Menjadi Misionaris? Mengapa Tidak?
Oleh: Fr. Yohanes Dwi Andri Ristanto
Sebuah Perjalanan
Sebelum memutuskan untuk ikut bergabung dalam perjalanan JLM#2, hatiku merasakan sebuah kecemasan. Hal ini dikarenakan aku baru pertama kali memasuki tanah Kalimantan apalagi di bagian pedalaman. Rasa cemas karena perjalanan yang jauh dibayar dengan keindahan alam yang begitu indah. Rasa takjubku tidak hanya berhenti pada keindahan alam, tetapi berlanjut pada hati masyarakat Botong yang menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka.
Teriknya mentari Borneo melebihi panasnya Yogyakarta. Hutan tropis yang amat indah menyambut kedatangan kami menuju tanah Botong, sebuah desa di pedalaman Kalimantan Barat kira-kira 10 jam dari kota Pontianak denganmenggunakan mobil selama 5 jam disambung dengan menggunakan perahu selama 5 jam. Sebenarnya, kami bisa menggunakan sepeda motor dari Balai Berkuak ke Botong, namun karena perbekalan yang kami bawa banyak, diputuskanlah bahwa kami harus menggunakanjohnson untuk menyusuri sungai Kualan. Kami harus duduk tenang dalam perahu yang berkapasitas 10 orang supaya tidak goyang, terguling dan terbalik ketika menembus arus sungai. Ini adalah sebuah perjalanan istimewa karena dapat menikmati keindahan beserta kekayaan alam. Setibanya di Borong, adat istiadat masyarakat Botong yang begitu kental membuatku berdegup takjub melihat suasana yang belum pernah kualami selama ini. Penyambutan dengan tari-tarian dayak dan nyanyian tradisional menyambut kami para kaum muda yang menamakan diri sebagai para misionaris. Sungguh teramat istimewa karena kami ibarat tamu kehormatan yang disambut dengan segala keterbukaan.
Seteguk tuak menjadi simbol bahwa kami telah menjadi bagian dari keluarga umat Botong. Botong sebuah tempat yang jauh dari modernisasi, belum adanya listrik, signal atau network dan tanpa kemajuan zaman yang lain, membuat masyarakat bisa menikmati kekeluargaan, kebersamaan dalam bermasyarakat. Namun, di balik itu semua ancaman keserakahan manusia mulai memberikan teror kepada masyarakat di dekat desa Botong, penambangan emas tanpa izin (PETI), eksploitasi alam, penanaman sawit menjadi persoalan yang serius karena selain merusak alam juga merusak keharmonisan antar umat. Biarlah Botong tetap hidup dengan tangan mereka sendiri tanpa dicampuri oleh tangan-tangan pengepul uang. Semoga saja keharmonisan ini menjadi keutamaan daripada hidup bergelimpang harta dengan mengorbankan alam. Bolehlah kami tetap mabuk karena tuak daripada mabuk karena uang hasil eksploitasi alam.
Misionaris Dua Minggu
Pengalaman hidup selama dua minggu membuatku semakin tertegun ditengah umat Botong yang mayoritas beragama Katolik. Indah bukan hanya karena alamnya saja tetapi juga karena iman yang mereka upayakan untuk semakin mengenal Dia yang telah rela menjadi manusia. Inilah kehebatan para peletak dasar iman yang senantiasa memanggil kita untuk melanjutkan karya misi ini.Tidak ada barang-barang mewah, pesta pora, perjalanan wisata atau lainnya untuk merayakan natal. Kami menghayati kesunyian Natal dalam menyambut kedatangan Dia Sang Juruselamat. Gegap gempita natal yang selama ini saya bayangkan ternyata berbeda dengan yang terjadi di Botong. Jangan dibayangkan bahwa ketika kami, rombongan JLM#2, sampai di sana lalu tinggal merayakan misa Natal. Sesampainya di sana kami harus bersama-sama melatih koor, membuat dekorasi, melatih misdinar, dan mempersiapkan semuanya. Inilah Natal yang tidak dipersiapkan jauh-jauh hari dan bagi sayaaneh atau belum terbiasa. Perayaan natal ini sama dengan apa yang dialami oleh keluarga Kudus yang tanpa persiapan, tempat, perayaan dan keramaian menyambut kelahiran Putra mereka, Sang Juru selamat. Begitupula yang terjadi di Botong, dalam kesunyian dan kebersamaan kami menyambut Dia yang datang ke dunia.Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan misi ke tujuhstasi pra-paroki Botong untuk perayaan hari raya Natal.
Perayaan Natal ke stasi-stasi biasa disebut dengan turne. Kami mengadakan turne yang dimulai dari tanggal 26 hingga 30 Desember 2016 menuju stasi-stasi tempat di mana umat merindukan kedatangan sang gembala. Semangat membara menyelimuti benak kami dalam mengadakan turne sebagai pengalaman pertama. Semangat perjalanan lama kelamaan terkikis dengan beratnya medan perjalanan yang kami lalui. Menyisir sungai dengan perahu selama berjam-jam, menempuh perjalanan darat dengan jalan kaki minimal dua hingga lima jam membuat kaki kami memberontak untuk berhenti.
Rasa capek memang menjadi kendala untuk berjumpa dengan saudara yang lain. Namun, kebersamaan dengan teman-teman OMK yang menemani membuat kami merasa kecil bahwa kami tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang memiliki kerinduan untuk berbagi kasih dalam Natal. Satu persatu stasi kami kunjungi yang disertai dengan lelahnya fisik, pakaian penuh dengan lumpur dan rasa lelah kami satukan dalam perayaan Natal. Misa yang menjadi amat langka bagi mereka yang berdiam di stasi-stasi karena kurangnya tenaga imam. Mungkin inilah perjuangan merayakan Natal seperti yang dialami oleh Keluarga Kudus yang harus berjalan jauh untuk dapat berteduh di kandang.
Jangan bayangkan misa natal di stasi-stasi Botong seperti yang kita jumpai di Yogyakarta, disini penuh dengan keunikan. Mulai dari tata liturgi sampai dengan lagu-lagu yang dinyanyikan. Anggapan mereka ialah lagu misa yang penting ada hubungannya dengan Natal sehingga mereka bebas mengganti lagu-lagunya. Misalnya, sajalagu Kudus di salah satu stasi diganti “Gita surga bergema”dan lain-lain. Itulah keunikan natal yang perlu dimaknai dengan sebuah ketulusan hati setiap umat untuk merayakan kedatangan Sang Juru Selamat. Ini semua bukan lah kesalahan mereka, namun karena memang keterbatasan akses, ketekis dan pengajaran iman yang menyebabkan situasi yang demikian. Inilah tantangan dari kami para misionaris untuk berani membagikan pemahaman dan penghayatan iman dalam hidup menggereja.
Sebuah Kesepian
Dalam perjalanan yang sungguh melelahkan, aku bergulat dengan diriku sendiri. Hanya karena rahmat panggilan inilah yang menguatkan perjalanan. Setiap imam yang dipanggil di tempat ini tidak lagi mencari sebuah kenyamanan melainkan memberikan diri secara total untuk melayani umat yang berada di tempat yang sangat jauh dan sulit.Akumembayangkan dirikusebagai seorang imam yang setiap minggunya harus bergulat dengan medan yang tidak mudah ini. Tentu saja rasa kesepian menghinggapi diri. Kesepian karena harus berjuang sendiri mewartakan iman, jauh dari kolega, jauh dari keluarga dan lain-lain.Aku pun mengalami kesepian karena ketidaktahuan mengenai bahasa setempat, ketidaknyamanan dan kegundahan diri.
Panggilan misionaris bukan melulu soal medan karya dan tantangan dalam melayani umat melainkan pertama-tama mengenai disposisi batin diri. Aku berjuang mengatasi rasa kesepian untuk dibawa pada alam keheningan. Seluruh perjuangan itu dibawa dalam kuasa pertolongan Tuhan. Tentu saja kalau hanya mengandalkan diri maka hanya berhenti pada keputusasaan dan kesepian diri. Tetapi, kalau terbuka pada terang kasih Tuhan maka kesulitan itu disempurnakan dalam karya Roh Kudus dan dikuatkan untuk hadir dan melayani umat. Dari kesepian ini, aku memohon rahmat supaya mampu semakin terbuka pada bimbingan Roh kudus dengan membuka diri pada budaya baru, persoalan yang dihadapi umat, kebahagiaan dan kesedihan bersama umat.
Akhirnya,biarlah yang terjadi kehendak-Nya dan bukan kehendakku. Seperti halnya Maria yang berani menjawab kehendak-Nya dengan segala kesiapan atau ketidaksiapan, aku pun berani menjawab tantangan sebagai misionaris dengan segala kesepian dan ketidaksiapan untuk disempurnakan dalam terang Kristus. Mungkin itulah awal tantangan dari seorang misionaris yang mengalami kesepian.
Sikap Krasanatau at Home
Perjalanan turne selama berhari-hari memberikan banyak makna bagi diriku. Asistensi Natal ini menjadi sangat bermakna mengingat ini adalah pengalaman pertama dan baru bagiku. Kerelaan pada sebuah perutusan menjadi awal bagi diriku menghayati sebuah misi. Masuk pada situasi baru yang tidak mudah, tetapiketika didasari dengan sikap mau dan rela, semua kan menjadi baik adanya. Bagiku, apa salahnya untuk mencoba sebuah karya misi. Menikmati sebuah perjalanan yang baru membuatku mengerti artinya rumah dan suasana at home. Tentu saja jauh dari keluarga dan teman di Yogyakarta menjadi sebuah tantangan. Tetapi bagaimana kita dapat membangun suasana krasan dan menjadikan setiap medan perutusan sebagai rumah untuk mewartakan kasih-Nya. Memang tidak mudah tetapi bukankah itu sebuah anugerah yang tidak semua orang mampu melaksanakannya. Oleh karena itu, kecintaan pada perutusan misioner ini membawaku pada disposisi untuk rela dan membangun semangat krasan dengan budaya baru. Bukankah Yesus rela berjumpa dengan berbagai bangsa untuk mewartakan kasih? Mengapa kita yang telah dikarunia rahmat panggilan tidak mencobanya?
Hidup adalah suatu anugerah danpilihan. Kita tidak bisa meminta untuk terlahir dari keluarga dan di tempat yang kita kehendaki, melainkan harus mensyukuri karunia dari Tuhan. Begitupula umat botong yang menjadi salah satu anugerah hadir di tanah Borneo. Bukan untuk membandingkan dengan umat di tempat lain, melainkan lebih untuk mensyukurinya. Kita ditantang untuk memiliki pilihan menikmati apa yang sudah diberikan Tuhan dan mengembangkannya. Keguyuban, gotong royong dasar kehidupan umat Botong, sehingga setiap kegiatan maka setiap orang akan menghadirinya. Hal ini berbeda yang terjadi di Jogja dimana untuk mengumpulkan orang sangat susah, terlebih untuk acara-acara dan doa.
Inilah wujudgereja dimana umatnya berkumpul untuk bersatu tanpa mengutamakan kepentingan pribadi. Teman-teman OMK pun antusias dalam setiap kegiatan yang kami tawarkan: acara natalan bersama, acara PIA dengan bernyanyi, membuat karya kerajinan tangan dan lain sebagainya. Kegiatan perjalanan “Menapak Bumi” menjadi salah satu hal yang dilaksanakan untuk mengisi natalan OMK. Kami harus berjalan kurang lebih 4 jam menuju hulu sungai Kualan yang sungguh sangat melelahkan. Disamping menerobos lebatnya hutan, kami juga melalui medan yang tidak mudah tapi justru biasa bagi masyarakat setempat. Rasa haus diobati dengan meminum air sungai Kualan yang segar dan bening. Kegiatan ini menjadi kesadaran bagi kami untuk mensyukuri anugerah dari Tuhan melalui alam semesta, sehingga kami semua harus menjaga kelestarian alam ini.
YA pada Perutusan Misionaris
Pada akhirnya spiritualitas misionaris bukanlah soal kamu diutus ke tempat yang susah atau pedalaman, tetapi pertama-tama membangun disposisi batin untuk setia dan rela menjalani sebuah misi dengan bahagia. Hal inilah yang menuntunku untuk berkata“YA” pada setiap perutusan yang diberikan. Bagaimana dengan dirimu?Siapkah kamu memiliki disposisi sebagai misionaris seperti yang saya alami? Siapkanlah hatimu dan katakan YA pada setiap perutusan yang diberikanNya kepadamu!!! (Fr. Andri)
0 Komentar