JLM#1- JALAN SALIB BUNDA MARIA


9. JALAN SALIB BUNDA MARIA

Bukan jalan halus dan lurus yang dilalui, bukan pula jalan indah dengan hamparan bunga yang terhampar di kanan dan kiri jalan. Ini adalah jalan salib yang dilalui oleh seorang wanita perkasa yang mau tidak mau harus merasakan pahit dan getirnya hidup dengan kerikil tajam yang melukai kakinya. Wanita itu adalah seorang wanita muda yang harus rela dicerabut dari kemudaannya, ia harus beranjak dari nyamannya kebersamaan dengan teman sebayanya; ia berjuang mengakrabi penderitaan yang terasa menyayat hati.

Perjuangan jalan salib ini adalah perjuangan dengan banyak pengalaman dan dinamika batin yang terus bergejolak dalam hati. Dinamika batin itu membentuk mosaik perasaan yang tersusun dengan indah dengan banyak warna dan gambaran kehidupan. Mosaik itu berisikan perasaan sedih, kecewa, duka, dan lara, namun tak dapat disingkirkan akan adanya kehadiran harapan dan cinta yang terjadi dengan begitu alami tanpa ada polesan berlebih yang justru akan membuat rasanya menjadi tak sedap; tidak nikmat dan justru membuat muntah.

Saya ada dalam perjuangan wanita itu, wanita muda yang berjalan tertatih dengan seorang bayi yang tergendong damai dalam pelukan lembutnya. Saya ada disana bukan sebagai pemeran utama atau bahkan pemeran pembantu, saya adalah penonton yang ada dalam perjalanan itu. Penonton yang hanya mampu mengamati tanpa ada banyak hal yang bisa saya bantu, saya justru banyak membatin dalam hati akan apa yang saya rasakan; akan kekagetan, akan kekecewaan, dan akan perasaan lain yang saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa dengan situasi yang ada.

Saya menyandingkan perjalanan wanita muda itu sebagai perjalanan jalan Salib Maria yang diwarnai dengan kekagetan akan perutusannya, diwarnai akan kesedihannya sebagai seorang wanita muda dan ibu yang membesarkan seorang Putra Allah yang harus mati dalam tragis. Ia harus melihat anaknya menanggung beban tanpa ia bisa berbuat banyak akan duka yang dirasakan, ia hanya bisa menangis tanpa daya untuk menolong anak yang ia sayangi. Perjalanan itu tidak lagi terjadi di tanah Israel atau Betlehem melainkan di tanah Borneo, tanah yang kini tak lagi perawan, tanah yang mulai dirambah dengan rakusnya tanpa melihat bagaimana perasaan Sang Bunda sendiri.

Perjalanan bersama dengan Bunda Maria di Tanah Kalimantan layaknya perjalanan jalan salib yang harus melewati beberapa perhentian dengan dinamika dan pengalaman yang amat beragam. Perajalanan itu diawali dengan perjalanan melawan arus sungai Kualan, layaknya Bunda Maria yang harus melawan arus perjalanan hidupnya. Ia harus melawan egonya, melawan rasa tak terimanya akan perutusan menjadi seorang ibu juru selamat. Bunda Maria harus rela melawan kenyamanan hidup sebagai seorang wanita muda, ia harus rela meninggalkan ranum dirinya dan beranjak untuk membesarkan bayi yang “tiba-tiba” saja ada dalam perutnya yang masih perawan. Perjalanan melawan arus sungguh saya rasakan dalam kesempatan untuk mengarungi sungai kualam selama tujuh jam. Arus sungai yang cukup deras adalah satu kesempatan perjuangan sendiri untuk dilalui, perjuangan itu harus diwarnai dengan panasnya terik matahari, dan kelok sungai yang datang silih berganti hingga riam sungai yang semakin dangkal. Beberapa kali kami harus mendorong perahu agar perjalanan bisa berlanjut. Saya menghayati perjalanan melawan arus ini sebagai saat bagi saya untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini saya rasakan, saya diajak untuk mencoba tantangan baru. Saya diajak untuk menemukan mutiara tersembunyi yang masih tertutup rimbunnya pohon besar kaliamantan dan derasnya aliran sungai. Saya mencoba untuk meneladan Bunda Maria yang harus meninggalkan kenyamanan hidupnya dengan cara meninggalkan kenyamanan merayakan Natal di Jawa dengan segala fasilitas yang ada. Saya harus beranjak dari kenyamanan saya untuk melawan arus demi perjalanan ke hulu kehidupan, semoga perjalanan ini memberikan pengalaman dan makna yang lebih besar bagi saya.

Saya menikmati sungguh perjalanan selama tujuh jam di perahu sebagai gambaran hidup saya yang kerap kali diwarnai dengan kelak-kelok kehidupan, kadang saya berbelok arah, kadang saya mundur selangkah atau dua langkah, dan kadang saya juga berhenti karena rasa lelah yang datang mendera. Saya juga harus menyadari betapa seringnya saya terjatuh dan kandas dalam perjalanan panggilan dimana saya harus rela basah dan mendorong kapal saya dengan sekuat tenaga agar kapal yang saya tumpangi dapat berjalan kembali. Dalam perjalanan tujuh jam ini saya juga diajak untuk mengasah rasa-perasaan saya berhadapan dengan kerakusan manusia yang tengah memperkosa “Ibunya” sendiri. Pengalaman menyiksakan banyaknya mesin dompeng yang dengan sekuat tenaga merusak alam adalah gambaran anak-anak yang dengan nafsu bejatnya memperkosa ibu mereka hanya demi pundi-pundi rupiah tanpa melihat bagaimana Bumi menangis karena kelakuan manusia. Saya bertanya-tanya, “dimana warga Dayak yang katanya menjadikan tanah dan hutan sebagai ibu mereka?” Ada dinamika batin yang begitu mengganjal karena tingkah manusia ini, yang tanpa ampun merusak alamnya, membuat hutan tak lagi rimbun dan sungai tak lagi jernih. 

Perjalanan selanjutnya adalah perjalanan perjumpaan dengan umat di Kualan Hulu, umat yang begitu menantikan kehadiran seorang pelayan, umat yang dengan kesederhanaannya terus berharap akan alam yang terus asri dengan sungai jernih dan bukit yang hijau. Perjumpaan ini layaknya perjumpaan Bunda Maria dengan Elisabet, seorang wanita tua yang dalam kesalehannya terus menantikan kehadiran buah hati dalam pernikahannya dengan Zakaria. Elisabet adalah gambaran umat Botong yang begitu gembira atas kedatangan saudara jauh hingga hatinya terus bergejolak untuk selalu menyunggingkan senyum dengan sapaan yang begitu hangat. Di sana ada harapan dan suka cita yang terus mengalir dengan segarnya, layaknya sungai Kualan yang masih jernih dengan kilau emas yang menjadi hiasan alaminya.

Dalam hati saya berujar, “Siapakah aku ini hingga mereka menyambutku seistimewa ini?”, sama seperti Elisabet yang bertanya pada Maria, “Siapakah aku ini hingga Ibu Tuhanku datang mengunjungiku?” Saya merasa tak berhak menerima sambutan yang begitu spesial dengan tari-tarian, potong buluh muda, dan minum tuak. Namun pada akhirnya saya menyadari bahwa inilah cara umat Botong menyambut kami, sama seperti Yohanes kecil yang menyambut Yesus dalam perut Maria dengan cara melonjak kegirangan. “Saya tak boleh menyakiti mereka”, itulah ungkapan yang muncul dalam hati saya di setiap tegukan tuak yang saya minum tepat di depan Gereja St. Maria Kualan Sekayo, sebagai ungakapan syukur dan terimakasihku.

Bunda Maria terus melanjutkan perjalanannya dalam dinamika yang amat wajar, ia tinggal bersama dengan Yusup suaminya yang juga harus turut serta mencicipi keterkejutan akan apa yang terjadi pada tunangannya. Ia belum menyentuh Maria namun wanita itu justru telah hamil. Ia tak terima, ia ingin berlari dan meninggalkan Maria karena kekecewaan yang terasa begitu menyakitkan. Yusup merasa dihianati oleh wanita yang ia cintai, namun di sinilah Tuhan Allah berkarya; Ia hadir pada Yusup untuk menyadari karya Allah yang tengah bekerja pada diri manusia. Kehadiran Allah lewat Malaikatnya pada Yusup adalah gambaran kehadiran Allah pada diri umat di Botong, umat yang hidup di pedalaman Kalimantan dengan banyak keterbatasan yang harus dialami. Mereka tak mengeluh, mereka tak berlari, mereka terus setia dalam perjungan iman yang tak mengenal batas. Mereka adalah gambaran kesetiaan dalam kesederhanaan, kesetiaan yang amat tulus tanpa ada tuntutan dan syarat yang neko-neko. Umat di Botong terus berkajang dalam keyakinan iman yang terwujud secara nyata dalam sikap yang tegas menolak pertambangan emas dan perkebunan kelapa sawit. Mereka tetap setia dengan janji Allah yang akan memberikan berkat dengan cara tetap menjaga alam agar terus asri dan memberikan rejeki dari keasriannya.

Seperti Maria dan Yusup yang hidup secara wajar, umat Botong pun hidup dan berdinamika dalam hal yang amat biasa. Mereka mencuci di sungai, mereka pergi ke ladang, mereka menoreh, mereka memberi makan dori (babi-bahasa Kualan) di pondok, atau bahkan saat mereka menyesap arak dan tuak dalam kebersamaan. Mereka hidup dalam keseharian yang amat biasa, tidak ada yang luar biasa dalam kehidupan harian mereka. Akan tetapi ada nilai yang terus mereka perjuangkan; nilai kesetiaan dan kearifan yang tanpa tepi sama seperti Maria dan Yusup yang dengan setia menjaga dan merawat Yesus dalam dekapan dan belaian lembut.

Jalan salib Maria dilanjutkan dengan perjalanannya bersama dengan Yusup yang harus meninggalkan kenyamanan menuju Betlehem untuk menghadiri sensus penduduk. Mereka harus berjalan dalam kondisi Maria yang tengah hamil tua, perjuangan semakin terasa kala Maria mulai kesakitan karena hendak bersalin dan tak ada penginapan yang mau menerimanya. Perjalanan ini layaknya perjalanan kami dalam tourne Natal, disana kami harus bersama-sama menyusuri keruhnya sungai Kualan dan membelah rimbunnya rimba Borneo. Kami bersama-sama dalam satu langkah membawa bayi Yesus dalam dekapan kami masing-masing, mencoba untuk menghadirkannya di tengah umat stasi yang amat merindukan kegembiraan Natal. Kegembiraan itu justru amat terasa dengan alunan suara burung, deru mesin Johnson, debur arus sungai, dan tentunya celoteh ceria Orang Muda yang turut serta dalam rombongan. Saya merasakan kegembiraan yang begitu membuncah dalam hati atas kesempatan yang begitu “mahal”, akan Natal yang amat bermakna; Natal yang berhiaskan rimbunnya pepohonan, bukan Natal biasa yang hanya dihias lampu warna-warni dan hiasan pohon plastik.

Kesempatan tourne selama tiga hari (28-30 Desember 2015) bagi saya adalah kesempatan untuk berjumpa dengaan realita umat secara konkrit dengan harapan dan mimpi yang bertahta dengan indah di sana. Realita konkrit itu mengarahkan saya pada kesadaran bahwa tak semua umat Katolik di Paroki Kualan Hulu sungguh menghayati imannya dengan langkah laku yang nyata. Mereka mengatakan diri mereka Katolik namun nyatanya dengan rakus mereka turun ke sungai, menyalakan mesin dompeng, dan berjibaku dengan lumpur agar kilau emas masuk ke kantong mereka; menjadi pundi-pundi kekayaan yang sebenarnya tidak akan dibawa mati. Semoga suatu saat nanti Allah berkarya dalam diri mereka agar mereka tak terus menerus merusak keperawanan Kalimantan hanya demi kenyaman sesaat saja.

Kebersamaan dengan Orang Muda selama tourne pada akhirnya mengajak saya pada rasa syukur penuh pengharapan. Saya merasakan harapan yang terpancar lewat mimpi dan cita-cita agar bumi Kalimantan tetap indah demi masa depan yang terus indah. Merekalah harapan Orang tua, harapan Gereja, dan bahkan harapan Dunia agar bumi ini menjadi tempat yang nyaman untuk hidup. Di tangan merekalah karya Allah yang besar ini berada, merekalah ujung tombak agar Borneo menjadi tempat yang ramah untuk kembali; kembali merasakan legitnya durian, khasnya mentawak, dan segarnya langsat. Kita punya tanggung jawab untuk menjaga mimpi itu, agar mimpi itu terus hidup dan suatu saat nanti dapat menjadi realita yang tak hanya sekedar imaji.   


Mimpi anak-anak semakin saya rasakan saat anak-anak saya ajak untuk menceritakan mimpi dan cita-cita yang mereka miliki. Harapan itu makin besar dengan mimpi yang begitu besar, inilah benih yang harus dijaga dan dipupuk agar anak-anak itu dapat tumbuh menjadi bintang dalam keluarga agar mereka tak tergeser oleh derasanya budaya modern yang tidak bisa mendidik generasi muda. 

Kegembiraan perjumpaan itu nyatanya harus segera berakhir karena Sang Bunda harus kembali merasakan realita hidupnya kembali, ia harus kembali pada rasa sakit yang terasa amat sangat karena ia harus melihat dengan mata kepala sendiri anaknya yang amat ia kasihi harus mati di kayu salib. Ia menangis melihat dirinya tak berdaya dalam kesengsaraan putranya yang harus menanggung beratnya salib. Kesedihan itu kami temukan dalam padangan yang amat memilukan, Sang Bunda harus rela dirinya diperkosa hanya demi sebongkah kilau emas. Tanah dan hutan yang adalah ibu masyarakat Kalimantan harus rela dirinya digerus dengan begitu beringas dengan mesin yang terus meraung raung. Mesin itu seperti sekelompok perompak yang tengah menodai seorang perawan hanya demi kenikmatan sesaat saja.

Sang Bunda harus mengakhiri jalan salibnya dengan cucuran air mata berwarna keruh yang mengalir deras dari pancaran matanya yang nanar kala para lelaki perkasa mulai mendompeng dengan otot tangan dan bahu yang menghitam. Ia tak bisa berbuat banyak untuk menjaga dirinya, ia tak punya daya untuk membela diri dari tangan perkasa yang terus merangsek masuk hingga seluk-beluk rimba, mencari butir-butir emas yang kilaunya membuat mata nanar dengan nafsu yang terus membara.


Perjalanan dengan Sang Bunda harus berakhir dengan perpisahan yang terasa begitu berkesan dalam hati.  Kami tak lagi pergi sebagai seorang tamu yang datang dari jauh, kami justru pergi sebagai keluarga yang akan selalu dinanti untuk kembali lagi. Kami berpelukan dan bersalaman dengan doa agar suatu saat mata kami dapat kembali saling menatap dan bibir kami dapat saling berbagi kisah hidup sambil minum kopi di lantai rumah yang terbuat dari susunan kayu belian dan beratap kayu lapis. Kami berpisah di tempat kami pertama bertemu; jembatan gantung yang membentang di aliran sungai Kualan. Terimakasih Kek Barek atas segala hal yang sudah dipersiapkan dan atas kesempatan ikut menoreh, Bang Husin yang menyediakan tempat untuk beristirahat. Kek Gari yang selalu mengajak untuk minum kopi. Terima kasih OMK yang dengan keceriaan selalu menemani kami melewati hari-hari yang sangat indah: Marlen dengan kecerewetannya yang menghibur, Heri yang pertama kali mengajari mandi di Sungai, Bang Jali yang dengan kesungguhan hati mengantar kami mengarungi derasnya sungai Kualan, Kakak  Weni yang hadir dengan senyuman lembutnya, Bang Korsen dengan kesetiaannya mengantar kami makan, Viktor yang begitu bersemangat tanpa pernah mengeluh, Anna yang sudah memberikan kenang-kenangan Krepeh. Vio dan Hendri yang sudah memberi kenang-kenangan Taring Babi Hutan, Robel yang selalu berbicara sambil tertawa, Rudi yang sudah mencarikan Gelang untuk oleh-oleh. Dan teman-teman OMK: Dadin,  Pandu, Rosa, Kemuning, Neneng, Santi yang selalu hadir dimanapun kami berada. Bramana yang mengajari saya untuk selalu mencintai alam. Terimakaasih banyak Botong, semoga selalu jernih airmu dan rindang hutanmu.
Balai Berkuak, Hari Anak-Anak Misioner, 03 Januari 2016

Fr. Markus Juhas Irawan

Markus Juhas Irawan adalah frater Tingkat IV di Seminari Tinggi St Paulus Kentungan. Frater Juhas adalah Frater Projo Keuskupan Purwokerto. Fr Juhas berasal dari paroki St Yoseph Sidareja, Keuskupan Purwokerto. Frater yang gemar memasak, menulis cerpen, dan bertanam sayuran ini memiliki motto hidup “Hidup yang menghidupkan”

Posting Komentar

0 Komentar