-teman KKI Keuskupan Agung Merauke, membangunkan saya dari kekaguman sesaat yang menyadarkan; ternyatabenar-benar sudah sampai di Merauke.Lega rasanya sampai di Merauke dengan selamat tak kurang satu apapun. Dari bandara kami pun diantar Suster Udis dan teman-teman KKI menuju ke Keuskupan Agung Merauke. Di perjalanan tak ku lepaskan pandangan ku kearah patung Hati Kudus Tuhan Yesus yang besar itu, sambil berkata dalam hati; llluuuaaarrr biasa. . . patung yang awalnya hanya saya lihat fotonya saja, kini dapat saya lihat dengan mata saya sendiri. Sungguh takjub, patung Tuhan yang besar dapat dibangun ditempat umum lengkap dengan peristiwa jalan salib-Nya. Disini saya merasakan berada dirumah sendiri, menjadi kaum mayoritas sebagai orang Katolik.
Jalan-jalan di kota Merauke tidak begitu ramai, tampak lengang tidak banyak kendaraan yang melaju memadati jalanan, bangunan pertokoan, bangunan sekolah, bangunan gereja, dibangun sederhana.Listrik, air, jaringan Telpon dan Internet di kota Merauke tersedia dengan melimpah, meskipun tidak semua jaringan masuk. Tak lama kurang lebih tiga puluh menit, kami sampai di Keuskupan Agung Merauke, diseberang jalan Keuskupan terdapat Gereja Katedral Fransiskus Xaverius Merauke. Keuskupan tempat tinggal Bapak Uskup pun, dibangun sederhana, sungguh Tuhan hadir nyata dalam kesederhanaan-Nya. Dikeuskupan kami tidak bertemu dengan Bapak Uskup, kami bertemu dengan Romo Miller (Vikjen KAME). Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari mengenalkan apa itu JLM, Paroki Santo Matias Getentiri tempat dimana kami bermisi, sampai pada MIFEE (Merauke Integrated Food And Energy Estate), hutan-hutan menjadi target perusahaan untuk ditanami kelapa sawit, padahal bagi masyarakat Papua hutan merupakan ibu pertiwi yang menyedikan segala sesuatunya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perlu adanya penyadaran masyarakat akan pentingnya melindungi hutan dan tanah yang mereka miliki, agar tidak dengan mudah menjualnya kepada perusahaan. Perbincangan pun berakhir dengan foto bersama, dan penyerahan kenang-kenangan sebagai ucapan terimakasih diperbolehkan mengenal dan belajar di Keuskupan Agung Merauke.
Dari Keuskupan kami pun diantar ke rumah bina (rumah retret) tempat singgah sementara selama kami tinggal di Merauke untuk beristirahat. Jarak dari Keuskupan ke rumah bina tidak terlalu jauh, kurang lebih tiga puluh menit.Sesampainya di rumah bina waktu yang ada pun, kami gunakan untuk bertanya banyak hal kepada Suster Udis tentang Paroki Santo Matias Getentiri tempat misi, dan mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa. Perjalanan ke Paroki Santo Matias Getentiri, tidak dapat langsung kami tempuh saat itu juga, karena waktu tiba di Merauke sudah terlalu siang dan jarak tempuh dengan curah hujan yang tinggi saat ini paling cepat membutuhkan waktu dua belas jam untuk sampai di Paroki Santo Matias Getentiri, bahkan sampai menginap dihutan kalau jalan yang kita lalui rusak parah dan harus antri satu per satu untuk berjalan. Karena jalan darat untuk menuju ke Paroki Santo Matias Getentiri hanya satu jalan saja dan itu pun untuk dua arah kendaraan.
Mengingat kondisi tersebut, kami pun bersepakat untuk berangkat pagi hari berharap jalan tidak macet dan sampai di tujuan tepat waktu sesuai yang direncanakan. Hanya mampu berserah dan berpasrah diri setelah mendengar penjelasan tersebut, Inilah diriku, pakailah aku dan terjadilah padaku seturut kehendak-Mu. Sambil mempersiapkan diri, saya pun membangun komitmen diri untuk tidak membuat repot orang lain, tidak berkomunikasi melalui SMS, Telpon, WA, BBM, dan Media Sosial lain selama berada di tempat misi dan mengaktifkan kembali setelah tiba di Merauke, makan makanan yang disediakan tidak pilih-pilih (dari herbivora=pemakan tumbuh-tumbuhan menjadi omnivora=pemakan segalanya). Tidak terasa waktu cepat berlalu, saya pun bergegas untuk beristirahat agar besuk dapat bangun pagi.
Lihatlah lebih dekat, rasakan, maka kau akan mengerti !
Kini tiba saatnya merasakan perjalanan misi yang sesungguhnya. Tepat Jam 07.00 pagi meninggalkan Rumah Bina menuju Paroki Santo Matias Getentiri dengan menggunakan mobil double gardan yang sudah disediakan oleh perusahaan korindo. Jalan yang dilalui adalah jalan yang sengaja dibangun dengan cara membuka hutan, sepi tidak banyak mobil yang melaju, udara yang sejuk, pohon-pohon besar, rawa-rawa, rumah semut, menyertai perjalanan. Tak lama, apa yang diceritakan sebelumnya olehSuster Udis tentang kondisi jalan yang dilalui berlubang, berlumpur dan rusak dibeberapa titik, kanan dan kiri hutan, banyak truk yang melalui jalan tersebut semuanya benar adanya. Saya perhatikan satu per satu tidak ada kendaraan yang melalui jalan tersebut yang dikendarai seorang diri, bahkan mobil atau truk selalu berjalan beriringan. Itu semua ada maksudnya, mengapa mobil satu dengan yang lain berjalan beriringan; karena ketika mobil atau truk macet terjebak di dalam lumpur, truk atau mobil yang lain berfungsi membantu menarik mobil yang terjebak di dalam lumpur tersebut. Beberapa titik jalan di jaga oleh tentara-tentara, dan ketika akan memasuki kawasan hutan kelapa sawit harus ijin memperlihatkan identitas, baru boleh melanjutkan perjalanan. Sedih, dan sesak dada inirasanya. . .hutan yang dulu dengan bebas orang boleh keluar masuk hutan tanpa ijin, sekarang. . .mau masuk hutan rumah kita sendiri harus ijin terlebih dahulu, hutan yang kaya akan sagu, babi, rusa, ikan, kini hutan tampak gersang, semua kekayaan yang ada dihutan kini tidak ada lagi, yang ada hanya kelapa sawit. (teringat gambar peta tentang tanah Papua, yang dijelaskan Mas Bimo dalam presentasinya), kini saya melihat sendiri kenyataannya.Mobil melintas dengan cepatnya, di depan tampak jalanan ramai ternyata banyak truk yang terjebak masuk ke dalam lumpur, dan itu pun terjadi dengan mobil kami, ketika mencoba menerobos jalan lumpur tersebut, mobil tidak dapat naik karena terlalu licin sehingga ban mobil hanya berputar-putar ditempat saja. Semakin dicoba mobil dijalankan, semakin dalam ban mobil tertanam di dalam lumpur. Terlintas dibenak saya; “bermalam di tengah hutan, akankah menjadi kenyataan?”. Mmmm. . .apa yang dapat saya lakukan? Mmmm. . .duduk diam di dalam mobil, karena saya merasa tidak dapat melakukan apa-apa ketika mobil terjebak di dalam lumpur, di dalam hati berdoa, ya. . .Tuhan selamatkanlah kami.
Kurang lebih dua jam mobil terjebak di dalam lumpur dan akhirnya berhasil melanjutkan perjalanan. Kurang lebih jam 18.30 WIT sampai dipelabuhan milik perusahaan Korindo. Setelah melalui perjalanan darat yang berlumpur, perjalanan dilanjutkan dengan naik kapal milik perusahaan Korindo, kurang lebih tiga puluh menit sampai di Paroki Santo Matias Gententiri, tempat tujuan utama untuk bermisi.
Sampai di paroki Santo Matias Getentiri tepat jam 19.00 WIT, kami disambut oleh warga sekitar dari anak-anak, remaja, dan orang tua berjajar bersalaman dan membantu membawakan tas dan barang-barang lain yang kami bawa, mengantar sampai ke pasturan. Trimakasih Tuhan, menyertai perjalanan kami, sampai tempat tujuan dengan selamat tak kurang suatu apapun. Paroki Santo Matias Getentiri memiliki satu Pastur saja yaitu Pastur Yusuf Yanto, MSC kesehariannya, Pastur dibantu oleh Kak Kristin relawan asal Jakarta yang mendapatkan Surat Keputusan dari Bapak Uskup NicolausAdi Seputra, MSC untuk “Lllaahh. . .piye Fen. . .gelem pow tinggal nang kene? genteni Kak Kristin nang kene, suk nek Sk-ne seko Bapak Uskup enthek ?” hanya dapat terdiam dan tersenyum.Dalam hati timbul pertanyaan: “Apa yang Tuhan mau tunjukan kepada saya?”. Ternyata kalau Tuhan sendiri yang inginkan, hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan orang yang terpilih tidak mampu menjelaskan secara detil maksud Tuhan atas dirinya, dan orang lain hanya dapat melihat dan merasakan kehadiran-Nya dalam diri orang yang terpilih tersebut. Paroki Santo Matias Getentiri memiliki sebelas stasi, diantaranya stasi anggai, stasi aiwat, stasi ujung kia, stasi yang, stasi hobinangge, stasi kapogu, dan stasi watemu, dan masih ada empat stasi yang lain. Untuk menuju ke stasi-stasi menggunakan transportasi darat dan air, transportasi air menggunakan ketinting atau jonshon. Perpisahan adalah kenyataan yang harus dihadapi, pembagian tempat misi yang selama ini cukup mengganggu pikiran akhirnya terjawab sudah, saya mendapat tempat di Stasi Hobinangge bersama Kak Vhiany orang muda asal Manado. Sesuai penjelasan Suster Udis sebelumnya ditambah penjelasan dari Kak Kristin mengenai kurangnya pemahaman umat tentang liturgi di masing-masing stasi dari tata cara liturgi: kapan harus berdiri, kapan harus duduk, dan kapan harus berlutut,cara menyanyikan lagu-lagu liturgi yang benar sesuai dengan not dan temponya. Situasi tersebut mengkondisikan kami mau tidak mau harus mengajarkan tentang apa itu liturgi?, bahkan memimpin ibadat selama Tri Hari Suci seperti yang dilakukan prodiakon, katekis, dan guru agama.Padahal pengalaman memimpin ibadat pun belum pernah saya lakukan, tidak banyak yang saya tahu tentang liturgi gereja.
Masyarakat yang mayoritas agama katolik, ternyata jumlah katekis, prodiakon, dan guru agamanya sedikit, bahkan tidak ada yang mau menjadi katekis, prodiakon, dan guru agama. Tidak dapat saya bayangkan Romo Yusuf Yanto, MSC melayani umatdengan jarak stasi satu dengan stasi yang lain berjauhan, dan itu Romo lakukan seorang diri saja. Dengan waktu yang ada saya belajar tata cara liturgi kepada Suster Udis untuk meminimalis kesalahan ketika memimpin ibadat Tri Hari Suci di Stasi Hobinangge. Tidak dapat saya bayangkan apa yang terjadi besuk di stasi Hobinangge?!. Suster Udis pun memberi semangat: “yang penting dari semuanya itu adalah Percaya Diri”. “Lihat, rasakan, dan kamu pun akan menemukan DIA, di dalam diri umat Stasi Hobinangge”.
Membantu secara administratif Paroki Santo Matias Getentiri, selama empat tahun.
Sejak sampai di Paroki Santo Matias Getentiri, keiingin tahuan saya tentang Kak Kristin sungguh menggelitik pikiran saya. “mmmm. . .orang thiongwa, perempuan, datang sendirian, kok mau berada ditempat ini?, apa motivasinya?” ditengah canda tawa teman-teman; yang mengatakan:
Sesuai dengan kesepakatan bersama, berangkat dari Paroki Santo Matias Getentiri, setelah sarapan pagi. Kira-kira jam 09.00 WIT kami pun mulai membagi diri menjadi dua kelompok keberangkatan, karena rute perjalanan yang ditempuh berbeda arah. Stasi Anggai dan Stasi Aiwat menjadi satu kelompok keberangkatan melalui sungai Buven Digoel, sedangkan Stasi Ujung Kia, Stasi Yang, Stasi Hobinangge, Stasi Kapogu, dan Stasi Watemu, menjadi satu rute keberangkatan melalui jalan darat menggunakan truk dan dilanjutkan dengan perjalanan air menggunakan ketinting atau jonshon. Perjalanan dari Paroki Getentiri ke Ujung Kia kurang lebih berjarak 25 KM, dengan waktu tempuh kurang lebih tiga jam. Perjalanan yang panjang dan mengharukan lagi-lagi harus melihat hutan berjuta-juta hektar pohonnya habis ditebang dan ditanami kelapa sawit, jalan yang sunyi sepi tidak ada penerangan jalan, dan merupakan jalan satu-satunya sebagai akses masyarakat yang hidup di pedalaman menuju ke tanah merah/getentiri. Akhirnya kami pun tiba di Stasi Ujung Kia, dan harus melanjutkan perjalanan air menuju stasi masing-masing menggunakan ketinting atau jonshon. Rasa khawatir, takut tetap saja ada, kenyataan sudah ada didepan mata harus berpisah dengan teman-teman JLM#3, tidak dapat lagi berkata-kata, hanya air mata yang sempat menetes dari mata saya, ucapan selamat tinggal, selamat berjuang teman-teman, Mari Bermisi Setiap Hari!!! itu saja yang dapat saya sampaikan sebelum jonshon yang saya naiki melaju cepat menuju Stasi Hobinangge.
Sekarang saya benar-benar merasa sendiri, sesekali saya membuka HP untuk merekam perjalanan, menikmati pemandangan untuk mengalihkan rasa takut saya. Karena bagi saya pengalaman pertama naik jonshon selama kurang lebih satu jam. Tepat jam 13.00 WIT, saya dan Kak Vhiany bersama Bapa Dewan Oktovianus, Kak Robi OMK Ujung Kia sampai di stasi Hobinangge. Turun dari jonshon, untuk sampai ke kampung Hobinangge naik bukit kurang lebih dua kilo meter. Suasana sepi tidak ada orang yang menyambut kedatangan kami.Stasi Hobinangge, stasi yang banyak orang-orang tuanya, anak-anak, remaja, dan orang mudanya sedikit. Secara geografis stasi hobinangge terletak di daratan tinggi atau bukit, pemandangan yang indah dapat terlihat dengan jelas di bukit Hobinangge. Stasi Hobinangge terbagi menjadi tiga Rukun Tetangga (3 RT). Kebanyakan warga beternak babi, ada juga yang beternak buaya, berburu burung kuning atau cendrawasih untuk dijual, sinar matahari yang sangat panas pun menemani setiap jabatan tangan saya dengan warga setempat. Setelah berjabat tangan, saya dan Kak Vhiany diantar menuju rumah kosong yang biasa ditempati oleh Bapak Guru jika datang untuk mengajar, lokasinya dekat dengan sekolah, namun jauh dari rumah warga yang lain.
Hari pertama sampai, Bapa Dewan: Oktovianus menjelaskan situasi stasi Hobinangge yang akhir-akhir ini terjadi. Hari kamis ternyata terjadi pembunuhan, sehingga membuat suasana di stasi Hobinangge sepi, dirundung duka. Tak lama kemudian kepala RT: Bapa Laurentius Embovi datang menjelaskan mengapa di stasi Hobinangge tidak ada persiapan penyambutan, dikarenakan ada duka dan sebenarnya penyambutan beserta makan siang sudah disediakan di stasi Ujung Kia. Termasuk penyedian besin dan solar selama Tri Hari Suci pun menjadi masalah karena jumlahnya tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Saya pun hanya terdiam, karena tidak tahu menahu masalah yang sebenarnya terjadi.Banyak hal yang Bapa Dewan Oktavianus jelaskan kepada saya dan Kak Vhiany dan pembicaraan berakhir dengan pembagian tugas selama Pekan Suci dimulai dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Paskah, dan Pesta Paskah.
Manusia Lempung Hobinangge
Ibadat Minggu Palma di stasi Hobinangge dimulai jam 08.00 WIT, dengan segala kesederhanaannya saya dan Kak Vhiany berbagi tugas sebagai petugas liturgi, menjadi lektor dan pemazmur. Saya pikir petugas liturgi sudah dipersiapkan, ternyata tidak ada persiapan sama sekali. Semua tata liturgi, Bapa Dewan yang melakukannya. Gregetan rasanya, mulai dari lilin, salib semua serba minimalis, bahkan tidak ada. Menyesal rasanya; salib perutusan tidak jadi saya bawa, andai saja jadi saya bawa pastilah berguna ditempat ini. Ternyata apa yang Suster Udis gambarkan benar adanya. Jawaban Ya, belum tentu itu Ya, dalam arti sesungguhnya, semua harus dipastikan kembali. Pemahaman tentang liturgi tidak begitu ditangkap dengan baik. Mmmm. . .dalam hati: apa yang harus saya lakukan supaya mereka mengerti maksud saya? Sepertinya bahasa saya tidak dapat mereka tangkap dengan baik. Pada akhirnya harus berpikir kreatif untuk mengupayakan segala sesuatunya,menanggalkan pemikiran “perfectionis” dan pemikiran “idealis” yang ada di diri saya. Sungguh rasanya seperti “ditelanjangi” bagai manusia lempung (lempung=lentur, mudah dibentuk) harus mampumenyesuaikan diri dengan keadaan sekitar tanpa banyak berbicara ini itu. Berani memulai, berani menyelesaikannya !!!
Persiapan untuk menyambut Tri hari Suci dimulai dengan pembagian petugas liturgi (putra altar, lektor, pemazmur, petugas pembaca kisah sengsara, 12 rasul, petugas jalan salib hidup/tablo) diserahkan langsung kepada Bapa Dewan Oktavianus. Suasana duka pun membuat umat di stasi Hobinangge tidak bersemangat mengikuti latihan persiapan menyambut Tri Hari Suci dan sebagai alasan utama untuk tidak terlibat dalam tugas liturgi. Sesuai kesepakatan bersama pada hari Jumat Agung akan diadakan Jalan Salib Hidup. Jalan salib hidup, saya membayangkan maksudnya adalah tablo. Ketika saya bertanya bagaimana dengan
persiapannya? Ternyata sama sekali belum ada persiapan. Karena dirundung duka, persiapan menyambut PASKAH termasuk kehadiran kami di stasi Hobinangge hanyalah prosedural yang harus ditaati karena perintah dari Bapa Pastur Yusuf Yanto,MSC sebagai Pastur Kepala Paroki. Mmmm. . .disitu saya merasa sedih, merasa ditolak, seakan-akan segala kerepotan persiapan Paskah itu untuk kami, bukan untuk Tuhan. Saya mengerti, stasi Hobinangge sedang dirundung duka, dan saya sangat menghormati tradisi adat istiadat Papua; nyawa dibayar nyawa. Situasi yang tegang, sungguh tidak nyaman rasanya, dari Bapa-bapa, Mama-mama, sampai adik-adik semua cerita tentang pembunuhan yang tidak pasti datanya. Ingin rasanya segera pulang dan mengakhiri semua ini. Kehadiran Herodes, Simon, Wemu, Ursula, Benedetta, Kak Karolus, dan Kak Sarah, menumbuhkan semangat saya kembali untuk menyelesaikan pelayanan selama di stasi Hobinangge. Semua peristiwa yang ada menyadarkan saya tentang kerendahan hati, totalitas, dan yang terpenting dari semuanya itu adalah mensyukuri segala sesuatunya dalam kondisi apapun.
Bersyukur Selalu Atas Rencana-Mu
Selama tinggal di stasi Hobinangge banyak hal yang aku dapatkan; mulai dari belajar memancing, pangkur sagu, membakar sagu, membakar ulat sagu, belajar bahasa suku auyu, belajar kegigihan mama-mama dari mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh anak-anaknya, mendidik anak-anaknya, mengusahakan sampai menyediakan makan untuk keluarga semua dilakukannya sendiri. Sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedalaman memiliki tantangannya sendiri. Tempat yang jauh dari kota, listrik, air bersih, jaringan telepon dan internet, yang terbatas bahkan tidak ada, pendidikan yang jauh dari standar pendidikan (tidak banyak anak-anak yang dapat membaca dan menulis), kondisi keluarga yang tidak mengenal KB, pengetahuan yang kurang sehingga dengan mudahnya di bodohi. Mie instan dan ikan kaleng yang menurut mereka makanan kota yang istimewa dan modern, tidak mereka sadari kalau tidak baik untuk kesehatan tubuh mereka.
Terjawab sudah pertanyaan dari Mas Bimo; “Penduduk yang 100% katolik mengapa tidak ada benih panggilan menjadi Romo, Suster, Katekis, Guru Agama?” karena figur Romo, Suster, Katekis, dan Guru Agama tidak banyak disana, bahkan jarang dikunjungi. Justru figur sebagai tentara, polisi, pegawai di perusahaan jauh lebih banyak, sehingga anak-anak jika ditanya apacita-citanya?, kebanyakan ingin menjadi tentara.
Saya bersyukur dapat belajar dan mengenal kehidupan mereka yang sesungguhnya.Kegiatan Jejak Langkah Misioner beda dengan kegiatan gereja lainnya. Kegiatan ini mampu membuka kaca mata kuda yang selama ini saya kenakan, mencelikan mata saya; inilah sesamamu, inilah kenyataan hidup, inilah AKU, Lihatlah Lebih Dekat !!! Mari Bermisi Setiap Hari !!!
Dengan kotor kita belajar bersih,
Karna salah kita tahu yang benar,
Karna hitam kita bisa melihat yang putih,
Karna gelap kita mensyukuri terang,
Yang berani adalah berani keluar dari kotor,
Mencari diri agar tetap bersih,
Meninggalkan hitam, untuk menikmati yang putih,
Keluar dari gelap, agar karya menjadi terang,
Walau berat, teruslah berjalan dalam terang,
Memang sulit, namun mungkin diwujudkan,
Karena hidup adalah perjuangan,
Untuk dimenangkan, bukan untuk dikeluhkan,
Mari Bermisi Setiap Hari !!!
0 Komentar