JLM#2 - “Ini Aku, Utuslah Aku!” Panggilan menjadi Seorang Utusan

“Ini Aku, Utuslah Aku!”
Panggilan menjadi Seorang Utusan
Oleh: Dn. L Andika Bhayangkara

Lajunya perahu membuatku merindu
Lamanya waktu tak membuatku jemu
Hijau hutanmu, jernih airmu
Membuatku rindu kembali padamu
Kualanmu… kualanku… kualan kita

Pengalaman perjalanan Jejak Langkah Misioner (JLM) #2 menjadi pengalaman rahmat yang sungguh aku syukuri. Perjumpaan penuh kasih, sambutan yang hangat, salam sapa persaudaraan, rasa kekeluargaan yang begitu kuat mengajakku untuk berkata, “Tuhan sungguh amat baik”. Inilah salah satu cara Tuhan menunjukkan kasihNya melalui perjumpaan dengan umat pra Paroki St. Maria Kualan Sekayok, Botong, Keuskupan Ketapang, Kalimatan Barat. Dalam kesederhanaan hidup umat Botong yang jauh dari keramaian kota dan keterbatasan teknologi yang ada, aku merasakan Tuhan hadir dan lahir kembali di sana. Perasaan haru memenuhi hatiku ketika untuk pertama kalinya mendengar nyanyian anak-anak di malam Natal yang begitu menyentuh:

Tuhan sunggoh baek, Tuhan sunggoh baek, oh Tuhan sunggoh baek
Dari manak midop sampai manak kobis, Okam salalu nyareta manak
(Tuhan sungguh baik. Dari kami hidup sampai kami mati Tuhan selalu menyertai)

Tuhan sungguh baik karena mempertemukanku dengan umat di Botong. Tuhan sungguh baik karena aku boleh belajar tentang hidup di Botong. Sebuah pengalaman rahmat boleh merayakan Natal bersama umat di pra paroki Botong, Stasi Kek Baok, Stasi Emphasi, kring Jangant, Stasi Kemundok, Stasi Siong, Stasi Paoh, Simbal dan Stasi Teluk Sandung.

Hidup untuk Hidup
Manusia yang tidak pernah bertanya untuk apa ia hidup, belumlah bisa disebut manusia seutuhnya. Seorang filsuf mengatakan manusia hakikatnya adalah mahklukbertanya. Seorang pemuda sebut saja Kirok dari stasi Kemundok melontarkan sebuah pertanyaan kepada saya, “Om...om, untuk apa Tuhan menciptakan manusia?”. Sejumlah OMK yang mendengar perkataan itu tertawa, aku pun tersenyum karena pertanyaan itu keluar dari mulut pemuda yang sedang poyon (mabuk tuak). Lalu, saya kembali bertanya, “Kalau menurutmu untuk apa Tuhan menciptakan kita?”. Dia menjawab, “Untuk bergawai (berpesta)!”, lalu kami semua yang mendengarnya tertawa bersama.


Hidup yang tidak dimaknai atau direfleksikan bukanlah hidup. Pertanyaan Kirok tersebut membuatku bertanya kembali dalam hati, untuk apa Tuhan menciptakan saya, untuk apa saya berada di pedalaman ini? Setiap orang memang perlu bertanya dalam hatinya masing-masing alasan keberadaannya, raison d’entre mereka di dunia ini. “Hidup untuk hidup” menjadi pemaknaanku ketika kembali mengingat pertanyaan Kirok, untuk apa Tuhan menciptakan saya? Saya teringat pengalaman berjumpa dengan seorang Bapak dengan kaki palsu di perempatan Kentungan, Jogja yang menjajakan koran daganganya atau seorang Ibu paruh baya dengan seragam warna ‘orange’ yang menjadi juru parkir di Jakal Km 5 serta Bapak tua dengan kayuhan becaknya membawa penumpang.


“Untuk apa mereka hidup?” Dari pengalaman perjumpaan tersebut, saya menemukan makna “hidup untuk hidup”. Mereka hidup di dunia ini bukan sekedar hidup bagi dirinya sendiri tetapi juga untuk hidup yang lain, hidup isteri atau anak-anaknya. Mereka ada, hidup, berkorban dan berjuang bagi kehidupan yang lain.

Pertanyaan Kirok menjadi obrolan dan permenungan singkat bersama dengan beberapa OMK yang pada waktu itu. Masing-masing perlu juga untuk bertanya pada diri sendiri, apa alasan keberadaan di dunia ini, untuk apa Tuhan memberikan kita hidup? Alam sekitar pra Paroki Botong memang luar biasa indahnya, kaya akan sumber daya alam, aneka hasil tambang, aneka hasil hutan dan ladang yang subur. Semuanya itu disediakan Allah melalui alam untuk hidup masyarakat. Pemaknaan ‘hidup untuk hidup’ mengajak kita untuk lebih bijak dan peka dengan alam sekitar. Hidup masyarakat bergantung pula dari ketersediaan sumber daya alam. Ketersediaan alam atau hidupnya alam juga dipengaruhi oleh sikap hidup manusia dalam memperlakukan alam. Hidup kita saat ini, bukan sekedar mencari kebahagiaan dan kesenangan demi diri sendiri tetapi perlu juga untuk memikirkan kelestarian sumber daya bagi kelangsungan hidup generasi penerus selanjutnya.

Bagaimana dengan hidupku saat ini, di tempat ini? Saya memaknai bahwa saya sedang ada di tempat yang jauh, di pedalaman hutan Kalimantan dan tentu Tuhan mempunyai maksud dan tujuan membawa sampai di tempat ini. Tuhan sungguh baik, inilah yang saya temukan dalam permenungan. Bersama umat yang dilayani ini, saya merasakan arti “hidup untuk hidup”, saya ada untuk mereka pula. Ada untuk mereka, hidup untuk mereka, umat yang mungkin nantinya akan dipercayakan untuk saya gembalakan. Rasa capek, perjalanan yang melelahkan dan berat terbayar sudah dengan keramahan umat dalam menyambut rombongan OMK dan tim JLM #2. Semangat kembali menyala ketika melihat antusiasme umat dalam merayakan ekaristi Natal. “Hidup untuk hidup” ini mengajarkan saya untuk berani berjuang dan berkorban demi hidup umat, meninggalkan kenyamanan diri dan hadir bersama umat yang membutuhkan kehidupan rohaninya.

Ite Missa Est
Panggilan setiap murid Kristus adalah menjadi utusan, mewartakan kabar baik bagi semua makhluk. Perutusan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari tugas Gereja. Perjalanan ke pra Paroki St. Maria Botong, saya maknai pula sebagai sebuah tugas perutusan Gereja, perutusan untuk belajar mengenal kehidupan iman umat di sana. Hidup dan tinggal bersama umat Botong menjadi pengalaman yang semakin menumbuhkan semangat misioner bagi saya. Perayaan Natal di Botong dan turne di stasi-stasi dengan medan yang cukup berat mengajarkanku tentang panggilan seorang murid sebagai utusan, sebagai misionaris, pergi diutus ke seluruh penjuru mewartakan kabar gembira. Ada rasa haru membayangkan bagaimana perjuangan para murid-murid utusan Tuhan memulai karya di tempat ini. “Kok ya bisa-bisanya mereka mau sampai ke tempat ini?”Saya merasa salut kepada semua pelayan sakramen baik awam maupun imam, maupun kaum religius lainnya yang dengan penuh kerelaan berkarya melayani di tempat pedalaman ini.

Botong memang cukup terpencil letaknya dari pusat kota Ketapang. Fasilitas listrik sangat terbatas mengandalkan tenaga surya (solar cell) yang hanya cukup menerangi tiga buah lampu di rumah-rumah penduduk, atau bagi warga yang cukup mampu bisa memakai genset untuk menambah daya listrik di rumah. Fasilitas smartphone jenis apa saja, jadi dumbphone karena berubah fungsi dari alat komunikasi menjadi senter dan camera saja. Tidak ada sinyal GSM maupun internet. Dari keadaan ini, saya melihat bagaimana relasi kekeluargaan terjalin cukup kuat di tempat ini. Komunikasi antar penduduk masih mengandalkan perjumpaan secara personal, saling berkunjung dari rumah ke rumah atau pengumuman di Gereja dan papan pengumuman desa. Budaya berkunjung lainnya juga dapat ditemui di rumah-rumah penduduk yang cukup mampu atau di warung, banyak anak-anak pun orang tua berkumpul di sana, menikmati tayangan televisi bersama-sama.

Dari keterbatasan fasilitas dan lingkungan yang terpencil ini, mengajarkan saya bagaimana persaudaraan sejati dibangun yakni melalui budaya perjumpaan secara personal, door to door, heart to heart. Tanpa perlu mengkritik atau mencacat pengaruh arus perkembangan dan modernitas yang ada, tanpa adanya sinyal saya merasakan kedamaian di tempat ini, merasakan aura persaudaraaan dan kekeluargaan yang cukup kuat di antara penduduk masyarakat. Terbersit pula pikiran bagaimana jika sinyal HP merambah masuk ke tempat ini, tidak sedikit banyak akan berpengaruh dalam hidup bermasyarakat.

Perayaan natal menjadi momen untuk berkumpul kembali bersama keluarga di Botong. Anak-anak yang menempuh studi belajar di dalam dan luar kota Balai Berkuak ataupun di Jawa akan pulang merayakan natal bersama keluarga. Kebahagiaan umat merayakan natal bersama keluarganya juga saya rasakan di tempat ini. Mungkin kebahagiaan yang sama juga telah dirasakan oleh para misonaris yang pernah berkarya di tempat ini, menemukan kegembiraan bersama keluarga-keluarga baru umat di tempat yang mereka layani. Saya sungguh merasa senang dan bersyukur boleh mengalami menjadi seorang misionaris meski pun hanya sekitar dua minggu saja di tempat ini.

Pengalaman perjalanan turne untuk pelayanan perayaan natal di pra paroki Botong ini, menyadarkan saya akan panggilan murid untuk di utus, ite misa est. Panggilan perutusan yang mungkin tidak selamanya mudah, mendaki gunung, menuruni lembah, berjalan ataupun menyusuri sungai berjam-jam untuk melayani sakramen bagi umat, namun satu yang harus tetap diyakini bahwa Tuhan selalu menyertai selamanya (Mat 28:19-20). Tuhan sungguh baik telah memberikan pengalaman kegembiraan natal bersama umat di sini. Yesus telah lahir kembali di Botong, di hati setiap umat di sini, dalam kesederhanaan hidup mereka, di dalam perjuangan dan usaha keras mereka dan di dalam kegembiraan serta keramahtamahan menyambut setiap orang yang datang. Yesus lahir pula di hatiku, kegembiraan dan sukacita yang aku rasakan ini pulalah yang akan aku wartakan, kegembiraan menjadi utusan, melayani umat di pedalaman.

“Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?”
Maka sahutku, “Ini aku, utuslah aku!” (Yes 6:8)

Posting Komentar

0 Komentar