Mengenal Arti Bermisi
Oleh : Regina Caely Londoran
Yang saya tahu, arti dari bermisi itu sejak awal hanya teorinya saja, yaitu mewartakan kabar gembira yaitu Injil Tuhan, ke seluruh dunia. Saya tidak pernah membayangkan akan dicelikkan oleh Tuhan mengenai segala sesuatu tentang bermisi itu sendiri didalam kehidupan saya. Awalnya, saya hanya mengikuti pelayanan kesana-kesini, dan tanpa disadari semangat saya kemudian hilang. Entah mengapa, seiring berjalannya waktu, segalanya hanya menjadi rtutinitas saja untuk saya. Lalu tiba-tiba disuatu kesempatan saat kami berjumpa dengan Romo Nugroho, Beliau bertanya kepada kami, “apakah kalian mau jika diminta untuk melayani di Keuskupan Agung merauke?”. Pada saat itu kami langsung mantap menjawab “YA”. Meskipun masih ada keraguan pada saat itu, namun kami memberanikan diri untuk mengatakan “Ya”. Saya pribadi merasa dihentak kembali semangat pelayanannya oleh Tuhan, karena kali ini Tuhan tidak main-main. Tuhan utus saya untuk sungguh melayani di tempat yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan, yakni di Keuskupan Agung Merauke.
Seiring berjalannya waktu, kami mulai berkumpul dengan teman-teman yang lain yang berasal dari paroki-paroki lain yang berada di Keuskupan Agung Semarang. Kami perlahan mulai berproses dan berdinamika bersama. Merancang banyak hal, menyusun kegiatan, dan yang lainnya. Setelah beberapa bulan kemudian, entah mengapa anggota mulai mundur satu per satu. Yang tadinya kami berjumlah 13 orang muda, namun pada akhir tahun 2016 kemarin, personil kami hanya tinggal 4 orang muda saja. Yang saya yakini adalah, mungkin ini memang seleksi dari Tuhan. Ketika tersisa 4 orang muda, kami mulai ragu untuk melangkah maju. Yang tadinya kami mantap untuk menjawab “ya”, pada saat itu kami mulai bingung, apakah akan tetap maju untuk berangkat ke Merauke, atau kita cancel dulu.
Namun pada saat itu, Romo Nugroho kembali menguatkan kami untuk tetap berangkat meski dengan jumlah personil yang minimalis. Akhirnya kami sepakat untuk bersama-sama memanfaatkan waktu yang masih tersisa untuk mempersiapkan keberangkatan kami. Kami bersama-sama melakukan persiapan baik persiapan materi, perlengkapan, maupun finansial. Selain itu kami juga harus menyiapkan tabungan kami masing-masing juga. Kami saling melengkapi satu dengan yang lain, dan mencoba untuk dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Memang tidak mudah, karena waktu yang tersisa tidaklah banyak, namun kami saling memberikan semangat antara satu dengan yang lain. Pertemuan kami setiap hari selasa, itu sangat menguatkan keyakinan saya bahwa kami siyap untuk melayani sesama kami dimanapun kami berada.
Sampai pada akhirnya, segala sesuatu telah diusahakan dan Tuhan sungguh menyertai kami, karena segala kekurangan kami, Tuhan cukupkan semuanya. Dan akhirnya, kami siap untuk berangkat. Kami satukan hati, pikiran, dan tujuan pelayanan kami bersama supaya kami dapat memberikan yang terbaik. Deg-deg’an sih sebenarnya, tapi saya sudah mengatakan “ya” kepada Tuhan, dan saya harus bertanggungjawab atas jawaban saya itu. Untuk pertama kalinya, saya akan melakukan perjalanan panjang, di tempat yang sma sekali saya belum pernah membayangkannya.
Dan, tibalah kami di Keuskupan Agung Merauke. Pertama kali saat menginjakkan kaki di tanah Merauke, dalam hati saya berkata “ya Tuhan, saya siap”. Inilah yang akan menjadi awal perjalanan imanku menuju ke level selanjutnya. Meski saya tau bahwa mungkin saya tidak mampu berbuat banyak, namun satu yang saya yakini yaitu penyertaan Tuhan yang senantiasa mengiringi setiap langkah saya.
Sampai di Merauke, kami bertemu dengan sahabat-sahabat baru, yaitu tim KKI-KKM dari Keuskupan Agung Merauke. Sungguh tim yang sangat solid, karena keakraban mereka sudah seperti keluarga. Saling mendukung satu sama lain, saling bersendagurau, dan mereka memiliki semangat melayani yang luar biasa. Pada saat itu, saya berfikir bahwa mungkin saya bisa belajar banyak dari mereka. Inilah saatnya untuk belajar dan menimba ilmu di tanah Merauke.
Hari berikutnya, kami mulai melakukan perjalanan ke paroki Getentiri. Tempat dimana kami akan bersama-sama berdinamika dan belajar untuk bermisi. Perjalanan yang kami lalui adalah perjalanan darat. Tidak tanggung-tanggung, kami berada dalam perjalan selama 12 jam. Perjalanan yang kami alami juga tidak semulus seperti jika melakukan perjalanan di jalan Ringroad Yogyakarta. Disana jalan aspal hanya sebagian, dan masih banyak jalan yang rusak dan menjadi jalan lumpur merah. Perjalanan yang begitu melelahkan, namun sungguh membuat semangat kami semakin berkobar. Saya merasa bahwa Tuhan sedang tunjukkan bahwa jalan yang menuju kepada-Nya pun juga bukan jalan yang mulus saja, melainkan kita harus juga melewati jalan yang terjal, jalan yang rusak, bahkan jalan yang berlumpur dalam kehidupan ini. Namun yang pasti, Dia akan selalu menyertai umatnya yang tetap setia dalam setiap langkahnya.
Sesampainya di pastoran Paroki Getentiri, kami lalu beristirahat sejenak, menikmati makan malam bersama, dan sejenak membersihkan diri. Kemudian, kami berkumpul kembali untuk melakukan pembagian tempat/stasi dimana kami nanti akan melayani. Jantung sudah mulai berdebar kencang, rasanya seperti mau copot, tidak karuanlah rasanya. Namun pada saat itu, saya diteguhkan kembali oleh perkataan kak Ofni dar tim KKI-KKM Kesukupan Agung Merauke. Dia berkata “aahh.. atur sudah, disini kami siap melayani... mau ditempatkan dimana saja silahkan, karena dari awal memang niat kami datang kesini untuk melayani”. Tiba-tiba saya tersentak lagi, dan mulai kembali tersadar bahwa inilah yang Tuhan mau. Dan ketika saya sudah mengatakan “ya”, maka saya harus selesaikan. Dan akhirnya setelah pembagian selesai, ternyata kami tim dari Keuskupan Agung Semarang benar-benar dipencar, dengan 1 orang mendapat jatah 1 stasi, dan saya mendapat tugas untuk melayani di stasi Yang. Padahal sebelumnya kami berharap bahwa kami akan menjadi satu tim, dan meskipun dipencar paling tidak kami akan dipencar namun sepasang-sepasang, bukan satu-satu. Dan kami ditentukan untuk tinggal di stasi tersebut selama 8 hari lamanya. Luar biasa ketakutan saya waktu itu. Banyak sekali kekuatiran yang ada didalam benak saya. Lalu saya juga berpikir, apakah dulu para misionaris yang dikrim ke pedalaman-pedalaman juga merasakan kekuatiran yang saya alami? Sungguh pada saat itu saya tidak tau harus berbuat apa lagi, meski dengan perasaan yang campur aduk dan masih dengan segala kekawatiran itu, saya hanya bisa kembali mengatakan “ya Tuhan, saya siap”.
Kesokan harinya, kami mulai berangkat ke stasi masing-masing yang telah ditentukan. Selama dalam perjalanan, saya berfikir apakah saya mampu ataukah tidak? Saya bergulat dengan diri saya sendiri, mencoba meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya pasti bisa, meski dalam hati saya masih ragu. Saya dengan beberapa teman yang lain melakukan perjalanan darat dengan menaiki sebuah Truck. Dan kahirnya, sesampai di Ujungkia, kami saling bersalaman untuk mengucapkan salam perpisahan dan saling memberikan semangat satu sama lain, lalu kami duduk di perahu kami masing-masing yang sudah disediakan oleh masing-masing stasi untuk penjemputan. Dan akhirnya mulai dari saat itu sampai 8 hari kedepan, kami berpisah dan melaksanakan tugas kami masing-masing.
Setibanya di stasi Yang, di pelabuhan sudah ada beberapa anak-anak sekami yang sudah menunggu dengan berpakaian adat (menggunakan ikat kepala dari burung kuning/Cendrawasih, cawat, dan manik-manik hutan. Ternyata mereka menunggu untuk melakukan penyambutan. Saat saya turun dari kapal, mereka menyanyikan 2 buah lagu. Saat itu airmata tidak terbendung lagi. Saya merasa, siapakah saya hingga mendapat penghormatan penyambutan yang begitu luarbiasa seperti ini. Sebuah penghargaan yang luarbiasa yang belum pernah saya dapatkan selama hidup sampai sekarang ini. Mereka ikatkan anyaman bulu burung kuning dikepala saya, mereka pakaikan manik-manik hutan di tubuh saya. Setelah menyakikan lagu, saya diantar untuk masuk ke dalam kampung. Saat berjalan pun saya diiringi dengan nyanyian. Saya sangat terharu pada saat itu. Ketika masuk ke dalam kampung ternyata masih ada beberapa masyarakat yang sudah menunggu disana dan merekapun melakukan tarian adat mereka dengan lagu daerah mereka. Sempat kaget juga, namun sungguh rasa bahagia ada diwajah mereka. Lalu mereka membawa saya ke rumah disebelah Gereja, yang merek sebut sebagai Pastoran. Tempat dimana Pastor paroki atau Suster menginap saat mereka berkunjung di stasi Yang. Disitulah rumahku selama 8 hari kedepan. Rasa takut, haru, bingung, dan ragu menjadi satu saat itu. Saya masih berfikir apakah saya bisa melalui 8 hari kedepan di stasi tersebut? Sempat ada rasa ingin pulang saja, namun saya kembali disadarkan akan tanggungjawab saya yang telah saya ambil di stasi tersebut.
Keesokkan harinya adalah hari Minggu daun, atau kita sering menyebutnya dengan Minggu Palma. Ibadat Minggu Daun dipimpin oleh Bapa Dewan Stasi, yaitu Bapa Adrianus. Ini pertama kalinya saya mengikuti ibadat di gereja yang berada di Stasi Yang tersebut. Saya mulai melihat bagaimana tatacara ibadat disana, dan mulai belajar. Dalam ibadat tersebut saya juga mendengar kisah sengsara Tuhan Yesus yang dibacakan oleh umat disana. Saya teringat ketika Yesus berdoa di malam sebelum iya ditangkap oleh para tentara romawi. Waktu itu Tuhan juga merasa takut, karena Ia tahu bahwa dia akan diserahkan untuk disalibkan. Lalu saya berkata dalam hati saya, apa yang akan saya alamai disini belum ada apa-apanya dengan yanmg di alami Tuhan Yesus, dan ketakutan yang aku alami disini tidak seharusnya ada, karena Tuhan sudah memberikan contoh, bahwa setakut apapun kita, serahkan kepada Bapa di Surga, karena apa yang kurang akan digenapi oleh Allah Bapa kita. Dan pada hari itulah, aku serahkan segala karya dan pelayananku di stasi Yang kepada Bapa di Surga dalam doa.
Setelah mengikuti ibadat, sa mengikuti kegiatan Sekami yang sudah biasa dilakukan setiap minggu di stasi tersebut. Banyak anak-anak sekami yang berkumpul untuk bernyanyi bersama, bertepuk bersama, dan bermain bersama. Saya pun ikut bergabung bersama dengan mereka, bernyanyi dan bergerak bersama. Puji Tuhan saya merasa diterima oleh mereka. Setelah itu, bapa dewan ajak saya untuk pergi angkat jaring di sungai Digoel. Kami pergi ke sungai Digoel naik perahu papan yang biasa mereka sebut Belang. Dari stasi Yang sampai dengan sungai Digoel itu cukup jauh. Kami melakukan perjalanan selama +/- 6 jam perjalanan air mulai dari berangkat sampai kembali lagi ke pastoran stasi Yang.
Disepanjang perjalanan, kanan dan kiri hanya ada hutan saja. Hutan yang masih asli dan belum terjamah oleh pembangunan manusia. Suasana yang sangat tenang, sejuk, dan sangat menenangkan hati. Tuhan sungguh maha kuasa, dia ciptakan keindahan alam yang ada disana, dan memberikan makanan bagi umatnya.
Tuhan yang telah pelihara umat disana melalui alam ciptaan-Nya.
Malam harinya, selalu ada yang datang untuk menemani saya dan Petrus mengobrol, bercerita, dan mereka tidak pernah membiarkan kami merasa kesepian. Bahkan setiap malam selalu ada beberapa mama dan nona-nona yang tidur di pastoran juga untuk temani kami. Kebersamaan kami saat berkumpul dimalam hari biasanya kami habiskan dengan bercerita, latihan kor lagu madah bakti, dan belajar sautan-sautan liturgi yang biasa dijawab oleh umat saat ibadat berlangsung. Selama hari minggu sampai rabu malam, kami setiap malam selalu menghabiskan waktu bersama-sama untuk melakukan hal itu. Jadi ada waktu untuk bercerita dan bersendagurau, berlatih menyanyi, dan belajar hal yang lainnya. Meskipun hanya dengan penerangan dari pelita saja, kami tetap berkumpul dan belajar bersama. Di stasi memang ada Jenset, namun tidak setiap hari menyala karena keterbatasan bahan bakar. Sehingga, jenset hanya menyala saat hari pertama, dan pada saat
hari raya berlangsung saja yaitu mulai dari kamis Putih sampai dengan Sabtu Suci.
Saat bersama dengan mereka, saya sadar bahwa yang mereka butuhkan bukan apa yang bisa kita lakukan untuk mereka, apa yang akan kita berikan untuk mereka berupa barang atau hal yang lain nya, tapi yang mereka butuhkan terlebih adalah kehadiran kita di tengah-tengah mereka.
Mereka merindukan untuk disapa, diberikan hal-hal yang baru, dan mereka sangat antusias dengan apapun yang datang dari luar, apa lagi luar pulau. Mereka butuh orang untuk mendengarkan, melayani, memperhatikan, dan kebersamaan. Dengan kebersamaan bersama umat di stasi Yang itulah, yang tadinya saya berpikir bahwa saya tidak akan sanggup
tinggal disana selama 8 hari disana, berubah menjadi perasaan yang membuat waktu seperti berjalan terlalu cepat. Di stasi Yang juga tidak ada jaringan untuk HP, sehingga sempat juga terpikirkan bagaimana keadaan keluarga di Yogyakarta, karena kami memang sungguh tidak bisa saling berkomunikasi selama saya masih di Stasi. Namun ketika saya mulai teringat dengan keluarga, saya hanya bisa berdoa dan mohon kepada Tuhan untuk selalu menjaga mereka.
Dan tibalah kami di hari Kamis Putih. Hari dimana saya yang akan bertugas memimpin ibadat perayaan Kamis Putih untuk yang pertama kalinya. Sejak awal, saya dan teman-teman yang lain memang sudah diberitahu bahwa kami akan belajar bermisi disini. Namun bagi saya, ini bukan belajar, ini namanya benar-benar di gembleng untuk bermisi. Kesempatan yang mungkin tidak akan saya dapatkan sampai kapanpun. Belajar menemukan Tuhan di dalam diri saudara-saudara kita yang sangat membutuhkan kehadiran kita.
Sebelum mengikuti ibadat kamis putih, saya dan umat stasi Yang kembali menggunakan pakaian adat, karena pada hari ini kami akan melakukan penyambutan yang kedua kali untuk menyambut tim yang baru datang dari KKI-KKM Keuskupan Agung Merauke. Kami bersiap menunggu dipelabuhan mulai pk.11.00 WIT s/d pk.15.00 WIT. Sudah lama kami menunggu, namun tim tidak kunjung datang, sedangkan kami sudah siap semua. Semangat kami mulai luntur, karena kami sudah terlalu lama menunggu. Namun tiba-tiba ada suara Jonson dari bawah dan berhenti di pelabuhan. Dan ternyata memang benar tim ke-2 yang datang yaitu Kakak Anis. Kami langsung bersiap dan kembali melakukan penyambutan. Karena saya sudah menjadi bagian dari mereka, maka saya juga ikut membantu mengarahkan kakak anis untuk mengikuti prosesi penyambutan adat tersebut. Dan setelah itu, umat kembali pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap mengikuti ibadat Kamis Putih di Gereja Stasi.
Dan inilah waktunya, perdana memimpin ibadat di stasi, padahal sebelumnya sama sekali belum pernah pimpin ibadat, pimpin rosario saja blm pernah. Bayangkan saja, saya adalah seorang awam yang belum pernah belajar tentang katekis, kali ini harus bisa memimpin ibadat dan homili. hadeeeh... tapi, saya harus bisa. ibadat dengan lancar, sukses... hahahaa... sampai tidak habis pikir, ternyata saya bisa. Ini semua karena penyertaan Tuhan yang luar biasa kepada saya. Dan setelah ibadat selesai, kami lanjutkan dengan pertemuan anak-anak sekami dan persiapan jalan salib hidup untuk keesokkan harinya. Kami sudah membagi tugas bersama dengan Dewan stasi setempat untuk pemimpin ibadat. Saya bertugas pimpin ibadat Kamis Putih dan Minggu paskah, sedangkan kak Anis bertugas saat Sabtu Suci atau Malam Paskah. Untuk ibadat jumat Agung dan Paskah ke-2 akan dipimpin oleh dewan stasi sendiri. Sedangkan untuk jalan salib hidup, kami membagi tugas untuk bergantian membaca setiap perhentiannya.
Saya berpedoman pada buku yang telah diberikan sebagai bekal kami untuk pelayanan di stasi dan panduan ibadat dari paroki. Saya mencoba mengatasi kegugupan saya dengan menyapa umat terlebih dahulu sebelum ibadat dimulai. Dan puji Tuhan, saya berhasil memimpin
Tidak terasa, kami sudah berdinamika bersama selama 8 hari di stasi Yang. Banyak hal yang saya peroleh ditempat ini. Saya menjadi lebih bisa mengerti apa yang Tuhan ingin sampaikan melalui mereka, dan membuat saya menjadi bisa merenungkan segala apa yang telah saya perbuat bagi sesama. Bukan hanya karena aku mampu dan berbakat, namun terlebih karena aku mau. Karena mulai dari kemauan, kita pun akan mulai berusaha untuk dapat menyelesaikannya dengan baik. Sebab jika kita memiliki kelebihan namun kita tidak mau membagikannya kepada sesama, maka kelebihan itu hanyalah sia-sia.
Tuhan sudah berikan talenta kepada kita masing-masing, dan bukan sebuah kebetulan namun Tuhan sudah persiapkan kebun anggur yangkan kita kerjakan. Perpisahan memang tidak enak sekali rasanya, kebersamaan selama 8 hari di stasi Yang, akan menjadi kenangan indah yang selalu tersimpan dalam album dihatiku. Saya merasa sudah menjadi bagian dari mereka, dan mereka adalah bagian dari hidup saya. Meski hanya beberapa saat saja kebersamaan ini saya rasakan, namun sudah banyak hal yang mereka tanamkan kedalam hati saya. Kasih sayang yang tulus, melayani dengan iklas, kebersamaan dan kehangatan, senda gurau, lingkungan dan alam sekitarnya, membuat saya mempunyai keinginan suatu saat nanti, bahwa saya akan kembali ke stasi ini.
Perpisahan kami diantar dengan upacara adat sama seperti saat penjemputan. Kami semua awalnya menari bersama-sama sampai di jembatan. Karena saking semangatnya kami menari bersama, tiba-tiba jembatan yang saya injak pun rubuh dan beberapa orang ikut jatuh kebawah. Haduh, saya malu sekali, hehe,,, sudah mau pulang tp malah merusak jembatan yang ada, hehe. Tapi apa yang mereka katakan kepada saya? “tidak apa-apa ibu suster, supaya ada kenangan tho?” dan saya hanya tertawa saja. Kami lanjut berjalan bersama sampai ke pelabuhan. Tibalah untuk mengucapkan perpisahan kepada umat di stasi Yang. Haduuuuh, air mata ini sulit sekali untuk di bendung. Mereka memeluk tubuh saya erat sekali sambil menangis. Mama-mama disana sudah anggap saya seperti anak mereka sendiri yang akan pergi jauh dan berharap akan kembali lagi. Adik-adik, nona-nona pun juga demikian. Hanya ucapan terimakasih yang bisa saya sampaikan kepada mereka. Atas segala yang telah diberikan kepada saya. Pelajaran hidup dan iman yang akan selalu saya bawa dimanapun saya berada.
Kini aku tau rasanya bermisi. Bermisi adalah mewartakan kabar suka cita Tuhan kepada sesama, dan itu yang aku lakukan. Selalu berusaha memberikan sukacita kepada sesama melalui pelayanan dan karya kepada sesama. Memang terkadang panggilan untuk bermisi itu datang karena terpaksa, namun setelah menyelesaikan misi tersebut, hanya ada sukacita dan damai yang tinggal didalam hati kita. Dan satu hal yang pasti, ketika Tuhan sudah mengutusmu maka pergilah, jangan kawatir akan segala kekurangan dan kelemahanmu karena Tuhan yang akan menggenapinya. Dan saya sudah membuktikannya. Mantap jiwaaaaa.....
0 Komentar