“Ite Missa Est”
Oleh: Rm. Vincentius Yudho Widianto Pr
Kehidupan adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Kehidupan adalah kesempatan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia ini. Sebagai umat Kristiani, perwujudan Kerajaan Allah tersebut diwujudkan dengan cara mewartakan kabar gembira. Dimanapun dan kapan pun, hidup adalah perutusan untuk mewartakan kabar gembira.
Kesempatan untuk mengikuti Jejak Langkah Misioner #2 (JLM#2), saya renungkan sebagai bagian dari perutusan untuk mewartakan kabar gembira. Pengalaman ini tentu saya syukuri sebagai salah satu pengalaman untuk mengembangkan diri terus menerus. Melalui pengalaman ini, saya juga merenungkan bahwa perutusan bisa dimaknai sebagai keberanian untuk memperbaiki diri terus menerus untuk mewartakan kabar gembira. Perutusan juga harus didasari semangat kerendahan hati dan iman kepada Tuhan yang senantiasa menyertai.
Membangun Dasar yang Kokoh
Ada sebuah ungkapan bijak, “kita tidak bisa membagikan apa yang tidak kita miliki”. Dari ungkapan tersebut, saya belajar bahwa mempersiapkan diri untuk
perutusan adalah sebuah hal yang bijak. Saat ditawari untuk mengikut JLM#2, saya tidak berpikir panjang untuk menerimanya. Saat itu, saya hanya berpikir, “apa salahnya dicoba? Pasti dapat pengalaman yang baik”. Tidak pernah terpikir untuk mempersiapkan secara khusus kegiatan ini. Saya berpikir untuk datang ke Kalimantan seperti selembar kertas putih yang siap ditulis.
Setelah berdinamika dengan teman-teman JLM#2, saya menyadari bahwa kegiatan ini adalah perutusan. Saya tidak bisa datang hanya membawa badan saja, tetapi perlu juga membagikan sesuatu yang berguna. Saya mulai mencari informasi tentang tujuan kami, bertanya kepada romo-romo yang lebih tahu, pun pula mempersiapkan kondisi fisik dan mental untuk menghadapi situasi yang baru. Memang segala persiapan tersebut terkadang berefek tidak baik yaitu menimbulkan kecemasan yang tidak perlu ketika mendengar informasi dari orang lain. Perasaan tidak mampu atau persiapan tidak mencukupi seringkali juga muncul dalam proses tersebut. Meskipun demikian, segala persiapan tersebut saya rasakan sebagai sebuah langkah yang tepat.
Saya merefleksikan bahwa setiap perutusan membutuhkan persiapan yang baik. Persiapan menjadi dasar untuk memulai perutusan, sehingga perutusan bisa berjalan dengan baik. “Kemenangan adalah milik mereka yang mempersiapkan dengan baik” adalah salah satu kutipan bijak dari sebuah film yang pernah saya tonton. Saya merenungkan persiapan sebagai kesempatan untuk juga menuntut diri menjadi lebih baik. Dengan kata lain, persiapan menjadi upaya untuk memperbaiki diri terus menerus agar perutusan bisa dijalankan dengan lebih baik. Menuntut diri menjadi lebih baik itu tidak mudah karena godaan puas diri sering muncul. Butuh keberanian untuk mengalahkan diri sendiri yang seringkali merasa puas diri.
“Kami Hamba-hamba Tidak Berguna…”
Salah satu godaan besar yang saya rasakan ketika berangkat ke Kalimantan adalah semangat untuk menjadi hero. Yang saya syukuri adalah godaan tersebut saya sadari sehingga bisa diolah dan saya terus menerus mengingatkan diri untuk menjaga sikap rendah hati. Saya menjalani perutusan ini dengan semangat ingin belajar untuk menjadi lebih baik. Fakta yang terjadi dalam perutusan ini membuktikan dengan jelas bahwa saya ini bukan hero,tetapi seorang yang rapuh. Tidak ada alasan untuk menjadi tinggi hati.
Sesampainya di Pra-Paroki Santa Maria Kualan Sekayuk, Botong, saya memerlukan penyesuaian dengan situasi yang ada. Cuaca dan kondisi alam jelas berbeda dengan kondisi yang saya alami setiap hari. Pengalaman Turne menunjukkan bahwa saya bukan siapa-siapa. Saat Turne tersebut saya berkali-kali harus dibantu oleh orang lain, entah teman-teman JLM#2 maupun umat Pra-Paroki Santa Maria. Dalam perjalanan ke salah satu stasi (Siong dan Paoh), saya merasakan keletihan karena harus berjalan dengan medan yang berat. Di Stasi Siong juga, suara saya sudah mulai serak sehingga tidak maksimal dalam memimpin Ekaristi. Saat di Stasi Kek Baok, saya juga merasakan sulitnya mengendarai motor dengan jalan yang licin karena hujan. Saat pulang dari Stasi Jangat, motor saya standing karena salah persneling saat menaiki sebuah tanjakan. Pada saat itu, saya harus dibantu oleh orang lain untuk mampu menyadari kerapuhan saya.
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat saya lebih mudah mengatasi godaan untuk menjadi hero. Jika ada kebaikan yang saya bagikan, itu semua karena rahmat Tuhan yang bekerja. Saya hanya bisa berusaha semaksimal mungkin untuk membagikan yang saya miliki. Selain itu, segala kesulitan membawa sebuah permenungan bahwa rasa syukur benar-benar menjadi energi yang luar biasa. Satu peristiwa bisa dimaknai dengan dua cara, yaitu dengan mengeluh atau bersyukur. Beberapa kali saya mengeluh dan itu menghabiskan energi, sementara rasa syukur menumbuhkan optimisme dan memberi energi lebih. Tidak mudah memaknai pengalaman pahit dengan bersyukur tetapi saat sampai pada tahap tersebut rahmat Allah sudah siap tercurah. Itulah yang saya rasakan. Karena itulah, saya merasa sebagai hamba yang tidak berguna yang hanya menjalankan perintah Tuhan dalam tugas perutusan ini.
Mewartakan Kabar Gembira, Bukan Diri Sendiri
Sebelum naik ke surga, Yesus mengutus murid-Nya untuk mewartakan kabar gembira ke seluruh dunia. Perintah Yesus tersebut menjadi tugas bersama umat Kristiani. Tidak terkecuali kami yang tergabung dalam tim JLM#2. Pewartaan kabar gembira menjadi semangat yang dihayati. Mars JLM#2 secara jelas juga menunjukkan perutusan tersebut. Pewartaan kabar gembira dilakukan dengan berbagai macam cara melalui tutur kata maupun perbuatan.
Berbagai kegiatan pun dilakukan untuk mewujudkan pewartaan kabar gembira tersebut. Keterlibatan dalam persiapan Natal dengan menghias gereja, latihan koor dan latihan misdinar menjadi salah satu cara pewartaan. Ajakan untuk menjaga kelestarian alam dalam kotbah-kotbah perayaan Natal menjadi cara lain. Berbincang sembari minum tuak dan arak mengenai iman juga menjadi cara lain. Berdinamika bersama masyarakat di sana dalam kegiatan adat angkat mengangkat maupun perayaan tahun baru juga menjadi cara lain untuk pewartaan kabar gembira. Pewartaan bisa melalui banyak cara, tentang hasilnya hanya bisa kami serahkan kepada Tuhan. Tugas Gereja mewartakan dan Roh Kudus yang akan menentukan.
Secara pribadi, saya meyakini bahwa perutusan untuk mewartakan kabar gembira adalah salah satu tugas orang Katolik. Godaan yang saya alami adalah keinginan untuk mewartakan diri sendiri dan bukan kabar gembira. Godaan ini muncul dengan keinginan agar terus diingat oleh umat di sana. Selain itu, godaan ini menghadirkan godaan untuk memperhatikan beberapa orang saja dan tidak terbuka kepada semua umat. Godaan tersebut membuat pelayanan menjadi tidak optimal dan terkesan pilih kasih. Bukan hal yang mudah mengatasi godaan ini, karena keinginan dipuji, diingat dan menjadi idola seringkali muncul dengan kuat. Saat mulai muncul, saya hanya mengingat bahwa kabar gembira lah yang harus diwartakan bukan diri sendiri.
“You’ll Never Walk Alone”
Salah satu keyakinan dan harapan yang saya miliki adalah bahwa saya tidak pernah berjalan sendirian karena Tuhan selalu menyertai. Keyakinan dan harapan tersebut juga saya bawa dalam menjalani perutusan dalam tim JLM#2. Meskipun demikian, rasa takut sendiri dan ditinggalkan terkadang muncul, terutama saat perjalanan ke Siling Raja Bungsu.
Saya berangkat dengan harap-harap cemas dengan kondisi fisik karena hari sebelumnya baru saja menyelesaikan Turne. Selain itu, sore hari sebelum berangkat, saya juga ikut bermain bola. Saya khawatir fisik tidak mampu untuk berjalan sampai Siling Raja Bungsu karena informasi mengatakan bahwa jaraknya jauh. Kekhawatiran itu pun terjadi. Belum setengah perjalanan, rasanya fisik sudah mulai terkuras dan beberapa kali saya tertinggal dari rombongan di depan. Pada suatu titik, saya merasa ketakutan karena berjalan sendiri. Rombongan depan sudah tidak terlihat sementara rombongan belakang juga belum kelihatan karena menemani teman yang lain. Rasa cemas dan takut muncul sehingga saya harus memanggil rombongan yang di depan saya. Menjelang sampai di Siling, perjalanan mendaki dan saat itulah saya benar-benar kehabisan tenaga. Dalam kondisi tersebut, saya berjalan bersama Fr. Andri, Tano dan Nawie yang masih mempunyai tenaga cukup banyak. Saya merasakan kekhawatiran ditinggalkan karena memang memperlambat perjalanan, tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi.
Pengalaman itu menjadikan keyakinan bahwa Tuhan menyertai semakin kuat. Tuhan menyertai melalui teman-teman yang mendampingi, menolong maupun terkadang memberikan kritik. Keyakinan dan harapan akan penyertaan Tuhan menjadi semangat untuk membuat orang lain juga merasakan demikian. Saat kesempatan lain, saya pun berupaya hadir sebagai wujud kehadiran Tuhan sehingga orang tersebut juga ikut merasakan penyertaan Tuhan.
Perjalanan di Pra-Paroki Santa Maria Kualan Sekayuk memberikan banyak pelajaran dan refleksi.
Pelajaran dan refleksi itu menjadi bekal untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tugas yang belum selesai adalah membawa pengalaman di sana untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari meskipun di dalam situasi yang berbeda. Perutusan untuk mewartakan kabar gembira tidak berhenti di JLM#2 tetapi dimana pun dan kapan pun saya diberi kesempatan untuk hidup. Karena hidup adalah perutusan. “Ite Missa Est”. (Rm. Yudho)
0 Komentar