JLM#1 - DON’T JUDGE THE BOOK BY IT’S COVER


5. DON’T JUDGE THE BOOK BY IT’S COVER 

“Lestari Alamku, Lestari Desaku
Dimana Tuhanku,menitipkan aku
Nyanyi Bocah - bocah, dikala purnama
Nyanyikan pujaan untuk Nusa”.

Penggalan lirik lagu ciptaan Alm.Gombloh tersebut mungkin terinspirasi dari Botong. Botong salah satu di desa kecil Kualan Hulu yang ada di dalam Pedalaman pulau Kalimantan, tepatnya Kalimantan Barat.

Tidak perlu saja menceritakan Botong itu seperti apa, karena begitu banyak hal-hal yang menarik dari tempat itu. Semua yang dibutuhkan untuk kehiduan manusia terpenuhi ditempatmu. Kebutuhan makan dan minum sudah disediakan secara alami oleh alam sekitar.

“Don’t Judge The Book By It’s Cover”. Kalimat tersebut langsung terlintas dipikiran saya, ketika pertama kali menginjakkan tanah di Botong. Pada awalnya saya dibayangi oleh pikiran cemas dan takut. Juga perasaan cemas ketika berada di Botong seakan hilang dalam sekejap. Rasa rindu dengan orang di rumah karena ketiadan sinyal Hp sedikit menguar melihat sambutan yang sangat ramah dari mereka. Kedatangan kami dalam rombongan Jejak Langkah Misioner seperti sudah dinantikan oleh mereka.

Sejak hari pertama kami datang sudah disambut seperti keluarga sendiri. Seperti mereka menantikan kedatangan anak-anaknya yang pulang setelah pergi jauh. Senyum alami dari wajah mereka menyambut kehadiran kami. Selama beberapa hari kami tinggal di Botong, kami di ajak untuk melihat dan merasakan, bagaimana kehidupan mereka sehari-hari. Baik kehidupan untuk jasmani maupun rohani. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang bagi saya pribadi sangat berarti untuk mendapatkan kebutuhan jasmani dan rohani. Demi Ekaristi mereka rela dan ikhlas untuk berjalan melewati hutan belantara, jalan tanah yang licin, naik turu bukit. Walaupun disana sudah banyak yang memiliki sepeda motor, tapi bagi saya tetap butuh perjuangan yang berat. Tidak ada keluhan bagi mereka dengan semua itu. Saya pun sempat membandingkan dengan diri saya. Saya yang berada di tempat yang begitu di mudahkan segalanya masih sering mengeluh.

Beberapa hari tinggal di Botong sedikit mengurangi beban yang ada dalam pikiran saya selama ini. Rasanya nyaman, tentram, dan damai tinggal di Botong. Makan tinggal makan dengan hasil kebun dan ternak sendiri.Mandi pun di kamar mandi yang begitu luas, bahkan kalau malam atapnya berhiaskan bintang-bintang.

Tanpa adanya sinyal Hp membuat semakin akrab, rasa persaudaraan satu sama lain. Benar-benar saya seperti di ajak dengan mesin waktu mundur jauh ke belakang. Di mana teknologi belum begitu menjadi kebutuhan pokok saat ini.

Berdinamika dan berproses bersama orang muda katolik (OMK) di Botong menambah pengalaman iman bagi saya yang awalnya kita saling belajar tetapi secara tidak langsung merekalah yang mengajari kita. Mempelajari tentang arti persaudaraan, mengajari bagaimana hidup tanpa keluhan, tanpa kegalauan, bahkan sering juga mereka memunculkan ide-ide yang tidak terlintas/ terpikirkan oleh kami.


Tetapi memang “Tiada Gading yang Tak Retak”. Walaupun hidup mereka nyaman, mereka seakan terlena dengan kenyamanan. Kebiasaan-kebiasaan yang bagi mereka sudah menjadi tradisi, contohnya minum tuak atau arak, yang begitu jelas akan berdampakburuk bagi mereka. Dimana pun kami berjalan ada saja yang mabuk, dan itu terjadi hampir tiap hari entah siang atau malam. Kebiasaan tersebut tidak akan hilang, sudah menjadi bagian tradisi bagi mereka.

Ada juga kebiasaan nonton bersama sinetron di TV, bukan masalah sinetronnya tapi kami melihat beberapa anak muda mulai terpengaruh dengan gaya hidup yang ada dalam tayangan tersebut. Terlebih juga menyita waktu belajar, karena memang salah satu keprihatinan untuk Botong adalah budaya membaca. Banyak dari mereka yang beranggapan sudah nyaman dengan hidupnya,asalkan bisa makan dan minum mau apa lagi, toh semua sudah diberikan oleh alam. Seakan tidak mau beresiko atau memang sudah mentok seperti itu.

Tapi itulah Botong, ada yang mengenang berada di zona nyaman, ada juga yang mencoba keluar dari zona tersebut untuk menambah pengalaman hidup yang lebih berarti. Memang untuk kondisi ekonomi (walaupun dengan tampilan dari luar seperti itu) di bandingkan dengan daerah kami, mereka jauh di atas kami. Seperti kami merasa tinggal di desa penuh ceria. Salut dengan warga Botong yang gigih mempertahankan dan menjaga keutuhan alamnya dari orang-orang yang hendak mengeksploitasi untuk keuntungan sendiri. Juga untuk semangatnya, semangat kebersamaan, semangat untuk berjumpa dengan Kristus dan semangat untuk hidup berdampingan dengan alam. Walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan mereka tetap kuat dan bersemangat.

Teruslah pertahankan jernihnya Sungai Kualan
Terima kasih sudah diterima menjadi bagian dari keluarga besar Pra Paroki Botong
Terima kasih sudah diberi kesempatan untuk berproses dan berdinamika bersama warga Botong.
Terima kasih sudah mengajari kami arti persaudaraan sejati.Teman saya berkata, “Hidup ini susah,kalau mudah pasti ada yang salah”. Tapi di Botong, “Hidup ini indah, kalau tidak indah pasti ada masalah.”
Singkatnya tulisan ini karena waktu kami juga terasa singkat berjumpa dengan warga Kualan Hulu.
Akhir kata ada pantun untuk warga Kualan Hulu
“Ada Rindu di Setiap Malam Minggu,
Kualan Hulu, Love You. . . . .”

Henricus Megantara Prabowo

Henrikus Megantara Prabowo biasa dipanggil Kitus. Kitus berasal dari paroki St Ignatius Magelang. Kitus aktif dalam jaringan penggerak kaum muda KAS, dan bahkan periode ini menjadi ketua Komisi Kepemudaan Kevikepan Kedu. Hobynya adalah bermain sepak bola dan menonton film. Motto hidupnya, “Ad Maiorem Dei gloriam.”

Posting Komentar

0 Komentar