JLM#2 - Menjadi Utuh dengan Segala Kesederhanaanya


Menjadi Utuh dengan Segala Kesederhanaanya
Oleh: Filipus Haryo Diwangkara

Langkah Awal
Ketika saya mendapatkan tawaran untuk bergabung dengan Jejak Langkah Misioner #2, tanpa pikir panjang saya langsung menerimanya. Keputusan ini saya ambil tanpa meminta persetujuan dari orang tua saya. Saya hanya berpikir, tawaran ini merupakan kesempatan yang langka bagi saya sekaligus merupakan gerbang bagi saya untuk melihat sisi lain dari Indonesia. Saya baru memberi tahu orang tua saya setelah saya menerima tawaran ini. Jadi, mau tidak mau orangtua saya juga menyetujui keputusan yang saya ambil.

Tujuan adanya JLM adalah untuk menumbuhkan semangat misi dari dalam diri imam, biarawan-biarawati, awam, khususunya orang muda katolik Keuskupan Agung Semarang. OMK KAS diajak untuk menimba semangat misioner sebagaimana diwartakan oleh Karya Kepausan Indonesia melalui Serikat Kepausan Persekutuan Misioner. Namun, alasan dasar saya mengikuti kegiatan JLM #2 ini bukan karena saya tertarik untuk mendalami karya misi Gereja, tetapi karena saya terobsesi untuk menjelajah seluruh tanah air Indonesia.Baru dalam perjalanan, melalui berbagai pembekalan, penggalanan dana, dan berbagai kegiatan yang lain, ketertarikan terhadap misi Gereja itu mulai tumbuh dan berkembang. Setelah melalui berbagai persiapan, saya siap berangkat dengan modal 100% Katolik, 100% Indonesia.

At Home di Tanah Asing
Petualangan bersama teman-teman JLM #2 merupakan pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di pulau Kalimantan. Saya tidak mengetahui apa pun tentang Kalimantan, bahkan letak geografis tujuan misi ini juga tidak saya ketahui. Saya hanya mempunyai pengetahuan yang saya peroleh di bangku sekolah dan cerita dari beberapa orang. Kata mereka Kalimantan itu hutannya lebat, masih banyak hutan yang masih asri, tanahnya mempunyai banyak kandungan logam dan mineral,sungainya lebar dan panjang, bertanah gambut, banyak kebun sawit, dan yang paling sering aku dengar adalah gadis Kalimantan itu cantik-cantik, hehehe. Semua ini terbukti benar ketika aku menginjakkan kakiku di Botong. Botong adalah sebuah dusun yang terletak di Kel. Kualan Hulu, Kec. Simpang Hulu, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat. Desa ini berada di pedalaman Kalimantan Barat, meski demikiankita semua sudah dapat menemukan desa ini di Google Mapsdengan perjuangan yang ekstra. Di Botong, terdapat sebuah pra-Paroki St. Maria Kualan Sekayok, itulah destinasi kami.

Pertama kami datang, kami langsung disambut dengan prosesi adat dan berbagai macam tari-tarian di depan gereja. Layaknya Veronika yang mengusap wajah lelah dan letih Yesus, di sini ada wanita-wanita Botong yang membawa gelas berisi tuak sebagai welcome drink. Setelah itu, kami diantarkan menuju ke samping gereja untuk menikmati jamuan yang telah disediakan oleh umat setempat. Makanan yang disediakan sangat banyak dan belum pernah saya jumpai selama ini. Oleh karena rasa penasaran, saya mencicipi semua makanan yang saya anggap unik. Meskipun makanan yang disediakan sederhana, tapi masalah rasa tidak perlu diragukan lagi kenikmatannya.

Sambutan awal yang saya rasakan di sini sudah membuat saya merasa nyaman. Saya merasa seperti pulang ke kampung halaman saya, bahkan mungkin lebih menyenangkan dari kampung saya. Banyak orang menyambut kedatangan kami, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, bahkan juga ada kakek-kakek yang turut hadir di sana. Suasana kekeluargaan begitu kental terasa. Sapaan yang mereka berikan kepada saya begitu hangat, rasa-rasanya kerinduan saya akan sapaan yang hangat terpuaskan di tempat ini. Saya sama sekali tidak merasa bahwa saya adalah orang asing di tempat ini. Di tengah situasi itu saya teringat bahwa saya berangkat ke Botong koktanpa ada persiapan yang istimewa, yang bisa saya bagikan kepada mereka. Namun seketika itu juga, dalam hati saya langsung berkata, “Saya akan memberikan diri saya yang terbaik bagi umat di sini.”

Persaudaraan yang Tak Mengenal Tepi
Kehangatan yang saya rasakan pada upacara penyambutan selalu saya rasakan setiap saat dan setiap perjumpaan, entah itu bersifat komunal ataupun personal. Saya sungguh tertarik dengan pola kehidupan yang ada di sini. Pertanyaan saya, “bagaimana kehangatan itu bisa tercipta di tempat ini?”.Kemudian, jawabannya saya temukan dalam penggalan sebuah lirik dari mars JLM, yang bunyinya: …persaudaraan yang tak mengenal tepi....

Mars JLM ini berkali-kali saya nyanyikan, tapi maknanya baru saya temukan ketika saya pulang dari Botong. Bagi saya, penggalan lirik tersebut sudah dihayati dan direalisasikan oleh umat di Botong. Semangat persaudaraan yang mereka hidupi bukanlah hasil dari proses yang instan, tapi terlahir dari proses yang panjang. Di situ terdapat perjuangan yang tidak mudah dan butuh kesetiaan dalam menjalaninya. Saya memang tidak ikut menanam, namun saya diberi anugerah untuk merasakanhasil sangat indah secara langsung.

Sebenarnya terdapat alasan yang cukup rasional mengapa semua ini bisa terjadi. Dalam refleksi saya, hal ini terjadi karena situasi di dalam desa ini hanya terdiri dari beberapa keluarga besar dan beberapa pendatang. Jadi ikatan persudaraan itu pada dasarnya sudah tercipta karena adanya pertalian darah. Namun, hal ini tidaklah mutlak, sebab di zaman sekarang pertalian darah bisa dengan mudah dikhianati oleh berbagai kepentingan pribadi. Mereka yang telah berhasil membangun semangat persaudaraan dan menjaganya agar tetap utuh adalah mereka yang mempunyai rasa saling percaya dan menghargai satu sama lain. Bagi saya inilah resep utama yang bisa saya pelajari dari mereka.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa saya tidak dianggap sebagai orang asing di tempat ini.Pengalaman menarik yang saya alami adalah ketika saya berkunjung ke beberapa rumah umat. Kunjungan ini tidak pernah saya rencanakan sebelumnya, saya hanya berjalan-jalan dan menyapa setiap orang yang saya jumpai di jalan atau pun mereka yang ada di depan rumah. Mereka membalas sapaan yang saya berikan dengan mempersilahkan saya berkunjung ke rumah mereka. Sebenarnya hal ini merupakan suasana yang biasa terjadi di tanah Jawa, tapi semua orang sudah tahu jika tawaran itu hanya sekadar basa-basi. Namun, di sini tawaran itu merupakan undangan yang bukan sekadar basa-basi.

Awalnya saya yang tidak mempunyai niat untuk berkunjung malah mampir ke beberapa rumah. Mereka selalu berusaha memberikan makanan dan minuman yang mereka miliki meskipun sederhana, tapi yang terpenting adalah mereka selalu hangat dalam setiap perjumpaan dan menyuguhkan cerita-cerita yang menarik. “Menarik” karena saya sering kali tidak memahami konteks dan bahasanya. Pengalaman unik yang lain adalah ketika mereka melihat saya sudah mulai mengantuk, mereka membawakan bantal agar saya bisa berbaring di ruang tamu. Sebenarnya saya juga merasa tidak enak dengan tuan rumah, tapi karena aura persaudaraan itu saya menjadi merasa nyaman dan seperti di rumah sendiri.

Pengalaman perjumpaan dan persaudaraan yang begitu hangat saya rasakan pula ketika turne. Waktu itu kami melakukan perjalanan dari stasi Paoh menuju ke stasi Simbal.Perjalanan kami tempuh melalui jalan darat, menyusuri jalan setapak, membelah hutan, dan diguyur hujan yang cukup deras. Ketika melihat rumah pertama di daerah Simbal, teman-teman OMK Botong mengajak saya untuk berteduh di teras depan rumah tersebut. Awalnya saya mengira itu
rumah salah satu saudara atau kenalan mereka, tapi ternyata mereka tidak mengenal siapa pemilik rumah itu. Mereka hanya tahu pemiliknya adalah bapak-ibuk yang duduk di depan rumah. Meski demikian pemilik rumah bersikap biasa saja, tidak merasa curiga, malah memberi senyum kepada kami. Saya langsung bertanya dalam benak saya, “Kok bisa ya?”. Ya inilah yang dinamakan persaudaraan yang tak mengenal tepi. Dari sini, saya belajar bahwa ketika ada orang yang membutuhkan bantuan, saya tidak perlu mengetahui latar belakang asal, suku, agama, pendidikan, atau apa pun tentang orang itu. Bagi saya cukup mengetahui bahwa dia membutuhkan bantuan saya, maka saya akan membantu sebisa saya. Meskipun bantuan yang saya berikan itu sederhana, tapi setidaknya bisa meringankan beban orang yang menerimanya.

Kesempurnaan dalam Kesederhanaan
Pengalaman selama di Botong merupakan pengalaman yang sungguh mengagumkan. Mulai dari perjalanan menyusuri sungai, keramahan setiap orang yang saya jumpai, pertemanan yang istimewa dengan teman-teman muda, situasi alam yang masih indah terjaga, hingga keteguhan iman umat di sana, semua itu memberi pelajaran yang berharga bagi saya. Akhirnya, saya mengalami kehidupan yang selama ini saya idam-idamkan. Saya seperti mengalami secara langsung apa yang terjadi dalam sebuah gameplaystationyang sering saya mainkan saat saya masih kecil, yaitu “Harvest Moon”. Rasa-rasanya kerinduan tentang kenyamanan hidup sudah terpuaskan selama saya tinggal kurang lebih sepuluh hari di Botong.

Lebih dari itu, pengalaman-pengalaman yang telah saya alami juga merupakan kasih Allah yang menyapa saya secara personal. Saya bisa merasakan kehadiran Allah yang murah hati, dalam setiap sapaan orang-orang yang saya jumpai. Mereka selalu tampil apa adanya dengan segala kesederhanaan yang mereka memiliki untuk menemani saya berdinamika di sana. Kasih Allah yang tanpa batas itu saya rasakan dalam semangat persaudaraan yang mereka hidupi. Dari mereka saya belajar untuk selalu terbuka terhadap kehadiran orang lain tanpa menaruh rasa curiga. Yesus juga hadir ke dunia bukan untuk orang-orang tertentu, tapi hadir bagi semua orang tanpa terkecuali.

Keteguhan iman dan semangat hidup menggereja yang mereka miliki, membuat saya lebih terbuka untuk menanggapi panggilan-Nya. Di tengah situasi yang sulit mereka tetap setia untuk datang ke gereja, mengikuti perayaan Ekaristi, dan bertemu dengan Tuhan. Situasi ini jelas memberi tamparan keras bagi saya. Selama ini saya tidak begitu peduli dengan kehidupan iman saya, untuk sekadar ke gereja pun saya masih sering malas, padahal fasilitas dan situasi di daerah asal saya jelas lebih mudah. Oleh karena itu, saya belajar dari mereka untuk semakin rajin mengikuti perayaan Ekaristi dan semakin berani untuk terlibat aktif dalam kehidupan organisasi gereja. Kiranya saya bisa menjadi pribadi yang semakin utuh dengan segala kesederhanaan yang saya miliki. (Iwang)


Posting Komentar

0 Komentar