Menempati rumah salah satu umat di Desa Pendhem merupakan menu utama dalam SOMA 3 ini. Baik peserta remaja, pendamping, maupun panitia mendapatkan porsi yang sama. Begitupun dengan saya, yang bertugas sebagai panitia penyelenggara acara sekaligus mendampingi peserta dalam setiap proses kegiatan SOMA ini. Berbagi Ceria dalam Bhineka sebagai semangat dan tema kegiatan menuntut semua memahami arti pentingnya berbagi, berbela rasa dan “srawung” dalam hidup bermasyarakat.
Kondisi lingkungan fisik di Desa Pendhem sangat berbeda dengan keadaan yang dialami kebanyakan peserta di daerah masinng-masing. Cuaca panas, berdebu dan kering sudah tentu membuat kami merasa malas keluar dari rumah tinggal kami. Namun berbeda dengan masyarakat sekitar yang berjuang dengan gigih tetap bersahabat dengan alam meskipun alam kurang begitu bersahabat untuk saat ini.
Saya tinggal di kediaman Mbah Tomo yang memiliki nama lengkap Tarsisius Sutomo seorang kakek berusia 82 tahun. Beliau hidup didampingi istri setianya Mbah Tiyem (Theresia Sutiyem), berdua menceritakan kisah perjuangan hidup mereka dari awal masuk Katolik hingga sekarang menjadi warga panutan di lingkungan setempat. Mbah Tomo lahir pada masa perjuangan persiapan Kemerdekaan RI, tahu benar masa-masa sulit saat itu bahkan kondisi keluarga beliau tergolong keluarga miskin yang tak mampu membeli bahan pangan yang cukup mahal. Beliau seorang anak petani miskin yang bertahan hidup dengan “ngenger” atau numpang di keluarga kaya sebagai pesuruh. Berikut saya ceritakan perjuangan hidupnya yang cukup inspiratif.
Awal menjadi Katolik
Konon warga Pendhem sebagian besar menganut aliran kepercayaan “Kejawen”. Begitu juga mereka, yang menganut kepercayaan tersebut karena tradisi. Suatu ketika Tomo kecil sedang menggembalakan ternak, dari jauh terdengar lagu Gloria, Ia kagum dan sangat menikmati alunannya. Ternyata asal suara tersebut dari sekolah Kanisius yang dilaksanakan di salah satu rumah umat diselenggarakan oleh Pastor Belanda. Tomo Kecil ingin ikut belajar di sana dan menjadi Katolik pada akhirnya. Rumah Tomo berdekatan dengan rumah Tiyem, dimana Tiyem kecil juga tertarik dengan ajaran katolik, namun orang tua Tiyem melarangnya masuk memeluk agama Katolik. Tiyem tahu persis siapa Tomo yang dengan gigih berjuang untuk tetap bisa sekolah sambil bekerja di usia yang masih kecil.
Perjuangan untuk hidup
Tomo tumbuh sebagai murid yang cukup berprestasi, namun sayang sekali terputus di tengah jalan karena masalah biaya yang tidak bisa dipenuhi oleh orang tuanya. Beranjak remaja, Tomo pergi ke Salatiga bekerja pada Juragan Kertas etnis Tionghoa sebagai pegawai toko. Berkat kejujuran dan kepandaiannya, ia dijadikan tangan kanan di toko tersebut yang mengelola urusan keuangan , bahkan ia dianggap sebagai kerabat di hadapan teman-teman juragan tionghoa tersebut. Perkembangan usaha berjalan dengan baik hingga suatu ketika Juragan tersebut mendirikan kongsi perusahaan yang bergerak di bidang Seni. Tomo muda dipercaya menjadi pengawas pegawai dan memasarkan produk perusahaan tersebut. Namun tampaknya kongsi tidak berjalan lancar karena partner usaha Juragan tersebut terjebak dalam dunia perjudian. Perusahaan pecah kongsi dan dipasrahkan seutuhnya ke Tomo muda untuk mengelola semuanya. Namun sekali lagi perusahaan tersebut gulung tikar, akhirnya dengan sisa uang yang ada, Tomo pulang kampung.
Membangun Keluarga Katolik
Di Desa Tomo kembali dipertemukan dengan Tiyem yang rupanya selama ini menanti kabar dari Tomo. Tanpa banyak pertimbangan, Tomo meminang Tiyem dengan pertanyaan “ Maukah kau membangun keluarga Katolik denganku? “ Tiyem bersedia dan akhirnya dibaptis secara Katolik setelah sekian lama menanti. Beberapa saat Tomo menganggur dan hanya membuat lukisan di rumah, justru hal ini membawa Berkah dalam hidupnya. Seorang Bruder Belanda mendatangi Tomo dan mengajak Tomo ke Semarang menemui seorang pastur Belanda yang mengampu Yayasan Sugiyo Pranoto. Ternyata Tomo diberi modal usaha yang cukup besar untuk mendirikan usahanya kembali. Berbekal semangat dan percaya bahwa “ Tuhan selalu memberi Mujizat dan berkat pada kita” maka ia mendirikan usaha Kartu Natal di daerah Salatiga. Usahanya lancar dan maju, hingga memperoleh keuntungan yang baik dan bisa menyekolahkan anak-anaknya di desa. Sebagai orang yang sukses, ia memiliki Nazar bahwa tiap ada kematian di desa Pendhem, semua biaya pemakaman ditanggungnya dengan ditukar dana pralenan setelah pemakaman usai. Pemikiran yang cukup sederhana, bahwa jarang ada yang siap dana untuk mengurus biaya pemakaman.
Pergulatan dan Pertobatan
Namun sekali lagi usahanya harus berakhir karena pemberontakan G30SPKI. Ia memulai usahanya kembali dari titik nol, dikaruniai 9 anak, Ia harus berjuang mencukupi kebutuhan keluarga dimana pendidikan anak-anaknya adalah yang utama. Pak Tomo pergi ke Jakarta dan menjual Gorengan di depan perkantoran. Dalam ketekunannya, beliau berusaha mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Cobaanpun datang menghampiri, kejenuhan dan keputus-asaan membawa Pak Tomo lari mencari jalan pintas melalui berjudi, kemenangan membawa Pak Tomo dalam kegelapan, sehingga lupa dengan tanggungjawabnya. Lama tak ada kabar, Bu Tiyem dan anak sulungnya menyusul ke Jakarta membantu usaha gorengan Pak Tomo. Kesetiaan dan kesabaran bu Tiyem membawa Pak Tomo menuju ke pertobatannya kembali sampai sekarang. Mbah Tomo tidak lagi berjudi, bahkan merokok.
Saat ini semua anak mbah Tomo sudah mapan dengan pendidikan yang baik, bahkan mbah Tomo dipandang sebagai keluarga yang terpandang, berhasil dalam membina keluarga Katolik.
Prinsip hidup yang bisa dipelajari adalah :
- Kejujuran. Jujur akan membawa kita pada keberkahan. “Sing temen bakal tinemu, sing salah bakal seleh” . Sebagai pribadi yang jujur maka kita akan mendapat kepercayaan dalam hal apapun.
- Beriman. Beriman dengan percaya akan Tuhan. “Tuhan selalu memberi kita mujizat, asalkan kita percaya dan yakin pada kehendak-Nya”
- Memegang janji pernikahan, menghormati wanita sebagai sosok pendamping yang setia dan menguatkan. “Wong lanang ojo nganti moro tangan marang bojone”, “ Wong wadon kudu isa ngalah yen durung ana titi tinemu” , hendaklah semua perkara diselesaikan dengan kasih secara dialogis.
- Pendidikan adalah nomer satu, karena itu adalah warisan yang tak pernah habis diberikan orangtua kepada anak-anaknya
Penulis :
Angga Rustam Rinjaya
0 Komentar