“Dia selalu mengundang kita untuk melangkah maju setapak, tetapi tidak menuntut jawaban sepenuhnya kalau kita belum siap”
(FX.Galih Wirahadi)
Beruntung saya menemukan kutipan tersebut selama proses persiapan Jejak Langkah Misioner ke 3 hingga akhirnya saya berangkat ke Merauke. Dia selalu mengundang kita, untuk melangkah maju setapak…dan akhirnya kaki sayapun menginjakan tanah Papua. Sebuah langkah kecil yang saya percaya jika kita percaya menanggapi undangan dari Tuhan, maka semuanya akan terlaksana. Jauh dari orang-orang rumah selama kurang lebih 20 hari, membuat pertama kali melangkah keluar rumah terasa berat. Namun saya teringat dengan sebuah ayat dalam kitab suci, jika kita sudah mulai membajak maka janganlah menoleh kebelakang. Bermisi berarti meninggalkan, entah itu meninggalkan zona nyaman kita dekat dengan keluarga, nyaman dengan berbagai fasilitas yang selama ini kita rasakan, nyaman dengan segala kemudahan. Dan di bumi Papua ini tepatnya di Merauke saya merasakan apa artinya bermisi, saya melihat bagaimana perjuangan gembala-gembala kita mewartakan kabar gembira, melihat dan merasakan sendiri bagaimana pembangunan yang belum merata.
Hati Kudus Yesus yang menjaga dan melindungi kami…
Setiap orang yang hendak berkunjung ke Merauke melalui Bandara Mopah Merauke pasti akan disambut dengan uluran tangan terbuka dari patung Hati Kudus Yesus yang ada di sekitar kompleks kawasan bandara. Patung itu sengaja dibuat untuk menyambut setiap tamu yang datang berkunjung ke Merauke. Tangan terbukaNya pun menyambut saya bersama teman-teman JLM untuk mewartakankan kasih kepada umatNya yang ada di paroki Getentiri. Hati Yesus penuh kasih mesra, hidup kami Engkau yang pelihara, Kau hibur hatiku yang sengsara, biar lepas dari duka lara…begitulah sebait lagu Hati Kudus Yesus dari Kidung Ekaristi Kotabaru menyeruak saat kamis sore (6/4) kami datang melihat secara lansung megahnya patung hati kudus Yesus yang menjulang tinggi. Dalam hati saya berdoa agar esok hari perjalanan kami ke paroki Getentiri senantias berada dalam penyertaanNya.
Perjalanan 12 jam menuju Asiki
Jauh sebelum saya berangkat ke Merauke, saya mencari tau lewat internet dan youtube tentang perjalanan yang harus ditempuh dari kota Merauke menuju ke Asikie. Jalan berlumpur, dan jika ada mobil tertanam dalam lumpur bisa dipastikan kemacatan akan terjadi. Dan biasanya bisa berjam-jam, bahkan bisa bermalam di jalan. Kalau dulu hanya bisa menjumpai gambar mobil yang tertanam dalam lumpur. Saat ini saya merasakan sendiri bagaimana mobil yang saya tumpangi juga tertanam dalam lumpur. Tak bisa bergerak selama 1-2 jam, saya bersama teman-teman yang semobil hanya bisa tinggal diam di dalam mobil. Kami tak bisa keluar dari mobil mengingat kanan kiri mobil sebuah dinding lupur menjulang tinggi. Saya hanya melihat para orang-orang yang sedang berusahan mengangkat ban truk yang juga tertanam. Jika truk yang tertanam itu tidak bisa bergerak, maka mobil kamipun juga tak bisa bergerak beranjak dari lubang lumpur. Panas dan bertanya-tanya apakah bisa sampai ke Asike hari itu juga, yang selalu menjadi pertanyaan dalam hati saya. Jika saat itu turun hujan, maka yang terjadi mobil yang saya tumpangi pasti akan terendam air bercampur lumpur dan bisa saja air itu akan menenggelamkan mobil yang saya tumpangi. Dan doa kamipun terjawab sudah truk yang ada di depan bisa bergerak maju, sehigga mobil yang satunya bisa maju ke depan dan bisa menarik kami untuk keluar dari lubang lumpur. Akhirnya udara segarpun bisa kami rasakan sambil kembali melihat kanan kiri hijaunya hutan-hutan yang kami lewati.
Hutan-hutan berubah menjadi lahan kelapa sawit.
Selesai berisitirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Asiki. Kali ini saya melihat berubahnya bentang lahan dari yang awalnya hutan berubah menjadi ladang kelapa sawit yang begitu luasnya. Ternyata kami sudah mulai masuk kedalam kawasan ladang kelapa sawait milik perusuahaan asing. Sekarang di kanan kiri yang saya jumpai hanya pemandangan pohon sawit. Dari pohon sawit yang masih keci-kecil hingga yang sudah siap panen. Sejauh mata memandang hanya pohon sawit yang terlihat. Entah bagaimana dulu caranya bisa perusahaan itu bisa merubah kawasan hutan menjadi kawasan sawit.
Banyak hutan yang masih tersisa ditandai oleh masyarakt sekitar dengan menancapkan sebuah salib. Beberapa ratus meter ada tanda salib yang menancap di tanah. Salib yang menandakan hutan ini milik kami, kami akan pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kisah mempertahankan hutan adat dari cengkraman perusahan juga saya lihat sendiri. Bagaimana 5 kepala keluarga tinggal di Kukurantap untuk menjaga hutan dan wilayah mereka dari cengkraman perusahann. Mereka rela kembali ke kampun lama yang mereka tinggali dulu hanya untuk menjaga agar wilayah dan hutan mereka tak dicaplok oleh perusahaan. Dikampung baru mereka ada fasilitas listrik, warung-warung banyak, namun di Kukurantap 5 KK rela tinggal dengan tak ada listrik, tak banyak tetangga, dan untuk membeli bahan makanan harus menempuh beberapa jam untuk mendapatkannya. Semua itu mereka rela lakukan semata-mata bukan untuk diri mereka sendiri, namun untuk anak cucuk mereka kelak. Jika hutan yang mereka miliki habis lalu bagaimana nasib anak cucu mereka. Hutan bagi mereka, merupakan sebuah ibu. Orang Tua mereka tak rela jika anak cucu mereka tak punya Ibu. Makanya dengan susah payah dan penuh perjuangan mereka rela tinggal di situ walau hanya 5 KK. Di tengah Hutan Kukurantap juga terdapat sebuah salib. Salib yang menandakan akan dibagunnya sebuah gua Maria di tengah hutan. Ibu Maria yang akan membantu anak-anakNya untuk menjaga hutan dan sumber mata air yang ada di hutan. Pembagunan tempat ziarah Gua Maria di Kukurantap memang sedang dalam rencana dari paroki Matias Getentiri untuk mejadikan sebuah tempat ziarah. Dengan dijadikan tempat Ziarah, maka perusahan-perusahan tak akan berani untuk mencaplok hutan-hutan yang ada di daerah Kukurantap.
Jika saya dalam posisi sebagai 5 KK yang rela tinggal disitu, maka saya belum tentu berani untuk tinggal disitu. Dan saya begitu salut bagi mereka. Mereka belum tentu menikamati hasil perjuangannya, yang akan menikmati perjuangannya mungkin anak, cucu, cicit mereka. Pelajaran yang saya peroleh, “Apa yang kita lakukan saat ini, janganlah membuat kita berpuas diri, berpuas dirilah saat kebaikan yang kita lakukan bisa dilanjutkan dan diteruskan oleh banyak orang.”
Kulo Nuwun Paroki Matias Getentiri
Malam hari kira-kira pukul 20.00 kami sampai di paroki Getentiri, setelah kurang lebih satu jam menyusuri sungai Digul dengan kapal. Jarak dari sungai Digul ke pusat paroki kira-kira 300 meter dengan jalan yang agak menanjak. Kami disambut oleh Pastur Yusuf Yanto MSC, mbak Christin serta umat yang ada di sana. Rencana ada tarian penyambutan ditunda mengingat kami datangnya terlalu malam. Paroki ini memiliki 12 stasi yang tersebar di berbagai arah mata angin. Hanya satu pastor melayani umat di 12 stasi. Untuk menuju ke berbagai satasinya pun tak mudah, selain dengan kendaraan roda empat. Stasi-stasi hanya dapat dijangkau dengan speed boat, dan ketinting. Jaraknya pun 1-3 jam perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi air. Maka itu bisa dibayangkan umat stasi disana mendapatkan pelayanan sakramental dari romo tak bisa setiap minggu, mengingat romo juga harus melayani di pusat paroki juga. Hari raya besar termasuk pekan suci yang merupakan hari raya penting umat katolik harus dirayakan oleh sebagian umat stasi dengan ibadat sabda. Dalam setahun bisa dihitung berapa kali umat stasi disana mendapatkan sakramen ekaristi. Sungguh betapa beruntung kita yang setiap minggu mendapatkan sakramen ekaristi, namun malah sering tak mampu menggunakan kesempatan itu karena kesibukan dan karena kemalasan kita.
“Berangkat ke Stasi Aiwat”
(tak ada listrik, sinyal dan kesulita air)
Sabtu pagi sesudah makan pagi, akhirnya kita berlima berpencar ke berbagai stasi yang telah dibagi pada malam hari. Saya mendapatkan stasi Aiwat. Stasi Aiwat dari paroki Getentiri hanya bisa ditempuh dengan naik kapal. Saya naik speed boat dengan jarak tempuh kurang lebih satu setengah jam. Dengan speed boat yang melaju cepat, dikanan kiri terhampar hijaunaya hutan dengan sekali-kali hempasan ombak sungai Digul yang membuat kapal agak tergoncang mewarnai perjalanan saya..
Akhirnya tak terasa satu setengah jam lamanya perjalanan, saya pun sampai di pinggir desa Aiwat. Bersamaaan dengan menepinya perahu kami, ternyata bapak ketua dewan stasi Aiwat yang berencana datang menjemput juga datang menepi. Karena keterlambatan informasi, saya sudah datang terlebih dahulu.
Jadi tak ada penyambutan, dan kami bersama anak dari ketua dewan stasi membawa barang-barang naik ke atas. Sampai di atas kami di sambut oleh ketua adat desa Aiwat dan membawa kami ke tempat istirahat, di tempat orang biasanya mengadakan posyandu. Ngobral bersama ketua dewan stasi dan ketua dewan adat sampai makan siang datang. Entah tak terhitung berapa kali ketua dewan stasi dan ketua adat minta maaf kepada kami atas keterlambantan dalam menyambut kami. Kesederhanan dan ketulusan masyarakat di sana menyadarkan saya bahwa sifat-sifat tersebut sekarang sudah jarang dijumpai di masyarakt modern saat ini. Sifat pamrih, penuh kecurigaan yang paling sering dijumpai dalam masyarakat sekarang ini. Saya merasakan di kampung Aiwat ini sudah seperti saudara sendiri. Saya menyadari saya baru datang, namun rasanya mereka sudah seperti mengenal lama terhadap saya. Sugguhan rambutan, jeruk bali sekejap sudah ada di meja tempat saya tinggal. Obrolan dengan warga kampung dan anak-anak juga mudah dilakukan.
Pekan Suci Di Kampung Aiwat
Sabtu sore menjelang perayaan minggu daun, saya bersama para ibu-ibu serta anak-anak remaja. Latihan kor buat persiapan minggu daun. Disana minggu palma dikenal dengan sebutan minggu daun. Kami latihan sampai gelap datang dan hujan mulai turun. Tak ada penerangan listrik, hanya menggunakan nyala lilin. Sambil menunggu hujan reda, maka kami isi perut dengan makananan yang disediakan. Setelah hujan sedikit reda, saya pun pindah ke tepat kami bermalam selama kurang lebih satu minggu ditempat rumah ibu bidan. Rumah tersebut masih kosong, belum ditempati. Jaraknya kurang lebih 150 m dari gereja. Perjalan malam yang gelap, hanya dibantu dengan nyala lampu senter, terhenti oleh ular bisa hitam yang lewat.
Akhirnya sampailah ditempat kami menginap. Dengan nyala lampu lilin. Saya mulai meletakan semua baraang-baranng yang dibawa. Ketua lingkungan juga datang untuk meminjamkan lentera dari minyak tanah sebagai penerangan. Sungguh suatu kebersamaan masyarakat yang kompak, mulai dari ketua adat, ketua dewan stasi, ketua lingkungan dan masyarakat bahu membahu untuk tamu yang datang. Walaupun gelap dan hujan kesana kemari mempersiapakan perlengkapan yang kami butuhkan, sungguh membuat saya kagum. Sabtu itu, ketua adat juga sedang mengusahakan bantuan bahan bakar dari perusahanan untuk pelaksananan rangkaian pekan suci Paskah. Dan harapannya senin sudah sampai perusahaan dan pelaksaan tri hari suci paskah sudah ada nyala lampu.
“Kesederhanaan, kejujuran dan usaha yang bisa dilakukan untuk memberikan yang terbaik bagi yang datang tanpa mengenal lelah” Sayapun mendapat pelajaran kalau kita sudah berniat membantu orang, lakukanlah itu dengan tulus dan sampai tuntas, dan jangan pernah mengeluh.
“Perayaan Minggu Daun”
Perayaan minggu palma di desa ini lebih dikenal dengan perayaan minggu daun. Ibdat dimulai pukuli 08.00 pagi. Saya pun berangkat sekitar pkl 07.30 dengan bersamaan lonceng yang menandakan akan diadakannya ibadat di gereja. Satu persatu umat mulai datang dengan membawa daun palma. Karena saya tak membawa saya pun minta ke salah satu umat untuk minta daun palma. Dan dikasihlah saya daun palma raksasa yang selama saya mengikuti perayaan minggu palma, baru kali ini saya mendapatkan daun palma yang super besar. Maklumlah daun palma yang tumbuh di hutan daunnya besar-besar. Sambil menanti perayaan ibadat minggu daun dimulai, anak-anak, orang muda dan dewasa sibuk menganyam daun palma yang mereka pegang. Mereka menganyam dengan indah daun palma yang mereka pegang.
Perayaan minggu palma dimulai dengan khusyuk dan khidmat. Urutan-urtannya juga sama seperti yang pada umumnya gereja rayakan. Kesederhanaan dan keterbatasan, tak menghambat umat dalam ikut berperan aktif dalam melaksanakan liturgi yang ada. Petugas lektor, pemazmur, kor, doa umat, kolektan, pembawa persembahan semuanya sudah terjadwal dan tertulis di depan gereja. Umat yang datang biasanya membaca apakah mereka tugas apa tidak. Yang kebetulan tugas mereka langsung menyiapkan diri.
Selesai mengikuti ibadat minggu pagi, anak-anak sekami yang datang satu persatu diabsen oleh ketua dewan stasi. Ada 44 anak-anak sekami yang terdaftar. Ketua dewan stasi mengatakan, ajak dan beritau anak-anak yang belum datang, bahwa besok kamis kita mulai perayaan trihari suci, suruhlah mereka untuk datang. Dalam hati saya berkata,” wah sungguh indah ya, ketua dewan stasi mampu mengingatkan anak-anak yang datang untuk mengajak anak-anak lain yang hari ini tidak datang ibadat, untuk datang dalam ibadat tri hari suci.” Setiap kali selesai ibadat mingguan, pasti bapak ketua dewan stasi mengabsen satu persatu anak sekami yang datang ke gereja. Dia memegan buku absen. Bagi anak-anak yang tidak pernah datang, maka orang tua yang akan ditanyakan kenapa anaknya tidak datang. Sikap dan tindakan peduli dari hiraki gereja kepada anak-anak kecil penerus gereja yang seperti ini juga jarang saya jumpai di perkotaan.
Pengalaman pertama pimpin ibadat Tri Hari Suci
Selain berdinamika bersama penduduk kampung Aiwat, selama Tri Hari Suci, dari Kamis putih, Jumat Agung, Sabtu Paskah dan Minggu Paskah saya memimpin ibadat Sabda ketiga perayaan tersebut. Pertama kali memimpin ibadat tiga hari raya penting bagi umat katolik. Saya sempat berfikir, jauh-jauh datang ke tempat ini, lalu Tuhan menempatkan saya untuk coba menghadirkan misteri tiga rangkaian hari raya besar umat katolik, pasti Tuhan akan melengkapi apa yang menjadi segala kekurangan saya. Saya hanya berusaha dan sisanya biarlah Roh Kudus yang bekerja. Saya sungguh merasakan bagaimana karya Roh Kudus yang bekerja. Dari mulai ibadat Kamis Putih bagaimana saya membasuh kaki para rasul dan mencium kaki-kaki mereka. Saya merasakan sebuah kelegaan besar dalam pengampunan. Saya orang yang tak mudah untuk melupakan kesalahan orang yang pernah menyakiti saya. Justru saat pembasuhan itu, saya disadarkan bahwa kalau kamu mau melayani, lepaskan hatimu, bebaskan hatimu dari segala macam dendam, caci maki. Bersama setiap cucuran air yang mengalir di atas kaki yang membawa segala kotoran lalu di usap dengan sebuah kain, begitu saya, membayangkan hati yang penuh dengan luka lalu disiram dengan air, air membawa setiap luka, dan membawa sebuah kesegaran. Dan usapan kain membawa sebuah arti inilah hati yang baru. Dan kamis putih di tempat ini saya menemukan hati yang baru.
Selesai memimpin ibadat kamis putih hari berikut yaitu ibadat jumat agung. Ibadat Jumat Agung diadakan pukul 13.00. tak seperti hari-hari kamis putih ataupun sabtu paskah, umat yang hadir mengikuti ibadat Jumat Agung ini sangatlah banyak. Terlihat kekhusyukan mereka saat satu persatu umat maju ke depan untuk menghormati salib. Selama hari itu pintu gereja dibiarkan terbuka sampai tengah malam.
Umat dipersilahkan untuk berdoa atau mengadakan puji-pujian penghiburan di dalam gereja. Suasana tampak hening dan khusyuk saat jumat malam sekumpulan ibu-ibu beserta anak-anak remaja mengadakan doa pujian di dalam gereja. Tak ada listrik hanya ditemani dengan nyala beberapa lilin. Mereka menemani Yesus yang disalibkan. Ungkapan kesedihan yang mendalam terhadap Tuhan kita yang telah wafat di salib terpancar dari raut wajah mereka. Ini sungguh membuat saya tertegun dengan ketulusan masyarakat di sana.
Pengalaman sabtu paskah di tempat ini saya mengalami banyak sekali pelajaran yang bisa diambil di tempat ini. Sabtu pagi bapak-bapak dan orang muda sibuk cari pelepah daun sagu di hutan, sebgaian lagi cari kayu,ada yang cari daun serta pohon-pohon yang lainnya untuk digunakan dekor di dalam gereja.
Tak seperti di tempat tinggal saya di kota, jika untuk urusan dekor gereja, pasti diserahkan oleh ibu-ibu. Berbeda dengan di kampung Aiwat ini, semua dikerjakan oleh kaum laki-laki. Tak ada biaya yang dikeluarkan untuk beli ini dan itu karena semua bahan di dapat dari alam sekitar. Orang yang baru datangpun tanpa diperintah langsung tau apa yang harus dikerjakan. Boleh dibilang tak ada mandor, namun mereka mampu bekerja sama dan menghasilkan dekorasi yang meriah untuk menyambut Paskah di gereja mereka.
Saya pun disadarkan sering kali kita sibuk di kepanitiaan dengan berdebat masalah anggaran dekorasi, anggaran acara, dan lain sebagainya. Anggaran dikurangi kita protesnya sudah kayak anggota dewan saja. Melihat warga kampung Aiwat mempersiapkan pesta paskah, dengan menggunakan segala potensi alam yang ada, kemudian tak ada perdebatan mengenai anggaran, menegaskan bahwa untuk merayakan kemenagan Kristus mengalahkan maut, yang dibutuhkan cuma ketulusan hati. Tak usah dibuat-buat dan diada-adakan, semuanya mengalir saja dan hasilnya malam Paskah di kampung Aiwat membawa kesukaitaan tersendiri bagi setiap warga kampung di sana. Mereka habiskan malam paskah dengan ngobrol sampai tengah malam. Suka cita kebangkitan Tuhan sungguh terasa mampu mengobarkan semangat saya untuk terus melayani. Dan saya teringat dengan pesan romo Nug, bahwa misi tak akan berhenti selesai JLM, justru sepulang dari Merauke misi akan terus kita lakukan dengan aneka cara yang Tuhan tunjukan kepada kita. Apa yang saya peroleh selama berada di kampung Aiwat sungguh pengalaman yang begitu berharga. Saya tak menjadikan itu sebagai kenangan yang hanya bisa ditulis lalu dilupakan, namun sebagai nafas semangat dalam segala karya pelayanan.
- Home-icon
- KKI
- Profil KKM KAS
- Serikat Kepausan
- _Pengembangan Iman
- __Warta KKM
- _Anak dan Remaja Misioner
- __KKM KAS
- __KKM Semarang
- __KKM Surakarta
- __KKM Yogyakarta
- __KKM Kedu
- __SOMA
- _Persekutuan Misioner
- __JLM#1
- __JLM#2
- __JLM#3
- __JLM#4
- _Pengembangan Panggilan
- __Propang Kev Kedu
- __Propang Kev Semarang
- __Propang Kev Surakarta
- __Propang Kev DI Yogyakarta
- __Kongregasi
- __Warta Kongregasi
- __Warta Panggilan
- Youtube
0 Komentar